TINJU, menurut penelitian di AS, , olahraga kaum muda. Dengan
olahraga itu, badan berkembang, pinggang jadi bersayap, dan
berotot kekar. Perkembangan itu mencapai titik puncak
kegemilangan petinju pada usia sekitar 30 tahun. Kemudian grafik
menurun. Kelenturan semakin berkurang sampai benar-benar kaku di
saat ajal.
Proses itu dipercepat bila petinju naik ring terus: Pada usia
40, ia kena sindrom mabuk bertinju (punch drunk syndrome).
Gejala ini nampak dalam cara ia berjalan dengan tumit, alis
menebal, begitu pula hidung dan daun telinganya, mulut
komat-kamit, berpikir lamban.
Otak akan menjadi korban yang parah. Dalam latihan, apalagi
petinju prof, kepalanya bisa kena tonjok 50 kali. Jotosan di
kepala itu menciptakan gegar otak kecil. Knock-out (KO) dalam
pertandingan, biasanya terjadi karena pembuluh darah pembawa zat
asam kena totok, juga menciptakan pendarahan kecil di otak,
meski yang kena pukul ialah urat di leher atau perut.
Brutal
Semakin lama semua hal itu menciptakan parut (scar) di otak,
yang suatu waktu sedemikian banyak dan dalam. Bekas luka di
kulit badan bisa hilan karena jaringan sel tubuh selalu
berganti, tapi tidak demikian halnya dengan jaringan otak. Suatu
waktu parut di otak petinju menjadi demikian banyak dan dalam,
dan ajal dipercepat karenanya. Demikian hasil penelitian di AS,
yang didasarkan terutama pada para petinju prof.
Sedangkan di Indonesia olahraga yang kadang-kadang tampak brutal
itu barangkali tidak hanya mendekatkan ajal kepada para petinju,
malahan membunuh mereka seketika. Dalam sejarah tinju di sini
sudah tercatat lima petinju yang meninggal karena bertinju. Yang
terbaru, misalnya, petinju Aceng Jim di Bandung, Agustus 1979,
rubuh dipukul Kai Siong. Ia tak sadarkan diri di kanvas. Dan
ketika dilarikan ke rumahsakit ia tetap tidak bisa siuman dan
meninggal di sana.
Bagi kalangan dokter, teruuma ahli saraf, bahaya tinju tak
disangsikan lagi. Namun untuk membuktikan bahaya tersebut pada
para petinju Indonesia dan tidak hanya mengandalkan penelitian
di Barat, satu tim dokter Rusdi Lamsuddin, Suharso dan Harsono)
dari Universitas Gajah Mada, seusai PON lalu melakukan
penelitian atas 37 petinju amatir.
Menurut ahli saraf Rusdi Lamsuddin, 65% petinju tersebut
mengalami gejala: sering pusing, kurang konsentrasi, sukar
tidur, daya ingat kurang dan gampang marah.
Berdasarkan hasil penelitian itu, bagaikan gong ditabuh
menjelang Simposium Kesehatan Olahraga di Yogya (5 Desember),
mereka mencanangkan usul agar tinju ditiadakan di Indonesia.
Tapi tidak semua kalangan, baik petinju maupun dokter dapat
menerimanya 100%. Misalnya Abubakar Saleh, seorang dokter, Ketua
Pusat Kesehatan Olahraga KONI Pusat. "Usul dari Yogyakarta itu
terlalu ekstrim," katanya kepada TEMPO.
Sejauh ini perlengkapan dan peraturan pertandingan, katanya,
sudah lebih baik untuk petinju amatir. Wasit dan dokter
pertandingan amatir lebih tegas. Waktu pertandingan lebih pendek
(3 ronde x 3 menit untuk amatir, sedangkan ronde tinju prof
lebih banyak. Sarung tinju amatir juga lebih tebal sehingga
kepala dapat diblok tanpa bisa ditembus jotosan. "Yang menderita
umumnya adalah petinju prof, karena umumnya ber-IQ rendah.
Kecuali mungkin Muhammad Ali, Joe Kimpuani dan beberapa lagi,"
katanya.
Dr. Abubakar, yang sehari-hari bekerja sebagai Asisten 111 Menko
Kesra Surono (bidang agama dan kesehatan), berpendapat tinju
amatir tak perlu dilarang. Tapi, katanya lagi, perlu diperbanyak
pelatih yang lebih baik, yang bukan cuma jago teknik bertinju,
upi juga mengetahui anatomi, fisiologi, bisa mengajarkan bahaya
cedera yang harus dielakkan. "Terutama berani melawan pendapat
umum: menghentikan pertandingan.
Menghentikan pertandingan sebenarnya tidak hanya diharapkan dari
seorang pelatih, tapi juga dari seorang wasit. Keselamatan
petinju di berbagai negara banyak tergantung pada wasit ini,
sekalipun tindakan mereka menghentikan pertandingan itu
mengundang kecaman dari penonton yang nalurinya sudah tergiring
untuk menonton seorang petinju tersiksa habis-habisan.
Wasit Larry Hazzard misalnya segera menghentikan pertandingan
Jerry Martin--Matthew Saad Muhammad (kelas ringan berat begitu
melihat Martin (si penantang juara) sudah terkulai tangannya
karena dihajar Muhammad. Penonton marah, tak puas sebelum Martin
benar-benar roboh. Martin sendiri memprotes keputusan itu. Tapi
Hazzard yakin dialah yang benar. Paling tidak untuk
menyelamatkan Martin dari tonjokan maut.
Ada pula kritik terhadap pelatih. Para pelatih sekarang ini,
menurut Setiadi Laksono, promotor tinju prof dari Surabaya, cuma
melatih petinju untuk memukul tanpa berhenti (gong to gong).
"Kurang memperhatikan teknik mengelak," katanya. Mungkin bukan
itu saja, mereka juga kurang mempelajari segi-segi fisiologi.
Banyak orang yang terheranheran dan tak habis-habisnya bertanya
dari mana ilmu Thomas Americo untuk tidak minum dan duduk
istirahat ketika melawan SaoulMambybeberapa waktu yang lalu.
Mengundang Dokter
Mencegah kecelakaan fatal bisa juga dilakukan sebelum petinju
naik ring. Pikiran ini diketengahkan Leon Yohanes dari Komisi
Tinju Indonesia. ''Perlu ada penelitian terhadap petinju sewaktu
naik ring dan bagaimana disiplin mereka terhadap makanan, jam
titur, masa latihan dan sebagainya," urainya.
Dia menduga almarhum Aceng Jim berlatih terlalu berat sementara
ia tetap menjalankan ibadat puasa ketika itu. "Maka daya tahan
tubuhnya sebenarnya sangat payah," tuturnya.
Tetapi menurut dr. Purwo, 77 tahun spesialis anak-ana yang
gmar bertinju selagi remaja dan kini sering menjadi dokter
pertandingan tinju prof: "Aceng sehat sebelum naik ring."
Patut disayangkan tidak ada pemeriksaan lebih lanjut untuk
mengetahui bagaimana proses kematian sang petinju.
Kalangan tinju sendiri kelihatannya seperti kena tonjok melihat
munculnya saran dokter supaya tinju ditiadakan. Petinju terkenal
yang sering pula muncul sebagai kolumnis, Syamsul Anwar, maupun
Ketua Umum PB Pertina, Saleh Basarah, mengakui juga bahwa cabang
olahraga itu berbahaya. "Namun dengan peraturan yang sudah ada,
jika petinjunya patuh, keamanannya cukup terjamin," kata Saleh
Basarah.
Untuk membuktikan jaminan keselamatan itu Saleh Basarah 6
Januari yang lalu mengemukakan niatnya untuk mengundang para
dokter yang anti-tinju dari Yogyakarta untuk menyaksikan
turnamen tinju internasional Piala Presiden di Jakarta, awal
Februari. "Para dokter itu akan diberikan tempat di seputar ring
untuk melihat sendiri apa olahraga tinju itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini