DISEBUT-sebut, Eddy Tansil -- untuk mendapat kredit dari Bapindo -- didampingi oleh seorang pejabat tinggi. Dan ada yang menyebut lagi bahwa pejabat tinggi yang diisukan itu adalah Ketua DPA Sudomo. Untuk mencek kebenarannya, TEMPO mengejar Sudomo sampai Bukittinggi. Mantan Panglima Kopkamtib dan Menko Polkam ini kebetulan sedang berada di Sumatera Barat untuk meresmikan pembangunan jalan oleh PT Allied Indo Coal (AIC) -- perusahaan tambang yang tengah mengeruk batu bara PT Bukit Asam Sawah Lunto. Wartawan TEMPO, Fachrul Rasyid, Sabtu lalu mewawancarai Sudomo di Hotel Pusako Bukittinggi. Petikannya: Konon Eddy Tansil dari grup Golden Key mendapat kredit Rp 1 triliun, setelah Anda memperkenalkannya kepada Menteri Keuangan. Anda memperoleh saham di sana sebagai sleeping partner? Saya memberikan referensi yang tak menentukan. Itu sekadar untuk mengetahui bahwa orang ini memang benar bisa dipercaya untuk melaksanakannya. Persoalannya, dulu dia itu dengan Senofex. Dan Senofex itu tahu-tahu tak memenuhi ketentuan standar. Lalu dia harus mengubah lagi dengan Korea. Dari Senofex ke Korea itu memerlukan waktu, memerlukan tambahan biaya. Saya kenal dia, dan saya yakin dia itu tak akan lari. Dia harus bertanggung jawab. Malah saya akan menyampaikan kepada Bapindo dan sebagainya. Coba, supaya ditekan terus dan dimintai keterangan mengenai persoalan selanjutnya. Anda benar punya saham selaku sleeping partner di sana? Tidak, ah. Tak ada kaitannya. Saya tak punya saham apa-apa. Boleh dicek, saya tak punya saham. Anda yang memperkenalkannya kepada Menteri Keuangan? Lho, siapa saja bisa. Dulu, itu kan cuma persoalan referensi saja. Itu kan untuk mereka, bukan untuk saya. Kalau terbukti saja, saya kira tak ada masalah. Benarkah Anda tak punya saham? Bagaimana dengan anak Anda? Nggak benar. Saya tak punya saham. Anak saya juga tidak. Bagaimana dulu Anda melihat usaha Golden Key itu? Bagaimana prospeknya? Bagus? Bagus. Dia punya persoalan hanya karena berubah dari Senofex kepada Korean Bank. Itu ada jaminannya juga dari Mitsubishi. Lha, bank tak sembarangan menentukan itu. Saya juga tak bisa memerintahkan bank itu. Segala sesuatu kan persoalan teknis. Hubungan Anda dengan Eddy Tanzil sendiri bagaimana? Mereka sudah saya kenal. Mereka, dan keluarga, saya kenal dari dulu. Bisnis mereka itu apa saja? Proyeknya adalah petrochemical. Itu proyek hulu, yang dianjurkan untuk ditingkatkan sehingga kebutuhan dalam negeri tak tergantung impor lagi. Bahan-bahan itu untuk membuat plastik, bisa dibikin dalam negeri. Dan ini untuk mendorong industri hilir. Jaminannya apa? Dia itu punya jaminan dari Mitsui dan Korea itu. Bank itu tak sembarangan menerima kalau tak ada jaminan. Dan dia dulu banyak usaha di RRC. Nah, dulu prinsipnya saya katakan, daripada kamu investasi di RRC, uang itu bawa sajalah ke sini. Jadi saya kenal dia itu sudah dulu, dalam pelaksanaannya dulu itu. Anak Anda juga tak ikut dalam investasi bersama (ET) itu? Tidak. Justru itu yang saya jaga dari dulu. Kalau saya tak begitu dari dulu, akan ada konflik kepentingan. Dan saya tak akan bisa ngomong seperti sekarang, seenaknya sendiri. Itu persoalannya. Sebagai bekas Menko Polkam, bagaimana Anda melihat isu kredit mecet? Saya kira ini masalah biasa. Tidak ada persoalan. Kan sekarang ini orang mengira macam-macam, bahwa uang itu harus dikembalikan. Apa ini bukan untuk membangkitkan, misalnya, anti Cina? Ya, biasalah. Padahal orang juga tahu untuk industri hulu itu memerlukan ratusan juta dolar. Tapi yang 35 persen uangnya sendiri. Kalau misalnya ada permainan, katakanlah agunannya tidak sesuai, kan persoalannya mudah. Bank mudah mengambil tindakan. Persoalannya di bank itu. Karena menyangkut rahasia bank, menurut saya, tidak perlu diumumkan. Itu harus diselesaikan kasus demi kasus. Kerahasiaan bank itu harus dijamin. Kalau sekarang semuanya ngomong, akan menimbulkan kecurigaan. Yang penting lagi, sampai sejauh mana proyek yang dikerjakan perusahaan itu. Saya sendiri sudah cek yang petrochemical di Tangerang itu. Baramuli vokal sekali di DPR, bagaimana menurut Anda? Politis. Ya, itu salah satu yang dikaitkan dengan pengusaha tekstil. Pada mulanya begitu dan kemudian disamaratakan, keseluruhannya. Menurut saya, sebaiknya Menteri Keuangan membentuk sebuah tim dari bank sendiri. Sebab pembiayaan proyek itu juga ada sindikasinya. Golden Key, misalnya, bekerja sama dengan Bapindo, BNI 46, dan ada satu lagi. Itu tidak sembarangan. Apa ada orang lain di belakangnya? Saya tak mau mencurigailah. Nanti bisa menimbulkan macam-macam. Nanti tak akan menguntungkan bagi investor. Sadarilah. Sebaiknya tanyakan kepada pihak yang bersangkutan dan kepada Menteri Keuangan. Jangan lantas mengeluarkan statement. Nanti tidak selesai. Saya katakan kepada pengusahanya supaya mereka open gitu. Boleh cek kepada Edy dan Bapindo sendiri. Pemerintah sendiri tak perlu mengumumkannya karena itu berkaitan dengan rahasia bank. Ini akan berpengaruh kepada ketenangan investor. Anda melihatnya sebagai masalah politik? Saya melihatnya begini. Pertama biasa karena kecemburuan atau persaingan tidak sehat dan sebagainya. Jadi ini tidak bagus, belum apa-apa kita sudah mulai curiga. Hubungan Anda dengan ACI? Ini kan yang direksinya Dali Tahir. Saya diminta ngomong- ngomong untuk memberi motivasi kepada karyawannya. Dia itu teman dalam grup golf. Itu saja. Jadi hubungan Anda dengan Golden Key, boleh diperiksa? Silakan, saya bersedia diperiksa. Kalau pejabat memiliki saham perusahaan dimungkinkan sekali. Tapi orang tahu saya itu punya prinsip. Saya bersedia diperiksa untuk membuktikan omongan saya. Kalau ada anak yang minta pekerjaan, ya, dikasih referensi. Itu bukan tindak pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini