Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan Bebas dari Jakarta
Jaksa membalik ancaman hukuman mati menjadi tuntutan bebas murni. Terpengaruh arahan dari Jakarta.
SAHLAN Said masih mengingat percakapan dengan tamunya, Amrin Naim, sebelas tahun silam. Waktu itu sang tamu membisikkan cerita yang membuat mantan hakim Pengadilan Negeri Bantul itu penasaran. "Dia bercerita tentang dua versi draf tuntutan," kata Sahlan ketika ditemui di rumahnya di Jalan Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, akhir Agustus lalu.
Amrin adalah ketua tim jaksa penuntut umum dalam kasus pembunuhan wartawan harian Bernas, Fuad M. Syafruddin alias Udin. Sahlan memang bukan hakim yang mengadili kasus itu. Tapi, sebagai hakim senior, dia kerap dimintai saran oleh para jaksa dan hakim.
Hari itu Amrin bercerita tentang dua draf tuntutan yang disiapkan tim jaksa untuk Dwi Sumaji alias Iwik, sopir yang dijadikan terdakwa pembunuhan Udin. Tuntutan pertama meminta hakim menghukum Iwik. Adapun tuntutan kedua meminta Iwik dibebaskan.
Berkas yang menghukum Iwik disiapkan lebih dulu oleh Amrin dan kawan-kawan. Sedangkan berkas yang membebaskan Iwik disiapkan setelah ada arahan dari Kejaksaan Agung. "Itu pesanan dari Jakarta," ujar Sahlan. Di pengadilan kelak, pesanan Jakarta yang dibacakan jaksa.
BERKAS perkara atas nama tersangka Dwi Sumaji sempat bolak-balik antara kantor Kepolisian Daerah dan kantor Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Jaksa sampai empat kali mengembalikan berkas kasus pembunuhan Udin itu kepada polisi.
Jaksa antara lain meminta berkas dilengkapi keterangan istri Udin, Marsiyem, yang mendukung penetapan Iwik sebagai tersangka. Jaksa pun ingin berkas dilengkapi hasil reka ulang peristiwa (rekonstruksi) yang dihadiri saksi kunci itu.
Menurut jaksa, berkas perkara yang hanya berdasarkan pengakuan tersangka belumlah lengkap. Apalagi dalam pemeriksaan kelima kali oleh polisi, Iwik mencabut pengakuannya membunuh Udin.
Masalahnya, setelah tujuh kali diperiksa, Marsiyem selalu menolak panggilan polisi. Di samping merasa kurang sehat, ia tak mau terus dipojokkan dengan tuduhan perselingkuhan di rumah tangganya. "Polisi seperti ingin mencari pembenaran atas skenario mereka," ujar Marsiyem kepada Tempo, akhir Agustus lalu.
Polisi berkali-kali gagal menggelar rekonstruksi. Pada 29 November 1997, misalnya, rekonstruksi batal karena jalanan dekat rumah Udin di Dusun Samalo, Patalan, Bantul, dipadati massa. Pada 9 Desember 1996, polisi membawa Iwik ke rumah Udin untuk rekonstruksi. Namun Marsiyem—yang sudah pindah ke rumah mertuanya—tak datang.
Meski dikawal ketat aparat, rekonstruksi kembali gagal total. Ketika diminta memerankan adegan penganiayaan Udin, di depan ratusan warga, Iwik malah berontak. "Saya tidak tahu. Demi Allah," kata Iwik seraya meronta. "Saya tidak membunuh Udin."
Tak berhasil menjalankan petunjuk jaksa, pada 1 April 1997, untuk kelima kalinya polisi kembali menyerahkan berkas perkara Iwik. Kali ini, jaksa pun meloloskannya. Namun, dalam surat pemberitahuan kepada polisi, jaksa menyatakan berkas diterima dengan catatan, "Bila dipandang perlu, jaksa akan memeriksa lagi saksi-saksi."
SIDANG perdana Iwik berlangsung pada 29 Juli 1997. Hari itu ruang sidang penuh sesak oleh pengunjung yang kebanyakan berambut cepak dan berbadan tegap. Tak kebagian tempat di ruang sidang, keluarga Iwik dan puluhan wartawan Yogyakarta hanya bisa menunggu di luar.
Jaksa Amrin Naim dan kawan-kawan bergiliran membacakan surat dakwaan. Mereka menjerat Iwik dengan pasal berlapis. Dalam dakwaan primer, Iwik dituduh melakukan pembunuhan terencana, seperti diatur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Iwik terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Pada 5 Agustus 1997, giliran Iwik dan kuasa hukumnya menyampaikan eksepsi. Iwik membacakan sendiri naskah sepuluh halaman yang dia siapkan bersama pengacaranya. "Saya dikorbankan untuk bisnis politik dan untuk melindungi mafia politik," kata Iwik dengan suara lantang. Adapun tim pengacara Iwik, Triyandi Mulkan dan kawan-kawan, mempertanyakan cara penangkapan dan pemeriksaan Iwik oleh polisi.
Dalam rangkaian sidang pemeriksaan saksi dan barang bukti, satu per satu kejanggalan kasus ini terungkap. Dari 25 saksi yang dihadirkan jaksa, tak satu pun yang menguatkan dakwaan bahwa Iwik pembunuh Udin. Sebaliknya, sejumlah saksi menyatakan, pada malam kejadian, Iwik berada di rumahnya di kawasan Panasan, Sleman.
Kesaksian yang mendukung dakwaan jaksa datang dari dua saksi tambahan: Sersan Mayor Edy Wuryanto dan asistennya, Slamet Wijayanto. Kedua polisi itu berkukuh bahwa Iwik adalah pembunuh Udin. Namun, setelah dicecar majelis hakim dan tim pengacara, Slamet mengakui bahwa Iwik dibidik sebagai tersangka lebih berdasarkan insting semata. Adapun soal cara mengorek pengakuan Iwik—dicekoki dulu minuman keras lalu disuguhi perempuan—Edy berdalih, "Itu hanya teknik reserse."
Pada 3 November 1997, tibalah waktunya jaksa membacakan tuntutan. Berbeda dengan biasanya, hari itu jaksa Amrin datang terlambat. Padahal jaksa lain, pengacara, dan hakim sudah lengkap. Sebelum sidang dibuka, ada pula pemandangan tak lazim. Salah seorang jaksa memberi isyarat kepada tim pengacara dengan mengacungkan jempol.
Setelah membacakan ringkasan keterangan saksi, jaksa pun menguraikan konstruksi hukum tuntutan mereka. Menurut jaksa, Udin terbukti menjadi korban pembunuhan berencana. Namun tak ada saksi atau bukti yang memastikan bahwa Iwik pelakunya. Karena itu, jaksa menuntut majelis hakim, "Membebaskan Dwi Sumaji alias Iwik dari seluruh dakwaan," kata Amrin ketika membacakan surat tuntutan setebal 63 halaman itu.
CERITA di balik berbeloknya tuntutan jaksa terungkap beberapa tahun kemudian. Dalam wawancara dengan Tempo pada pertengahan Oktober 2006, Amrin Naim menjelaskan mengapa dia terlambat datang pada sidang tuntutan Iwik. Pagi itu, sekitar pukul 09.00, Amrin didatangi tamu penting dari Jakarta: utusan Jaksa Agung Singgih (almarhum) itu menyampaikan arahan "Jakarta" agar Iwik dituntut bebas.
Menurut Amrin, arahan itu tak datang tiba-tiba. Sebelumnya, ada pertemuan di kantor Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri utusan Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogya, dan Amrin sebagai ketua tim jaksa penuntut umum.
Dalam pertemuan itu, Amrin menjelaskan, proses persidangan menunjukkan bahwa Iwik tak terbukti membunuh Udin. Masalahnya, tak lazim bila jaksa menuntut bebas terdakwa. Akhirnya pertemuan itu meminta Amrin menyiapkan dua versi tuntutan: tuntutan bebas dan tuntutan menghukum Iwik. "Mana yang dibacakan di persidangan harus menunggu perintah dari Kejaksaan Agung," ujar Amrin, yang waktu itu baru pensiun sebagai jaksa.
Menurut penelusuran Tempo, campur tangan "Jakarta" itu tak terlepas dari reaksi Jaksa Agung Singgih terhadap langkah Kepala Polri Jenderal Polisi Dibyo Widodo. Ceritanya, pada suatu kesempatan, Presiden Soeharto meminta Kapolri memaparkan kasus Udin di Bina Graha. Dibyo pun menguraikan hasil penyidikan polisi Yogya dengan Iwik sebagai tersangka.
Mendengar laporan Dibyo, Soeharto meminta Singgih menindaklanjuti hasil penyidikan polisi. Namun, setelah menerima laporan Amrin dan kawan-kawan, Singgih tak berkenan dengan hasil penyidikan yang dipaksakan. Akibatnya, tuntutan hukuman seumur hidup yang direncanakan jaksa Bantul pun ditarik Kejaksaan Agung. "Jaksa Agung maunya Iwik dibebaskan," kata seorang bekas penegak hukum kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo