Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI orang tuanya, Muhammad Jusuf Kalla adalah putra mahkota. Calon presiden dari Partai Golkar ini sejak di Sekolah Rakyat II mendapat perhatian khusus untuk mengelola bisnis yang telah dirintis ayahnya, Haji Kalla, sejak masih belia. Pada sekitar usia 15 tahun, Kalla senior, yang telah yatim, mengumpulkan laba dari berjualan tekstil keliling dengan kuda dari desa ke desa. Ia lantas membuka kios di Pasar Bajoe, enam kilometer sebelah timur Watampone, ibu kota Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Ketika bisnis sang ayah semakin berkembang, pada 1950 Jusuf Kalla yang baru delapan tahun kerap disuruh sang ayah ikut menjaga toko. ”Saya sering diminta menjaga kasir,” kata Jusuf Kalla. Saat itu Haji Kalla membuka kios bernama ”Sederhana” di Jalan Wajo, Watampone. Toko tekstil plus barang kelontong itu ramai pengunjung.
Di toko ini ibunya menjahit dan mewarnai benang. Menurut Ahmad Kalla, adik nomor dua Jusuf, sang kakak laksana pangeran yang dijaga oleh sang ayah. Jika Daeng Ucu—begitu sapaan Jusuf oleh adik-adiknya—ketahuan bermain air di sungai, sang ayah akan marah. ”Jika ada istilah anak ibu, JK ini anak ayah,” kata Ahmad.
Soal insiden air ini, Jusuf masih mengingatnya. Di kampung tempat tinggalnya di Watampone itu, anak-anak bermain air di saluran irigasi yang keruh. Jika Jusuf pulang dengan mata merah karena berenang, sang ayah pasti membentak, ”Dari mana? Berenang ya?” Menurut Jusuf, ayahnya khawatir ada apa-apa pada dirinya. ”Saya waktu itu kan masih kecil.” Karena ketatnya perhatian sang ayah, Jusuf Kalla tidak pandai berenang hingga dewasa. ”Tapi, kalau sama cucu di kolam yang tidak dalam, bisa juga,” katanya.
Jusuf Kalla juga kerap diajak sang ayah mengurus bisnis ke Makassar. Di ibu kota provinsi mereka menginap di Hotel Capitol. Di kota ini, Haji Kalla menemui para tauke pemilik barang tekstil dan barang kelontong. Meski agak kaku terhadap keluarga, sang ayah piawai dalam menjalin hubungan dengan mitra bisnis. Para tauke senang karena barang yang mereka titipkan kepada Haji Kalla laku keras. Di sisi lain, para pembeli merasa dilayani ekstra. ”Pelanggan dari luar daerah kerap disuguhi makan siang,” kata Jusuf Kalla.
Dari ayahnya, Jusuf belajar cepat mengambil keputusan. Ketika tahu anaknya perlu belajar bahasa Arab, Haji Kalla tak memanggil guru melainkan kenalan yang memang mahir berbahasa Arab. ”Saya lalu diminta ngobrol apa saja dalam bahasa Arab,” kata Jusuf.
DALAM soal agama, Haji Kalla sangat puritan. Pengurus Nahdlatul Ulama itu tak segan merotan anaknya yang tak mengaji. Belajar Al-Quran biasanya dilakukan di masjid atau rumah guru agama pada sore hari. Jika rotan melayang, sang ibu, Hajah Athirah, mengiba-iba. ”Jangan diteruskan,” kata Jusuf menirukan ibunya.
Menurut Muhammad Abduh, teman masa kecil Jusuf yang belakang menjadi salah satu staf khusus di kantor wakil presiden, cara orang tua mendidik anak pada masa itu memang keras. ”Kena tempeleng atau tendangan itu biasa,” katanya. Menurut Abduh, hal itulah yang membuat JK berkarakter keras. ”Jangan harap kalau JK sudah membuat keputusan lalu akan berubah,” katanya. Abduh menunjuk soal keputusan JK memberlakukan ujian akhir nasional untuk kelulusan siswa. Soal sifat keras ini, Jusuf mengakui mendapatnya dari sang ayah. ”Bapak saya tegas dan teguh.”
Kebalikan Haji Kalla, Hajah Athirah, sang ibu, justru cenderung kalem. Sejak kecil, Athirah mengajari anak-anaknya agar hidup sederhana. ”Kalau kau naik mobil, lihat kawan kau yang naik motor atau sepeda. Tapi, jika ingin berhasil, lihat kawan yang lebih pintar,” begitu petuah sang ibu.
Pada 1952, pecah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Banyak toko dirampok dan dibakar. Kehidupan bisnis lumpuh. Haji Kalla memutuskan pindah ke Makassar pada 1953. Jusuf Kalla, yang baru sepuluh tahun, dititipkan pada neneknya, Hajah Kerra, dan tante dari ibu, Hajah Manisan. Setahun kemudian ia ikut orang tuanya pindah ke Makassar.
Di Makassar, Jusuf sekeluarga tinggal di rumah toko berlantai tiga yang dibeli sang ayah. Haji Kalla lalu memasukkan Jusuf ke SMP Islam di Jalan Datuk Museng pada 1954. Harapannya, Jusuf Kalla belajar ilmu agama dan bisa melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Menurut Muhammad Abduh, rekan satu bangku Kalla, kurikulum sekolah ini 30 persen pendidikan umum dan 70 persen agama.
Menurut Jusuf Kalla, mata pelajaran favoritnya saat itu adalah sejarah dan ilmu bumi, bukan ilmu agama. ”Nilai saya delapan, yang lain enam-tujuh,” kata Jusuf. Bahasa Inggris Jusuf, kata Abduh, juga lebih baik dibandingkan bahasa Arab. Belakangan Abduh melanjutkan pendidikannya ke SMA umum. Jusuf Kalla sempat meneruskan ke SMA Islam.
Sejak di Makassar, bakat kepemimpinan Kalla terasah. Ia bergabung dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia. Tiap Jumat ia berlatih pidato. ”Saya sempat berpidato pada Isra’ Mi’raj,” kata Jusuf.
Saat Haji Kalla menikah lagi dengan Hajah Adewiyah, tanggung jawab Kalla sebagai anak lelaki tertua semakin besar. Ini karena sang ibu, Hajah Athirah, melarang suaminya bermalam di rumah. Kalla seketika berperan sebagai kepala rumah tangga. ”Saya yang mengiringi Ibu ke rumah sakit saat melahirkan adik-adik,” kata Jusuf. ”Bapak baru datang setelah Ibu melahirkan.”
Menurut Ahmad Kalla, Jusuf saat itu ibarat ayah bagi adik-adiknya. ”Dia mendaftarkan adik-adik sekolah, termasuk membayarkan uang sekolahnya,” kata Ahmad.
Ketika menginjak SMA pada 1958, Jusuf Kalla mengendarai Vespa. ”Dibelikan Ayah karena SMA saya cukup jauh,” kata alumnus SMA 3 Makassar ini. Kawan-kawannya yang bersepeda, saat pulang sekolah, sering menggandeng Vespa Jusuf. ”Bukannya enak, naik Vespa jadi malah capek,” kata JK. Karena anak orang berada, Jusuf juga kerap mentraktir kawan-kawan di kantin. ”Uang jajannya memang lebih banyak daripada yang lain,” kata Muhammad Abduh.
Setahun mengendarai Vespa, Jusuf dibelikan mobil Willys. Tak dipakai bergaya-gaya, Willys itu disewakan. Sesekali mobil itu dipakai sendiri oleh Jusuf dan ayahnya untuk mengunjungi rekan bisnis.
Pada 1961, Jusuf Kalla kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Di sana ia sempat menjadi ketua dewan mahasiswa dan ketua Himpunan Mahasiswa Islam cabang Makassar pada 1965-1966.
Saat menjadi aktivis inilah, Jusuf Kalla berkenalan dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar (1960-1964), Jenderal M. Jusuf. Hubungan keduanya semakin intens setelah Jenderal M. Jusuf menjadi ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Jusuf sempat empat kali naik haji bersama M. Jusuf.
Di Mekah, keduanya sering berdiskusi. ”Misalnya tentang sikap Pak M. Jusuf terhadap Soeharto,” kata Ahmad Kalla. Sang jenderal juga menanamkan sikap berani menanggung risiko.
Tokoh lainnya yang dikagumi Kalla adalah Panglima Kodam XIV/Hasanuddin (1965-1968), Solihin Gautama Poerwanegara. ”Sifat kerakyatan beliau sangat menonjol,” kata Kalla. Sebagai pemimpin mahasiswa di Makassar saat itu, Kalla kerap datang berkonsultasi mengenai politik nasional pasca-pemberontakan PKI pada 1965. ”Saya bisa datang menemui beliau tengah malam,” kata Kalla. Nama Solihin dipakai Kalla untuk anak lelaki satu-satunya: Solihin Jusuf Kalla.
Saat masih kuliah, Kalla sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (1965-1968) dari jalur Sekretariat Bersama Golongan Karya. Ia meninggalkan legislatif setelah sang ayah memintanya mengembangkan bisnis keluarga. Saat itu bisnis Haji Kalla sedang ambruk. Keluarga itu hanya mengelola enam bus antarkota di Sulawesi Selatan.
Transisi kepemimpinan bisnis itu terjadi begitu saja. Menurut Ahmad Kalla, peristiwa ini disaksikan tiga orang: ayah, ibu, dan Jusuf Kalla. Sang ayah mengeluarkan 15 kilogram emas batangan hasil likuidasi usaha setelah guncangan ekonomi pada 1955. ”Emas itu ditanam di bawah tempat tidur orang tua,” kata Ahmad.
Emas itu lalu dijual bertahap dan uangnya digunakan sebagai modal usaha. Jusuf Kalla lantas melirik bisnis impor mobil Toyota dan membuka agen tunggal. Ia berangkat ke kedutaan besar di Jakarta, mencari tahu cara mengimpor mobil. Setelah mendapat alamat pabriknya, Kalla menghubungi dan dipercaya mengimpor mobil semi-knocked down untuk dirakit kembali dan dicat. ”Saya ikut mengecat,” kata Ahmad, yang saat itu masih pelajar sekolah menengah.
Di tangan Jusuf, bisnis Haji Kalla berkibar. Usaha bercabang ke sektor pembangunan jalan, irigasi, hingga pembangunan bandar udara. Dua pekan sebelum meninggal, Haji Kalla meminta notaris dan menyerahkan saham kepada Jusuf dan adik-adiknya. Jusuf mendapat saham 50 persen, selebihnya dibagikan kepada anak yang lain. Posisi Jusuf di keluarga besarnya semakin kukuh. ”JK itu seperti godfather bagi kami,” kata Ahmad.
Istri kedua Haji Kalla tak mendapat warisan. Sang ayah menganggap bisnis keluarga itu adalah jerih payah dirinya dan Hajah Athirah. Menurut Herlina Kalla, adik tiri Jusuf Kalla, kebanyakan anak Kalla senior dari istri muda memang tak bekerja di perusahaan keluarga itu. Mereka pegawai negeri sipil. ”Hanya satu abang saya yang bekerja di PT Hadji Kalla,” kata Herlina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo