TINGGI besar, dengan rahang persegi berkesan kukuh, lelaki kelahiran Ujungpandang itu tersenyum lebar, dan menyambut ramah TEMPO, Kamis malam pekan lalu di kantornya. Itulah Eddy Tansil, 42 tahun, ayah dua anak, yang sejak dua pekan lalu tampil sebagai berita besar di berbagai media, mengalahkan drama Ria Irawan. Betulkah pengusaha yang dahulu bernama Tan Tjoe Hong ini telah menyeret Bapindo dalam misteri larinya kredit besar senilai Rp 1,3 triliun? "Berita itu membuat saya sedikit tertekan," kata Eddy Tansil. Dia tersenyum lagi, dan kelihatan tak kehilangan kendali ketika diberondong pertanyaan lain. Tapi itu bukan berarti semua soal dijawab terbuka. Ia terkesan sangat hati-hati dan keberatan untuk dijepret kamera, apalagi direkam suaranya. Boleh jadi, berita yang mendadak melambungkan namanya secara nasional itu membuat pengusaha yang berkantor di sebuah ruko empat lantai di Pecenongan, Jakarta Pusat, menjadi kikuk. Maklum, adik kandung pengusaha terkenal Hendra Rahardja ini memang belum diperhitungkan namanya di panggung bisnis Jakarta. Sekalipun begitu, majalah Info Bisnis terbitan Desember tahun lalu menempatkan dia dalam peringkat ke-163 pengusaha keturunan Cina terkaya di Indonesia. Tersebutlah Eddy, memiliki delapan pabrik dengan aset yang mendekati Rp 1 triliun. Pengusaha yang pernah memonopoli industri dan pemasaran kendaraan umum roda tiga Bajaj ini, ketika didesak, akhirnya mau juga membuka sedikit lemari kekayaannya. Dia mengaku punya tiga pabrik: PT Glasfibindo, satu-satunya penghasil kaca serat di negeri ini, lalu PT Materindo, pembuat cetakan industri pres lembaran baja. "Semua mobil dan motor Jepang di jalanan dibuat dengan cetakan saya," katanya. Dan yang kini tengah dibangun, sebuah kompleks industri petrokimia di Cilegon, Jawa Barat, yang sekarang dihebohkan itu. Melihat kantornya yang tanpa papan nama, dengan dinding berwarna putih kusam, dengan pintu masuk sebuah rolling door, dan ruangan kerja yang disekat tripleks, siapa pun tak akan menyangka Eddy Tansil telah berhasil menjala kredit sebanyak itu dari sejumlah bank pemerintah. Penampilan pengusaha Pecenongan ini juga jauh dari perlente. Mengenakan kemeja lengan pendek, tanpa dasi, pengusaha tanpa kartu nama yang hanya lulus SMA dan pernah kuliah sebentar di Singapura ini kemudian menjawab pertanyaan Dwi Setyo Irawanto dari TEMPO. Beberapa petikan: Benarkah Anda berutang Rp 1,3 triliun? Jumlahnya tak sebesar itu, dan bukan melulu dari Bapindo. Tapi berasal dari sindikasi enam bank pemerintah di luar BTN, dan sebuah bank asing. Pinjaman itu seluruhnya dipakai untuk membangun kompleks industri kimia di Cilegon senilai Rp 800 miliar, yang bisa dibagi dalam tiga kelompok proyek. Bapindo hanya memimpin satu proyek, sisanya dipimpin dua bank pemerintah lain. Kredit yang saya peroleh dari Bapindo memang paling besar. Apa betul pinjaman itu tanpa agunan dan ekuiti yang wajar? Tidak betul itu. Kami punya ekuiti 35%, termasuk tanah 90 hektare tempat proyek itu berdiri. Agunannya, ya, proyek itu. Tapi sekarang macet? Itu juga tidak benar. Proyek kami jalan terus. Cuma bertahap. Mengingat proyeknya belum selesai semua, ya, tidak bisa dibilang macet, dong. Belum apa-apa orang sudah menuding saya belum mencicil utang. Dari mana saya harus membayar cicilan kalau pabriknya belum selesai? Bagaimana perjanjian kreditnya? Kami memperoleh kredit lewat usance L/C tahun 1991. Semuanya dalam dolar AS. Bunganya lebih baik tak disebut. Tapi yang standar biasanya dua persen di atas Sibor (tingkat bunga rata-rata yang berlaku di Singapura). Dalam perjanjian, ada grace period (masa bebas bunga) hingga pabriknya selesai dan berproduksi, sepanjang proyeknya berjalan menurut jadwal. Tapi proyek Anda kan tertunda satu tahun .... Itu karena iklim usaha lagi susah. Ketika itu, tahun 1992, kan ada tight money policy. Tapi di luar itu, proyek kami sesuai dengan jadwal. Dengan kelambatan itu, Anda tak kena penalti? Tidak. Anda juga diuntungkan akibat perubahan dari usance menjadi red clause L/C? Beberapa bulan setelah keluarnya usance L/C, memang diubah menjadi semacam red clause L/C. Sebenarnya bukan sepenuhnya red clause. Sehingga tidak bisa dianggap melanggar peraturan. Tapi yang pasti, tidak terjadi manipulasi data pembelian barang seperti yang dituduhkan di DPR. Bisa saya buktikan itu. Dengan red clause L/C itu Anda dituduh mencairkan kredit sekaligus .... Mana mungkin? Kredit itu tetap turun bertahap sesuai dengan kemajuan proyek. Katanya, Anda begitu gampang menerima kredit tanpa kelayakan proyek. Bank mana yang mau memberikan kredit tanpa mencari laba? Mereka tidak bodoh. Sudah pasti bank akan menuntut ada FS (studi kelayakan proyek -- Red.). Dan itu telah kami lakukan. Proyek kami menguntungkan, kok. Menguntungkan bagaimana? Begini. Saudara jangan lupa bahwa hidup manusia tidak bisa dipisahkan dari industri petrokimia. Kebutuhan plastik dan substitusinya terus berkembang. Misalnya, alat rumah tangga, pulpen, kaus kaki, jok mobil, tekstil, sepatu, dan macam-macam barang lain. Industri hulu memang tidak besar untungnya. Tapi, ia luwes pasarnya. Karena itu, labanya akan stabil dalam jangka panjang. Apalagi produk kami juga berfungsi sebagai substitusi impor. Pasarnya masih sangat terbuka. Bagaimana ceritanya Anda sampai mendapat kredit besar dari Bapindo? Menurut saya, Bappindo adalah bank pemerintah yang paling agresif. Mereka punya divisi promosi yang selalu mencari informasi ke BKPM, apakah ada proyek yang layak diberi kredit. Dari sana, mereka lalu menawari saya kredit. Bukan dari siapa-siapa. Awalnya hanya dari seorang account executive. Orang bilang permintaan kredit Anda tergolong yang cepat cair. Kemudian dihubung-hubungkan dengan seorang pejabat tinggi yang menjadi komisaris. Nggak ada itu. Tak mungkin, dong. Pejabat tinggi kan dilarang menjadi komisaris perusahaan swasta. Tidak. Nggak mungkin itu. Kabarnya, Anda dekat dengan beberapa pejabat tinggi. Ya, kenal begitu saja. Sebagai pengusaha, saya sering bertemu kalau ada acara atau pesta. Jadi, kenal begitu saja. Anda suka main golf? Tidak. Olahraga saya berenang. Semula Anda mau membuat olefin, tapi mengapa lantas beralih membikin produk yang lebih hilir? Dulu sekali pernah terpikir membuat pabrik olefin. Tapi baru sampai membuat konsep-konsepnya, saya lalu punya pikiran lain, yang saya anggap akan bisa lebih menguntungkan. Soalnya, saya kemudian mendapat tahu bahwa di dunia ini sudah banyak pabrik olefin. Maka, saya urungkan niat saya untuk masuk ke industri hulu itu. Saya pun beralih ke proyek yang lebih ke industri hilir, yaitu pabrik untuk memproduksi bijih plastik. Kalau memang bisnis Anda bersih, kenapa diam saja ketika ada yang menuding Anda tidak beres? Sudahlah. Biarkan bagaimana adanya. Saya ini percaya kepada nasib dan peruntungan. Anda lahir di bawah shio ular, ya? Wah, maaf, saya tidak bisa menjawab ini. Saya kan belajar ilmu fortune. Jadi, pantang bagi saya untuk menyebutkan tanggal lahir secara terbuka, karena bisa gampang disantet orang. Ha ha ha.... Apakah dewa keberuntungan akan berpihak ke Eddy Tansil, siapa tahu. Sebab, selain dikabarkan dia punya deking orang atasan, di setiap pintu kantornya tertempel lambang yin dan yang, dan sederet tulisan Cina, sebagai penolak bala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini