Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Boediono:</font><br />Saya Tak Peduli Mazhab

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boediono boleh khatam dengan semua buku teori ekonomi. Tapi, untuk berpolitik, rupanya dia masih harus belajar dan menyesuaikan diri. Setelah meninggalkan jabatan Gubernur Bank Indonesia, pria asal Blitar, Jawa Timur, ini mulai berperan sebagai politikus. Ia berkampanye keliling daerah, menghadiri pertemuan-pertemuan dengan kelompok pendukung. Tak lupa, Boediono wajib memperbanyak tebaran senyum buat siapa saja yang dia temui.

Meski optimistis dengan keputusan mendampingi Yudhoyono, dia mengaku politik bukanlah dunia yang dia kenal sejak remaja. Bahkan dia mengaku langkah Yudhoyono mengajaknya tandem dalam pemilihan presiden 2009 sangat berisiko. ”Saya bukan dari partai politik, bahkan tak punya massa,” kata Boediono. ”Semoga pilihan penuh risiko ini bisa membawa Indonesia memasuki dunia politik baru.”

Sabtu dua pekan lalu, Boediono mengawali kampanyenya di Yogyakarta. Dimulai dengan menggelar dialog bertajuk ”Boediono Mendengar dari Bulaksumur untuk Kesejahteraan Indonesia” di Jogja Expo Center, dia lalu meresmikan perpustakaan keliling Galang Press Yogyakarta, serta berkoordinasi dengan para pendukung. Dia juga mengunjungi sentra industri gerabah Kasongan, Bantul, kemudian blusukan ke Pasar Klitikan, Pakuncen, Yogyakarta. Hari berikutnya, Boediono berkampanye di Studio Mendut, Magelang, serta berdialog dengan komunitas tujuh gunung.

Dengan kemeja batik kebiruan serta kopiah hitam, Boediono tak terlihat lelah menempuh perjalanan dari Yogyakarta ke Magelang serta dari Magelang ke Temanggung. Di sela padatnya jadwal, wartawan Tempo Bernada Rurit mewawancarainya di atas bus mewah milik tim sukses SBY-Boediono yang membawanya berkampanye. Berikut ini petikannya.

Tolong ceritakan penggalan hidup Anda dari Blitar ke Yogyakarta.

Biasa saja, seperti kebanyakan murid SD pada 1950-an. Pergi ke sekolah tak bersepatu, sandal juga tidak punya. Masa SMP dan SMA juga di Blitar.

Mengapa memilih masuk Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada?

Tak pernah saya bayangkan ketika itu, hanya senang-senang. Pelajaran ekonomi kok oke, tapi juga tidak cinta. Tak betul-betul menyenangi. Ramai-ramai saja dengan teman-teman daftar ke sana. Tapi, begitu masuk, saya terkesima oleh ceramah Bung Hatta (saat itu menjabat wakil presiden). Beliau berpesan agar ekonom juga belajar ilmu lain sehingga tidak menjadi ekonom teknis.

Apakah pandangan Hatta itu membentuk Anda?

Saya tidak tahu (tersenyum). Tapi itu benar-benar pengalaman yang membuat saya hormat kepada beliau. Apalagi setelah mendalami ekonomi. Itu pengalaman luar biasa.

Selama kuliah di Universitas Gadjah Mada pernah ikut kegiatan mahasiswa?

Enggak. Pingin ikut pencinta alam, tapi perlu biaya. Itu kegiatan luxury. Mau ikut paduan suara, enggak bakat. Jadi saya berkonsentrasi bagaimana agar cepat lulus saja.

Apa kesulitan yang dihadapi ketika kuliah di Yogyakarta?

Biaya hidup mahal karena pada 1960-an inflasi tinggi. Kalau untuk membayar uang kuliah, orang tua saya mampu. Ke depan harus kita pikirkan mereka yang tak punya biaya tetap bisa bersekolah setinggi-tingginya.

Bagaimana Anda menyiasati itu?

Saya cari beasiswa. Lalu saya mendapatkannya dari Colombo Plan bersama 35 mahasiswa asal Indonesia, kuliah di Australia. Saya di University of Western Australia bersama Abdillah Toha (tokoh Partai Amanat Nasional). Kuliah setahun di UGM tak diakui karena standarnya tak sama.

Selain belajar, apa kegiatan selama di Australia?

Kami sewa flat ramai-ramai, masak bergantian. Uang beasiswa sebagian ditabung untuk beli buku. Saya juga bekerja sebagai kuli angkut gandum hingga bisa beli kamera dan mobil. Tapi mobil cuma bertahan dua tahun karena biaya perawatannya mahal. Sempat saya pakai keliling Australia Barat agar mengenal alam dan kebudayaannya.

Selama kuliah, sempat pulang ke Blitar?

Saat cuti liburan pada 1965, saya pulang. Saya manfaatkan tukar cincin dengan Herawati, yang kini jadi istri saya. Dia juga saya beri kenang-kenangan jam tangan. Kami hanya pacaran lewat surat yang datangnya dua pekan sekali. Setelah bertunangan, saya kembali ke Australia. Ketika lulus, saya kemudian melanjutkan kuliah ke Monash University, Melbourne, untuk menempuh gelar master.

Apa mazhab ekonomi yang Anda ikuti?

Saya tidak peduli mazhab. Saya ikuti yang bisa diterapkan dan memberikan manfaat. Memang pada akhir 1960-an Indonesia berubah, dari komando (ekonomi terpimpin) menjadi Orde Baru. Banyak hal baru untuk saya. Melihat ekonomi diterapkan di dunia nyata. Saya mempelajari lebih banyak aplikasi. Jadi saya tak mengenal mazhab. Saya hanya mengenal ekonomi Indonesia.

Apa yang terjadi saat itu?

Pada 1960-an, inflasi tinggi. Harga pangan melonjak. Pada Januari, misalnya, harga suatu barang Rp 100, maka pada Desember sudah menjadi Rp 600. Itu sudah hiperinflasi. Saya berminat mengatasinya. Saya baca buku dan mulai tertarik mendalami ekonomi.

Maksudnya?

Soal ekonomi harus disesuaikan dengan kultur Indonesia dan tak bisa jalan dengan ukuran waktu. Kebijakan ekonomi harus dijalankan lewat kelembagaan. Birokrasi, perangkat pemerintahan, semua institusi merupakan tempat masuknya nilai kultural. Jadi, kalau disebut ekonomi bebas dari kultur, itu tak tepat. Kalau teori, pakai kurva saja bisa dan bisa lepas dari nilai-nilai. Begitu kita terapkan, ada institusi yang merupakan wadah dari nilai-nilai lokal yang harus ditampung. Kalau tidak ditampung, tidak jalan.

Apa yang dimaksud dengan muatan lokal Indonesia?

Pada 1980-an, saya menulis dengan Mudrajad Kuncoro. Muatannya adalah nilai-nilai Pancasila yang dijabarkan untuk landasan nilai kebijakan operasional.

Apakah soal nilai lokal ini turut membentuk karakter Anda?

Ya, mungkin. Kultur Yogyakarta dan UGM sangat besar pengaruhnya bagi saya dan turut membentuk karakter meski hanya sekitar satu setengah tahun. Sepulang sekolah dari Australia, kebetulan saya mengajar di UGM. Lalu sekolah lagi ke Amerika pada 1975-1979. Saat kembali mengajar, saya dan para ekonom Yogyakarta meneliti gerakan ekonomi Pancasila pada 1981.

Kemudian ada tawaran pekerjaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 1983. Saya pikir, saya coba bekerja beberapa tahun, supaya bisa praktek. Tapi hati saya tetap ke kampus. Setelah menjadi Menteri Keuangan, saya ingin mengajar lagi.

Menjadi wakil presiden apakah salah satu mimpi Anda?

Enggak pernah mimpi. Saya anggap sebagai arus hidup yang harus saya ikuti.

Anda masih ingin mengajar?

Kampus itu kehidupan saya. Saya senang mengajar terutama mahasiswa S-1, karena mereka masih segar dan bisa dibentuk.

Apa ini karena pengaruh ceramah Bung Hatta pada awal studi di Yogyakarta?

Mungkin juga ya. Itu memang masa pembentukan mahasiswa. Tingkat pertama kuliah itu sebaiknya dimasuki nilai-nilai yang benar, yang baik, dan seimbang. Jangan dimasuki hal yang berat sebelah. Tapi kita harus tetap berpikir kritis.

Anda masih akan mengajar meski sudah menjadi wakil presiden?

Insya Allah. Bahkan, jika masih mungkin, saya siap ditugasi mengajar tiap bulan. Itu kalau masih memungkinkan dan kampus menganggap perlu. Saya dengan senang hati melaksanakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus