Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kubah-kubah Katedral Primada menjulang tinggi. Warna kusamnya kontras dengan biru langit dan awan berlapis yang seputih kapas. Di bawah patung Simon Bolivar, pahlawan bangsa Amerika Latin, yang berdiri di tengah plaza seluas lapangan sepak bola dengan kungkungan gedung-gedung tua itu, saya menikmati masa lalu.
Di kanan saya, tegak berdiri Capitolio, gedung berpilar besar yang membatasi plaza dengan kediaman Presiden Kolombia. Istana Keadilan, tempat Mahkamah Agung bekerja, ada di kiri saya. Lalu di belakang sana berdiri Leviano, kantor Wali Kota Bogota, yang berarsitektur Prancis. Merpati berebut terbang, membentuk ribuan titik hitam pada kaki Primada yang kukuh di depan saya, di sebelah timur plaza.
Pada mulanya, tempat ini dibangun oleh Sebastian de Belalcazar, pelaut asal Spanyol, pada 1539, buat tempat menggelar protes, demonstrasi, dan perayaan nasional. Kini tempat itu menjadi pusat berbagai aktivitas warga. Pada sore akhir Agustus tahun lalu itu, ribuan orang memenuhi plaza. Turis, keluarga yang membawa bayi dan anak, pedagang, pesulap, pemusik jalanan, juga pemain akrobat ada di sana.
Seorang pria berkulit keriput dengan janggut putih mengagetkan saya. Ia bertopi, berjaket, dengan kancing baju dibiarkan terbuka. Di lehernya terlihat kalung manik-manik. Pria tirus ini membawa beberapa lembar kertas putih kosong dan pensil yang tinggal separuh. "Uno mil, uno mil," katanya. Dari kamus di hotel tempat menginap, saya tahu itu bahasa Spanyol, bahasa resmi negara itu, yang artinya: seribu, seribu.
Rupanya, ia hendak membuat sketsa wajah saya, dengan imbalan seribu peso, mata uang negara itu. Saya mengiyakan. Lalu, sret-sret-sret, hanya semenit sketsa selesai. Hasilnya sungguh tak mirip, tapi saya ucapkan, "Gracias." Terima kasih, seniman renta itu mengingatkan saya: Kolombia hanyalah negara berkembang meski memiliki sejarah sepanjang Plaza Bolivar. Ke Bogota, ibu kota negara inilah, Jakarta berkiblat dalam mengembangkan busway.
Saya menuju plaza dengan TransMilenio, bus gandeng yang melewati jalur khusus (busway) itu. Berbeda dengan di Jakarta, jalur bus di Bogota dibangun dua jalur, yang memungkinkan bus menyalip. Ini diperlukan karena pada jam-jam sibuk ada bus yang tidak berhenti di setiap halte. Jalur khusus ini sama sekali bersih dari kendaraan pribadi.
Naik TransMilenio cukup nyaman. Dua lajur kursi di kanan, satu lajur di kiri, membuat bagian tengah bus terasa lapang buat penumpang yang berdiri. Di depan pintu disediakan tempat untuk kereta bayi atau kursi roda. Model bus, halte, jembatan penyeberangan, juga jalur transit, memang memudahkan penumpang berkursi roda atau perempuan yang membawa kereta bayi. Penumpang lain pun memberikan prioritas tempat buat mereka.
Petunjuk rute disediakan di setiap halte. Tiap jalur dibedakan dengan warna tertentu. Transit antarjalur bisa dilakukan pada pertemuan dua warna. Orang asing yang tak berbahasa Spanyol seperti saya mudah saja memahami petunjuk itu. Waktu kedatangan bus juga bisa diketahui melalui angka hitung mundur elektronik yang dipasang di setiap halte. "Semua dikendalikan dari ruang kontrol di kantor pusat," kata Marcella, dari bagian humas TransMilenio, yang kami temui dua hari sebelumnya.
Dengan 1.300 peso (Rp 4.500) orang bisa naik TransMilenio ke segala jurusan. Untuk menuju terminal terdekat, tersedia bus pengumpan (feeder) gratis yang melayani penumpang dari berbagai permukiman. Perpindahan antarjalur alias koridor bisa dilakukan melalui jembatan penyeberangan atau terowongan bawah tanah yang ditata sangat rapi. Pendek kata, TransMilenio bagaikan kereta yang berjalan di jalan raya. Sebanyak 1.059 bus gandeng mengangkut sekitar 1,42 juta penumpang per hari pada hari kerja. Jadwalnya pun tertata ketat, dengan jeda antarbus cuma lima menit.
Tentu saja, Bogota tak membangun semua itu dalam sekejap. Sistem ini hanya merupakan bagian dari suksesnya pembenahan tata kota yang dilakukan simultan. Antanas Mockus Civicas dan Enrique Penalosa, wali kota yang bergiliran memerintah sejak 1995, paling berjasa dalam proyek ini .
Civicas memulai usaha itu dengan membenahi fasilitas publik. Di antaranya mengubah kawasan kumuh di sudut kota menjadi taman kota. Jalan raya dan jalan pedestrian diperlebar. Pada 1997, Penalosa meneruskan semua kebijakan dan konsep tata kota yang dirintis Civicas. Ia memperbanyak taman. Beberapa jalan raya diubahnya menjadi plaza untuk pedestrian. "Ia menerima ratusan ancaman pembunuhan karena langkahnya ini," ujar Johan J. Mulyadi, diplomat Indonesia yang sudah bertahun-tahun berdinas di Amerika Latin.
Penalosa memikirkan konsep busway dengan matang. Beberapa negara Amerika Latin lain sudah menerapkan sistem ini. Tapi ia tak menjiplak begitu saja. Ide dasarnya adalah memindahkan orang dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal.
Ia menyiapkan infrastruktur busway dengan dana US$ 350 juta (Rp 3,85 triliun). Pada tahap awal, dia hanya membangun jalur busway sepanjang 48 kilometer, yang membelah jalan utama Avenida Caracas, Autopista Medellin, dan Carrera 30. Halte baja dengan dinding kaca didirikan di 60 tempat. Kini panjang jalur khusus bus ini sudah mencapai 84 kilometer, dengan tujuh terminal, serta 73 bus pengumpan.
Sang wali kota memberikan perlakuan khusus untuk situs kota tua Bogota, El-Centro. Begitu juga tempat bersejarah seperti jalanan di sekitar Plaza Bolivar. Ia tidak mendirikan jembatan penyeberangan dan halte di kawasan ini. Halte hanya dibuat di setiap persimpangan jalan terdekat, sehingga orang dengan mudah mencapainya dengan menyeberang zebra cross.
Untuk mengurangi kepadatan jalan, Penalosa juga menerapkan kebijakan pico y placa (pembatasan kendaraan pada jam sibuk). Selama dua hari dalam sepekan, mobil dengan satu nomor tak bisa ke luar rumah pada jam-jam sibuk. Misalnya, mobil berpelat nomor buntut 1 hingga 4 tak boleh keluar pada Senin dan Kamis. "Mobil saya tak bisa keluar pada Selasa dan Jumat," kata Liliana, perempuan separuh baya yang bekerja sebagai penerjemah dan memiliki mobil dengan pelat nomor berakhir 5.
Mockus Civicas kembali memimpin Bogota pada 2000. Ia segera menyempurnakan sistem transportasi kotanya. Pada 2002, ia memberlakukan hari bebas kendaraan bermotor yang diberi nama Ciclovia. Sebagian besar jalan raya diharamkan bagi mobil setiap Minggu. Hanya pejalan kaki atau pengendara sepeda boleh masuk. Petugas yang mengenakan rompi jingga berjaga di setiap ujung jalan yang ditutup. Bagi pengendara sepeda, kota ini bak surga: tersedia jalan mulus khusus sepanjang 200 kilometer. Saya maklum jika Jakarta berkiblat ke kota ini.
Plaza Bolivar mulai gelap. Saya dan enam teman dari Jakarta bergegas menuju Halte Av. Dorado. Di sini TransMilenio melewati jalanan batu, menembus gedung-gedung renta. Tak ada beton pemisah jalur, yang bisa merusak situs kota kuno itu. Hanya TransMilenio pula yang boleh masuk kawasan ini, kendaraan bermotor lain tidak.
Kami melihat petunjuk rute lalu memilih bus yang melewati Halte Av. Jimenez, tempat terowongan transit menuju bus yang melewati halte Calle 100. Di kawasan Calle 100 itulah hotel tempat kami menginap berada. Dari atas TransMilenio, saya mengamati kiri-kanan sepanjang jalan. Jalan pedestrian yang lebar membuat orang nyaman berjalan kaki. Taman-taman dengan pepohonan rindang, diterangi lampu besar, membuat Bogota terlihat sangat hijau.
Dingin Bogota mulai terasa. Saya merapatkan kancing jaket. TransMilenio tak lagi penuh penumpang. Sepasang kekasih berpelukan di kursi belakang, saling merapatkan badan. Saya tersenyum: yang begini tak mungkin saya temukan di Transjakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo