JALAN berlumpur itu amblas di sana-sini. Maklum, hampir tiap malam truk-truk kontainer hilir mudik mengangkuti bermacam alat-alat berat. Truk- truk beriringan menuju sebuah titik di pinggir pantai Bojonegoro, satu kawasan di kecamatan yang sunyi, 13 kilometer sebelah utara pasar Cilegon, Jawa Barat. Di kawasan seluas 90 hektare yang menjorok ke laut itulah sedang dibangun proyek yang dihebohkan koran lantaran isu kredit macet: industri petrokimia milik Golden Key Group. Sebuah bangunan raksasa warna krem dengan beberapa cerobong yang belum berasap tampak menjulang ke angkasa. Di dekatnya, kubah-kubah besar melengkung di bawah langit. Masing-masing melindungi tanki bergaris tengah 15 meter. Di sisi lain, beberapa buldozer menderu-deru menguruk pantai untuk direklamasi. Puluhan pekerja masih saja membereskan instalasi listrik dan konstruksi, padahal senja sudah berangsur gelap. Suasana seperti itulah yang terlihat ketika TEMPO mendatangi kawasan pabrik Hamparan Rejeki, Graha Swakarsa, dan Dinamika Erajaya -- semuanya bernaung di bawah Golden Key Group -- pekan lalu. Menurut petugas keamanan yang sudah bekerja di sana empat tahun, semua hiruk-pikuk itu telah berlangsung sejak dua setengah tahun lalu. Katanya, ada 18 kontraktor dengan 40 subkontraktor termasuk Toio Sinar, Bangun Tjipta, dan Tata yang terlibat dalam pembangunan proyek raksasa itu. Belakangan proyek ini digenjot dengan lembur hingga hampir tengah malam, untuk mengejar target. "Habis diserbu hujan terus-terusan," kata seorang supervisor di antara deru genset. Menurut petugas pengawas ini, sekarang telah siap dioperasikan beberapa perangkat jasa yang mendukung berputarnya mesin-mesin pabrik. Satu di antaranya adalah instalasi pemurnian air yang mengolah air laut menjadi air tawar. Di sini ada delapan tangki air bercat hijau dengan diameter 10 meter dan tinggi 8 meter, yang siap diisi. Silinder-silinder itulah yang akan memasok air bagi kompleks industri Golden Key. Juga telah selesai sebuah dermaga baru yang, katanya, bisa dirapati kapal pengangkut peralatan berat. "Sudah beberapa kali kapal-kapal itu bersandar dan membongkar muatan di sini," kata seorang petugas. Seturun dari kapal, mesin-mesin itu disambut oleh ban berjalan yang akan mengantarkannya ke kompleks pabrik. Dan untuk membangun pelabuhan ini, perairan pantai diuruk seluas 30 ha. Termasuk dalam fasilitas jasa pendukung, bengkel-bengkel pemeliharaan, sebagian instalasi listrik, dan beberapa ruang perkantoran. Sedangkan yang siap dioperasikan barulah pabrik acrylic fiber di bawah PT Hamparan Redjeki. Boleh jadi Eddy Tansil benar. Katanya, pabrik penghasil 40.000 ton bahan pengganti wool untuk industri tekstil dalam negeri ini sudah akan berproduksi April depan. Yang juga sedang dibangun adalah pabrik PVC, resin, dan "kimia yang lain". Kelompok industri ini dijadwalkan berproduksi Juli depan. Hanya saja, tak ada sumber yang malam itu dapat menjelaskan lebih rinci seputar industri bijih plastik styrene monomer, kebanggaan Tansil. Padahal, senyawa inilah yang terpenting dari industri petrokimia tersebut. Lagi pula, kabar yang beredar mengatakan, justru karena styrene monomer, maka proposal Eddy mendapat dukungan sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan V. Bijih plastik yang dibuat dari ethylene benzene ini setingkat lebih "jadi" ketimbang olefin yang masih berupa cairan bahan plastik. Melalui proyek Eddy ini, konon, sekelompok pengambil keputusan berniat membuktikan bahwa untuk membangun sebuah "olefin center" tak perlu dana sebesar US$ 1,6 miliar, seperti yang dikeluarkan Prajogo Pangestu.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini