Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stadion Mattoangin, Makassar, menyimpan cerita tersendiri bagi Jusuf Kalla. Di tempat itulah Kalla kecil kerap diajak ayahnya, Haji Kalla, menonton sepak bola. Sang ayah hampir tak pernah absen menonton aksi Ramang, pemain Persatuan Sepak Bola Makassar yang di masa itu jadi kebanggaan Sulawesi Selatan. Jika sore hari ada pertandingan sepak bola, sehabis zuhur, anak-beranak itu sudah siap di stadion sambil membawa sajadah untuk persiapan salat asar. ”Bapak memang penggemar bola,” kata Kalla kepada Tempo.
Kegemaran sang ayah menonton bola menular kepadanya. Bermain sepak bola jadi hobi barunya, selain berenang di irigasi. Berhubung badannya paling kecil, Kalla selalu kebagian posisi kiper. Sepulang sekolah, dia dan teman-temannya bermain bola di pekarangan Rumah Sakit Stella Maris. ”Kami pernah kena marah karena bola yang ditendang memecahkan kaca rumah sakit,” kata Muhammad Abduh, anggota staf ahli wakil presiden yang juga teman sekolah Kalla semasa SMP dan SMA.
Perhatian Kalla terhadap bola berlanjut saat dia meneruskan usaha ayahnya, NV Hadji Kalla Trading Company. Kalla, yang sukses sebagai saudagar, diminta menjadi Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar. Jabatan ini disandangnya mulai 1980 sampai 1990. ”Menjadi pengurus PSM itu untuk menghormati bapaknya yang pecandu bola,” ujar Abduh. Kalla juga mendirikan klub sendiri, Makassar Utama, pada 1985. Dia menjadi ketua umum sekaligus penyandang dana.
Makassar Utama dikelola secara profesional. Seminggu tiga kali para pemain berlatih di lapangan khusus yang dibangun di belakang Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf, Makassar. Sebagai ketua umum, Kalla selalu menyempatkan diri melihat para pemain berlatih sebelum dan sesudah pulang kantor. ”Mengurus bola itu kayak mengurus bayi,” kata Kalla.
Dimotori pemain andal seperti Syamsuddin Umar, Yopie Lumoindong, dan Ronny Pattinasarani, Makassar Utama bersaing dengan klub-klub kondang, seperti Warna Agung dan Jayakarta dari Jakarta serta Niac Mitra, Surabaya. Walaupun Toyota, Merpati, dan Mizuno terkadang menjadi sponsor, Kalla tetap merogoh duit lumayan banyak setiap kali klubnya bertanding. ”Waktu itu sekitar Rp 100 juta, sebagian besar untuk akomodasi dan tiket pesawat,” katanya.
Syamsuddin Umar bercerita, dalam urusan pendanaan, Kalla tak pernah pelit. Bahkan pernah, ketika Makassar Utama bertanding di Bali pada 1986, para pemain diperbolehkan membawa keluarganya. Istri Kalla, Mufidah, juga rutin menggelar arisan dengan para istri dan pacar pemain.
Kalla, kata Syam, juga sangat memikirkan masa depan pemainnya. ”Saat itu hampir semua pemain dikuliahkan. Terbukti saya, Yopie Lumoindong, dan Ronny Pattinasarani bisa sarjana,” ujar mantan pelatih PSM itu. Beberapa pemain bahkan dipekerjakan di perusahaan keluarga Kalla, seperti Sangkala Roa, Hamid Ahmad, Musran Latanda, dan Nasir Sarro.
Kalla dikenal tegas mengambil kebijakan. Syam, yang pernah menjadi asisten pelatih Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, masih ingat dia dan teman-temannya pernah dihukum gara-gara ketahuan memukul wasit saat bertanding di Bogor. Selama seminggu semua pemain kompak menyimpan rapat masalah itu. Toh, berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Kalla. ”Kami ramai-ramai dihukum. Saya, yang memukul wasit, diskors satu setengah tahun,” ucap Syam. Biarpun begitu, gaji bulanan pemain tetap dibayar. Hikmah lainnya, kata Syam, dia dan teman-temannya bisa menyelesaikan kuliah yang sebelumnya terbengkalai.
Makassar Utama tercatat pernah menjadi juara I Liga Milo dan juara III Liga Indonesia. Nah, perkara kalah-menang ini punya cerita tersendiri. Selain tekun berlatih, ada ritual yang biasa dilakukan pemain sebelum bertanding. Salah satunya: mengelilingi gawang sambil merapal bacaan khusus dari orang pintar. ”Dibaca-bacain gawangnya supaya bola tak masuk dan kami menang,” kata Abduh seraya tergelak, mengulang cerita sahabatnya.
Tapi Kalla sendiri, kata Abduh, tak percaya pada hal-hal klenik seperti itu. ”Ya, cuma untuk lucu-lucuan,” ujarnya. Abduh mengatakan, dari dulu, temannya tak pernah pusing dengan urusan menang atau kalah. Hanya, karena selalu merugi, ditambah kondisi kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) makin meredup, Makassar Utama akhirnya dibubarkan. Para pemain kemudian bergabung dengan PSM. ”Saya capek,” begitu alasan Kalla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo