Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sastra Intermedia

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seno Gumira Ajidarma

  • Wartawan

    KETIKA antologi puisi komunitas milis Bunga Matahari terbit sebagai buku, seorang teman bertanya, ”Kenapa mereka masih memerlukan media cetak?” Saya lupa jawaban saya, tetapi baiklah kita obrolin saja dalam kolom ini. Saya teringat juga bagaimana sejumlah media berita cyber akhirnya gulung tikar karena, sementara ongkos jurnalistiknya sama mahal (”Berita berkembang per detik,” kata para wartawannya dengan bangga) dan dibacanya gratis, iklannya juga kagak ada. Pada-hal, teorinya keserba-cyber-an itu media masa depan—nah, siapa pula butuh baca berita per detik? Sebaliknya, media non-profit seperti Karbon (tentang seni rupa lingkungan, seni video, dll) malah mengakhiri edisi cetaknya, dan berusaha menjangkau lebih banyak pembaca dengan ”masuk Internet”.

    Ilustrasi ini menunjukkan- kondisi intermedia, yang satu tidak lebih ”maju” dan yang lain tidak lebih ”kuno”, adalah situasinya masing-masing yang menentukan media mana yang paling efektif menyampaikan sang pesan. Justru di sini ke-media-an itu menjadi pertanyaan: mengapa menerbitkan yang cukup di Internet, mengapa menginternetkan yang lebih efisien sebagai buku? Sejumlah eksperimen pernah dilakukan. Stephen King menulis e-book yang hanya bisa diakses oleh mere-ka yang membayar—tapi tidak saya dengar lagi kelanjutannya. Ini tentu karena fiksi horor King tersebut tidak terasa wajib dikonsumsi detik ini juga seperti perkembangan bursa saham.

    Segenap cerita di atas masih berkonteks ”sastra yang dipindahkan”, karena konvensi ”sastra cetak” tidak berubah meski nebeng media elektronik. Padahal teknologi baru memungkinkan lahirnya teknik baru yang bisa saja menumbuhkan bentuk sastra baru. Jika semula sastra yang disebut cyber hanyalah pindahan dari apa yang bisa dilakukan dalam media cetak, kemudian disadari betapa ke-cyber-an itu mestinya melahirkan ”sastra yang cyber” juga. Apa itu? Rupanya, selain eksplorasi estetik, terdapat pula eksplorasi sosial.

    Secara estetik, eksplorasi dilakukan, misalnya, oleh Yayasan Multi Media Sastra. Bertolak dari Internet, mereka kembangkan puisi digital yang setelah terkumpul dikemas dalam compact disc (CD) berjudul Cyberpuitika: Antologi Puisi Digital. Puisi-puisi di sini jelas tak mungkin dipindahkan kembali ke buku, karena mereka memanfaatkan fasilitas audio-visual yang dimungkinkan oleh teknologi digital. Dengan- demikian, yang disebut ”membaca puisi” di sini sekaligus berarti ”melihat gambar bergerak-gerak” dan ”mendengar musik”. Tentu boleh diperdebatkan, apakah puisi digital ”masih sastra” atau bukan. Nah, kalau puisi ini sudah lari dari sastra ke ”sesuatu yang visual auditif”, apa salahnya? Istilah multimedia sastra dan cyber-sastra yang digunakan- sudah menjelaskan betapa sastra ”yang ini” memang bukanlah sastra ”yang itu”.

    Eksplorasi sosial diperlihat-kan oleh komunitas Bunga Matahari, tempat komunitas itu sendiri sebetulnya lebih penting daripada puisi. Maka, eksplorasi estetiknya tidak radikal sampai jadi puisi- di-gital yang bersuara dan ada gambarnya. Bahkan ada yang betulbetul konvensional- se-perti yang bisa ditemukan dalam media cetak, yakni- mengeks-plorasi hanya kata dan demi kata saja. Sehingga dalam antologi komunitas ini memang terentang puisi model Horison sampai puisi mbeling, tetapi yang semuanya ”masih” terorientasi seperti ”sastra cetak”—karena ke-cyber-annya memang terletak dalam aspek sosial: semua orang bisa dan boleh menulis puisi. Fatwa ini tidak baru, tetapi realisasinya begitu berganda melalui Internet, karena milis memungkinkan kita bersosialisasi tanpa harus keluar kamar. Adalah dalam rangka sosialisasi pula, maka antologinya terbit dalam bentuk buku.

    Sementara Yayasan Multi Media akan membuat mereka yang tidak berkualitas ”penyair digital” jadi sungkan bergabung—dan karena itu kesastraannya bisa disebut eksklusif—keserba-bisa-dan-boleh-an komunitas Bunga Matahari membuat kesastraannya bisa disebut inklusif. Keduanya sekadar contoh fenomena sastra intermedia di Indonesia.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus