Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menyelamatkan Petinju Dari Maut

Menurut hasil penelitian tim dokter, karena sering kena tonjok, berakibat otak petinju banyak menderita, daya ingat mereka menjadi lemah dan terdapat pendarahan kecil di otak.(ksh)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINJU, menurut penelitian di AS, , olahraga kaum muda. Dengan olahraga itu, badan berkembang, pinggang jadi bersayap, dan berotot kekar. Perkembangan itu mencapai titik puncak kegemilangan petinju pada usia sekitar 30 tahun. Kemudian grafik menurun. Kelenturan semakin berkurang sampai benar-benar kaku di saat ajal. Proses itu dipercepat bila petinju naik ring terus: Pada usia 40, ia kena sindrom mabuk bertinju (punch drunk syndrome). Gejala ini nampak dalam cara ia berjalan dengan tumit, alis menebal, begitu pula hidung dan daun telinganya, mulut komat-kamit, berpikir lamban. Otak akan menjadi korban yang parah. Dalam latihan, apalagi petinju prof, kepalanya bisa kena tonjok 50 kali. Jotosan di kepala itu menciptakan gegar otak kecil. Knock-out (KO) dalam pertandingan, biasanya terjadi karena pembuluh darah pembawa zat asam kena totok, juga menciptakan pendarahan kecil di otak, meski yang kena pukul ialah urat di leher atau perut. Brutal Semakin lama semua hal itu menciptakan parut (scar) di otak, yang suatu waktu sedemikian banyak dan dalam. Bekas luka di kulit badan bisa hilan karena jaringan sel tubuh selalu berganti, tapi tidak demikian halnya dengan jaringan otak. Suatu waktu parut di otak petinju menjadi demikian banyak dan dalam, dan ajal dipercepat karenanya. Demikian hasil penelitian di AS, yang didasarkan terutama pada para petinju prof. Sedangkan di Indonesia olahraga yang kadang-kadang tampak brutal itu barangkali tidak hanya mendekatkan ajal kepada para petinju, malahan membunuh mereka seketika. Dalam sejarah tinju di sini sudah tercatat lima petinju yang meninggal karena bertinju. Yang terbaru, misalnya, petinju Aceng Jim di Bandung, Agustus 1979, rubuh dipukul Kai Siong. Ia tak sadarkan diri di kanvas. Dan ketika dilarikan ke rumahsakit ia tetap tidak bisa siuman dan meninggal di sana. Bagi kalangan dokter, teruuma ahli saraf, bahaya tinju tak disangsikan lagi. Namun untuk membuktikan bahaya tersebut pada para petinju Indonesia dan tidak hanya mengandalkan penelitian di Barat, satu tim dokter Rusdi Lamsuddin, Suharso dan Harsono) dari Universitas Gajah Mada, seusai PON lalu melakukan penelitian atas 37 petinju amatir. Menurut ahli saraf Rusdi Lamsuddin, 65% petinju tersebut mengalami gejala: sering pusing, kurang konsentrasi, sukar tidur, daya ingat kurang dan gampang marah. Berdasarkan hasil penelitian itu, bagaikan gong ditabuh menjelang Simposium Kesehatan Olahraga di Yogya (5 Desember), mereka mencanangkan usul agar tinju ditiadakan di Indonesia. Tapi tidak semua kalangan, baik petinju maupun dokter dapat menerimanya 100%. Misalnya Abubakar Saleh, seorang dokter, Ketua Pusat Kesehatan Olahraga KONI Pusat. "Usul dari Yogyakarta itu terlalu ekstrim," katanya kepada TEMPO. Sejauh ini perlengkapan dan peraturan pertandingan, katanya, sudah lebih baik untuk petinju amatir. Wasit dan dokter pertandingan amatir lebih tegas. Waktu pertandingan lebih pendek (3 ronde x 3 menit untuk amatir, sedangkan ronde tinju prof lebih banyak. Sarung tinju amatir juga lebih tebal sehingga kepala dapat diblok tanpa bisa ditembus jotosan. "Yang menderita umumnya adalah petinju prof, karena umumnya ber-IQ rendah. Kecuali mungkin Muhammad Ali, Joe Kimpuani dan beberapa lagi," katanya. Dr. Abubakar, yang sehari-hari bekerja sebagai Asisten 111 Menko Kesra Surono (bidang agama dan kesehatan), berpendapat tinju amatir tak perlu dilarang. Tapi, katanya lagi, perlu diperbanyak pelatih yang lebih baik, yang bukan cuma jago teknik bertinju, upi juga mengetahui anatomi, fisiologi, bisa mengajarkan bahaya cedera yang harus dielakkan. "Terutama berani melawan pendapat umum: menghentikan pertandingan. Menghentikan pertandingan sebenarnya tidak hanya diharapkan dari seorang pelatih, tapi juga dari seorang wasit. Keselamatan petinju di berbagai negara banyak tergantung pada wasit ini, sekalipun tindakan mereka menghentikan pertandingan itu mengundang kecaman dari penonton yang nalurinya sudah tergiring untuk menonton seorang petinju tersiksa habis-habisan. Wasit Larry Hazzard misalnya segera menghentikan pertandingan Jerry Martin--Matthew Saad Muhammad (kelas ringan berat begitu melihat Martin (si penantang juara) sudah terkulai tangannya karena dihajar Muhammad. Penonton marah, tak puas sebelum Martin benar-benar roboh. Martin sendiri memprotes keputusan itu. Tapi Hazzard yakin dialah yang benar. Paling tidak untuk menyelamatkan Martin dari tonjokan maut. Ada pula kritik terhadap pelatih. Para pelatih sekarang ini, menurut Setiadi Laksono, promotor tinju prof dari Surabaya, cuma melatih petinju untuk memukul tanpa berhenti (gong to gong). "Kurang memperhatikan teknik mengelak," katanya. Mungkin bukan itu saja, mereka juga kurang mempelajari segi-segi fisiologi. Banyak orang yang terheranheran dan tak habis-habisnya bertanya dari mana ilmu Thomas Americo untuk tidak minum dan duduk istirahat ketika melawan SaoulMambybeberapa waktu yang lalu. Mengundang Dokter Mencegah kecelakaan fatal bisa juga dilakukan sebelum petinju naik ring. Pikiran ini diketengahkan Leon Yohanes dari Komisi Tinju Indonesia. ''Perlu ada penelitian terhadap petinju sewaktu naik ring dan bagaimana disiplin mereka terhadap makanan, jam titur, masa latihan dan sebagainya," urainya. Dia menduga almarhum Aceng Jim berlatih terlalu berat sementara ia tetap menjalankan ibadat puasa ketika itu. "Maka daya tahan tubuhnya sebenarnya sangat payah," tuturnya. Tetapi menurut dr. Purwo, 77 tahun spesialis anak-ana yang gmar bertinju selagi remaja dan kini sering menjadi dokter pertandingan tinju prof: "Aceng sehat sebelum naik ring." Patut disayangkan tidak ada pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana proses kematian sang petinju. Kalangan tinju sendiri kelihatannya seperti kena tonjok melihat munculnya saran dokter supaya tinju ditiadakan. Petinju terkenal yang sering pula muncul sebagai kolumnis, Syamsul Anwar, maupun Ketua Umum PB Pertina, Saleh Basarah, mengakui juga bahwa cabang olahraga itu berbahaya. "Namun dengan peraturan yang sudah ada, jika petinjunya patuh, keamanannya cukup terjamin," kata Saleh Basarah. Untuk membuktikan jaminan keselamatan itu Saleh Basarah 6 Januari yang lalu mengemukakan niatnya untuk mengundang para dokter yang anti-tinju dari Yogyakarta untuk menyaksikan turnamen tinju internasional Piala Presiden di Jakarta, awal Februari. "Para dokter itu akan diberikan tempat di seputar ring untuk melihat sendiri apa olahraga tinju itu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus