Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perang muslihat di kebun sawit

Bos pt sawit asahan indah muhammad said daud,53, menggugat indra rukmana dan prajogo pengestu di pengadilan negeri bukittinggi. pengusaha itu ditu- ding ingkar janji. tak melunasi sisa utang.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indra Rukmana dan Prajogo Pangestu dituding tak kunjung melunasi utang pembelian perusahaan kelapa sawit. Siapa memperdaya siapa? KALI ini kodok menantang lembu. Bayangkan, pengusaha beken Indra Rukmana dan taipan Prajogo Pangestu pekan-pekan ini digugat pengusaha lokal -- bos PT Sawit Asahan Indah (SAI), Muhammad Said Daud -- di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Said menuding kedua konglomerat itu ingkar janji karena tak kunjung melunasi utangnya, sisa harga pembelian PT SAI, Rp 2,6 milyar lebih. Berdasarkan itu, Said, 53 tahun, menuntut ganti rugi sekitar Rp 8,3 milyar (sisa utang plus bunga dan kerugian moril) dari Indra dan Prajogo. "Saya tak akan beranjak dari gugatan ini. Saya hanya menuntut uang saya," ujar Said, berapi-api. Pengusaha asal Pariaman itu merasa terpedaya permainan bisnis kedua orang itu yang, menurut dia, sudah tak manusiawi. Perkara ini bermula ketika Said, pada 1988, menjual seluruh kekayaan PT SAI senilai Rp 3 milyar kepada kelompok Indra dan Prajogo. PT SAI, perusahaan perkebunan dan pengolahan minyak kelapa sawit, punya 6.000 lembar saham (masing-masing Rp 1 juta) dan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 hektare di Desa Rambah Samo, Riau. Waktu itu, di hadapan Notaris Julinar Idris di Bukittinggi, Indra membeli 3.000 lembar saham, Prajogo membeli 2.400 lembar saham, sisanya (600 lembar) dibeli seorang rekan usaha Indra. Untuk tahap pertama, Said menerima Rp 350 juta. Lalu senilai Rp 1,5 milyar dicicil dalam tempo tiga bulan. Ganti rugi Rp 1,3 milyar untuk bangunan fisik, menurut perjanjian, akan menyusul jika kredit PT SAI manajemen baru sudah cair dari bank. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa Said bertanggung jawab membayar utang PT SAI kepada kreditur. Ia juga diharuskan membagi hasil penjualan saham kepada para bekas peseronya. Ia juga mengurus sertifikat HGU kebun itu. Semua transaksi ini, juga pembayaran pihak pembeli, disepakati melalui rekening Julinar di Bank Nasional Bukittinggi. Jika rampung, barulah dibuat akta bukti pelunasan. Tapi janji itu mengaret. Setahun berlalu, Said tak kunjung memperoleh pembayarar sisa utang tadi. Pernah Said menagih melalui Amiruddin Yusuf, yang dipercaya PT SAI manajemen baru untuk mengurus soal itu. Tapi Amiruddin malah meminta Said membuat surat pernyataan bahwa utang telah lunas untuk mempermudah pencairar kredit PT SAI manajemen baru dari bank. Anehnya, Said memenuhi permintaan itu. Lebih mengherankan, kuasa hukum Said di Jakarta, Syofyan Taher, juga melakukan hal serupa itu, setelah Syofyan menerima duit Rp 110 juta dari PT SAI manajemen baru. Berdasar itu, Amiruddin kemudian menyurati Said bahwa utang mereka sudah lunas. Berangkat dari sini, Hidayat Achyar, pengacara Indra dan Prajogo, menerbitkan iklan di harian Analisa Medan pada 1 September 1989. Isinya menyebut, PT SAI pimpinan Said telah beralih kepada manajemen baru. Tentu saja Said panik, sekaligus merasa terjebak. Ia dan Syofyan menyurati SAI manajemen baru dan membatalkan pernyataan yang membuat mereka terjebak itu. Tapi iklan itu telanjur membuat pesero dan kreditur SAI lama yakin Said telah mengantungi duit tersebut. Nah, mereka pun antre menagih uang itu kepada Said di Bukittinggi. Sampai-sampai ada pula yang menghunus golok. Belakangan, Said semakin terpojok ketika mendengar SAI baru telah membayar sebagian kreditur dan para pesero SAI lama. Karena itulah Said menggugat kelompok Indra dan Prajogo. "Saya sudah tidak sabar lagi menghadapi permainan ini. Jiwa saya dan keluarga terancam. Padahal, saya sama sekali belum menerima uang sisa pembayaran itu," kata Said. Ia juga menambahkan bahwa anak-anaknya terpaksa putus sekolah gara-gara kasus tersebut. Di pengadilan, kuasa hukum Indra dao Prajogo langsung mengeksepsi gugatan itu. Senjata yang digunakannya, ya, tak lain, surat pernyataan "utang lunas" dari Said dan Syofyan tadi. Pukulan Hidayat semakin telak karena ternyata luas kebun hanya 7.000 hektare -- tak benar 40.000 hektare. Karena itu, Hidayat menganggap pembayaran pertama Rp 500 juta (kata Said hanya Rp 370 juta) sudah melebihi harga kebun yang tak sampai seperempat dari janji Said. Bahkan, selain uang muka itu, Indra juga telah membayar pihak lain vang mengurus HGU, yang mestinya diurus Said. Beberapa pemilik saham SAI lama, katanya, juga sudah dibayar Indra. Yang lebih parah, kebun yang dijual Said itu rupanya sudah lebih dahulu disita Pengadilan Negeri Medan. Gara-gara ini Said pernah ditangkap Mabes Polri pada Maret 1989 lalu. Pengacara O.C. Kaligis, atas nama kliennya Jim Canor Sirait, memang pernah mengadukan Said karena menjual kebun berstatus sita jaminan. Pada 1984-1985 Said (yang dikabarkan Kaligis kini telah buron) kabarnya berutang Rp 200 juta kepada Sirait. Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa kasus itu pada 1987 memutuskan Said harus membayar utangnya. Karena itu, pengadilan menyita harta kekayaan SAI, yakni kebun sawit seluas 7.000 hektare itu. Pada 28 Juli 1988 keputusan itu sudah dieksekusi pengadilan. Kebun sawit sitaan itulah yang sebulan kemudian dijual Said kepada Indra dan kawan-kawan. Karena itu pula Kaligis meminta kepada SAI manajemen baru agar tak memberikan lagi sisa pembelian saham itu kepada Said. Seorang pesaham SAI lama, H.M. Syafei, juga mengajukan protes kepada SAI baru. Ia kaget mendengar adanya jual beli saham itu, padahal ia belum menerima sepeser pun. Hidayat menduga gugatan Said itu hanya sebagai tameng. Menurut Hidayat, Said punya utang di sana-sini bermodalkan surat-surat negosiasi jual beli SAI yang diteken Indra. "Ketika orang datang menagih utang, ia pun menggugat SAI baru untuk menunjukkan bahwa ia masih punya tagihan milyaran rupiah dari Pak Indra," kata Hidayat pada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Persoalannya memang siapa memperdaya siapa. Bersihar Lubis & Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus