Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Belanda, ada sebuah bahasa yang lazim disebut bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh). Inilah bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21. Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa. Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda. Yang berjasa mempopulerkannya adalah sastrawan-jurnalis Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, tokoh utama budaya Indo yang juga dikenal sebagai penggagas Pasar Malam Besar di Den Haag pada 1959.
Setahun saya di Belanda (2007-2008) tentu sudah tidak merasakan sensasi Pecok. Namun saya merasakan sensasi kebahasaan di sana. Pertama adalah istilah-istilah yang sudah akrab di telinga. Sebut saja persneling (roda gigi ), brandweer (pemadam kebakaran), kopling, zakelijk (saklek, sikap kaku/ketat), bezoek (berkunjung), korting (rabat), arloji, verboden (dilarang masuk), serta achteruit (ateret, jalan mundur). Dan tentu saja ikke (saya) dan jij (kamu), yang sekarang dipakai kaum waria. Kata lainnya adalah knalpot, bekleding (penyelubungan tempat duduk dengan lapisan lain), vermaak (permak), absurd, afdruk (cetak), belasting (tarif, pajak), bestek (bistik), handel (pegangan), kansel, krat, loket, marmer, masker, matras, rekening, rimpel, tank, oom (om), tante, dan wastafel.
Sensasi kebahasaan kedua di Belanda adalah kata-kata yang sudah mengalami proses resapan dan menjadi bahasa Indonesia. Misalnya benzene (bensin), koffer (koper), koelkas (kulkas), handoek (handuk), kartjes (karcis), reparatie (reparasi), fotomodel (model foto), giro, jas, kabinet, kanker, gratis, bom, debat, drama, fabel, wortel, onkosten (ongkos), atau kantoor (kantor). Bahasa Jawa tak ketinggalan: spoor (sepur, peron), dan fietsen (pit, sepeda). Bahkan ada humor populer yang menyatakan bahwa gedang (Jawa: pisang; Sunda: pepaya) berasal dari ucapan tentara Belanda di masa penjajahan yang setelah ditolong penduduk setempat dengan pemberian buah menyatakan syukur: ”God dank” (terima kasih, Tuhan). Sensasi itu ”dari te laat (telat) hingga klaar (kelar),” kata Yudi Bachrie, kawan saya yang sedang menempuh S-2 sejarah ekonomi di Universitas Leiden.
Ketiga, ternyata dalam percakapan pun, disadari atau tidak, kita masih sering menyelipkan kata Belanda seperti klop (dat klopt), persis (precies), dan toh (toch) sebagai tekanan dari kalimat itu.
Kabarnya, ada sekitar 5.000 diksi Belanda yang masuk kamus bahasa Indonesia, dan sebaliknya ada 500 kata Indonesia di negeri Belanda. Uniknya, sebagian besar kata Indonesia itu berhubungan dengan makanan. Simak saja: pedes, ajam ketjap, kroepoek, nasi goreng, sambel, serundeng, sate. Sambal pun bermacam-macam: sambel batjak, sambel brandal, sambel trasi, sambel oeloek.
Di antara bervariasinya saus (dari mayonese hingga bawang), yang teristimewa adalah saus sate yang adalah saus kacang. Tentu saja semuanya masih memakai ejaan Van Ophuijsen. Hal-hal sepele ini membuat saya tak terlalu terasing berada jauh dari Tanah Air. Apalagi cara mengejanya sama.
Yang unik, saat makan di Mok Sam (restoran Suriname-Cina) di bilangan Ceintuurban, saya melihat beberapa makanan yang mirip dengan yang ada di negeri ini. Talo adalah telo goreng bertabur abon dari ikan tuna. Sedangkan sato adalah soto dalam mangkuk kecil layaknya soto kudus. Dan pisang goreng di sana dimakan dengan bumbu kacang.
Apakah bisa disimpulkan bahwa fenomena ini berhubungan dengan bahasa Pecok? Ini tugas akademisi ilmu humaniora untuk menelitinya lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo