Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR poster menebar pesan ancaman. Ada percikan horor yang terpantul dari sosok kaki berbalut celana denim biru dan se-patu bot militer bertali putih. Sepotong tangan menggenggam erat tongkat kayu pemukul bola sofbol yang tersembunyi di balik kaki. Sosok menakutkan itu menghadap ke dinding, seolah siap mendera figur yang terpojok di sudut dinding meringkuk di lantai penuh ketakutan. Kepala sosok malang itu hanya bulatan putih dengan satu kata "Dich" (kamu) di tengah. Di bagian bawah poster tertulis: Rechte Gewalt geht Alle an! (kekerasan sayap kanan adalah persoalan semua!).
Selembar poster, seribu perasaan kelam. Kebencian, kemarahan, ketakutan, ancaman, teror menggumpal jadi satu pada poster karya Dieke Armbroster yang dipamerkan di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, 13 Juni-4 Juli itu. Ada 45 poster ditampilkan di acara itu, tapi Rechte Gewalt geht Alle an! poster yang mewakili sebuah suasana batin yang bersemayam di benak para imigran.
Sepuluh tahun silam, sebuah tragedi menimpa keluarga Genc, imigran asal Turki, di Kota Solingen. Malam itu, 28 Mei 1993, tak lama setelah reunifikasi Jerman, empat anak muda Jerman yang terkenal dengan sebutan Skinhead menyerbu rumah keluarga Genc. Dengan penuh kebencian mereka menyiram jendela rumah dengan minyak dan menyulutnya. Api pun berkobar. Malanglah nasib Saime Genc, 4 tahun, Hulya Genc, 9 tahun, Gulestab Ozturk, 12 tahun, Hatice Genc, 18 tahun, dan Gursun Ince, 27 tahun. Mereka terkurung di dalam rumah dan tewas terpanggang. Ada yang selamat: Bekir Genc, sekarang berusia 25 tahun. Tapi 36 persen bagian tubuhnya rusak dijilat api sehingga harus dioperasi 25 kali. Peristiwa itu segera menjadi simbol korban rasialisme dunia. "Semoga Allah membakar mereka (Skinhead)," sumpah Mevlude Genc, ibu dan nenek dari empat korban.
Itulah fakta yang mungkin disampaikan sayup, tapi menebar pesan ke delapan penjuru masyarakat Jerman. Sejak saat itu, organisasi antirasialis dibentuk dan kampanye digelar. Sekolah Tinggi Seni Jerman pun menyelenggarakan kompetisi poster AGI (Alliance Graphique Internationale) bertema gerakan antikanan, yang kini dipamerkan dengan tajuk Serang Kekerasan Sayap Kanan. "Saya harus mengambil tindakan terhadap radikalisme kanan," kata Kim Hackmann, salah seorang seniman poster.
Judul dan materi pameran ini menggambarkan aksi yang lebih verbal dengan simbol visual yang mudah dikenali, apalagi dilengkapi dengan teks. Maka karya poster menemukan bentuknya yang asal¾ sebagai medium komunikasi, bahkan cenderung bersifat propaganda. Lewat poster itu diharapkan muncul kesadaran akan bahaya gerakan ultrakanan dan masyarakat Jerman tergerak memeranginya.
Ada karya yang mencemooh gerakan kanan dengan menampilkan jejeran babi tambun yang berbaris rapi dengan gaya militer Nazi. Salah seorang peserta, Frank von Grafenstein, mencerca kebrutalan yang dilakukan kelompok ultrakanan. Dengan teknik grafis ia menggambarkan figur tanpa kepala sedang berlari dengan posisi tangan (kanan) memegang tongkat pemukul dan kaki bersepatu bot militer membentuk simbol swastika. Ada juga karya poster dengan teknik fotografi yang hanya menyuguhkan bagian kaki terbalut sepatu bot militer berwarna hitam dengan tali putih yang saling tersimpul. Di bagian atas tertulis teks besar bernada menghardik: Keinen Schritt weiter (tidak selangkah lagi pun).
Simbol visual khas kaum ultrakanan Jerman digunakan oleh sebagian besar seniman poster: swastika, sepatu bot militer bertali putih, warna cokelat, kepala plontos, dan gaya berbaris rapi dengan satu tangan dan kaki terangkat lurus. Bahkan karya Manuel Werner sebenarnya lebih sublim menggambarkan proses evolusi manusia ala Darwin jatuh terjerembap gara-gara kaki tersandung swastika merah. Sedangkan Rainer Czarnetzki dengan nada sinis menggambarkan kenyamanan kompleks perumahan dengan keseragaman arsitektur Jerman yang tersusun rapi membentuk simbol swastika di tengah kehijauan hamparan rumput yang terasing dari dunia kulit berwarna.
Ada pula yang menggambarkan ketertutupan, semisal karya Kim Dotty Hachmann dengan teknik fotografi yang menampilkan saling-silang pagar kayu yang kukuh. Di bagian atas poster terdapat teks: Willkommen in Deutschland (selamat datang di Jerman). Pagar biasanya dipakai oleh kelompok masyarakat Jerman yang disebut spiebburger (masyarakat yang berpandangan picik). Karya Reida Juja berupa tirai jendela tertutup rapat dengan tulisan dalam bahasa Jerman, silent of the lamp, juga gambaran sikap isolasi diri masyarakat cupet.
Poster sebagai medium propaganda politik di Jerman memang bukan hal baru, khususnya pada abad ke-20. Ketika perang berkecamuk, kantor jagonya propaganda Nazi, Goebbels, memproduksi banyak poster propaganda yang memacu semangat ras Aria melibas daratan Eropa. Selembar poster bertarikh 1942 menampilkan serdadu mengenakan topi baja di depan bendera swastika dengan slogan dalam bahasa Jerman: "Kemenangan akan menjadi milik kita."
Ketika Perang Dingin, poster propaganda politik subur di Jerman Timur, sebagaimana negara satelit Uni Soviet lainnya di Eropa Timur, termasuk Polandia, yang punya akar kuat seni poster. Gerhard Voigt, seniman poster terkenal Jerman Timur, dilimpahi pesanan pembuatan poster propaganda anti-Amerika Serikat oleh rezim komunis. Voigt menjabat Wakil Presiden Asosiasi Pelukis Jerman Timur. Ia banyak menggunakan fotomontase gaya klasik Soviet yang sederhana tapi efektif sebagai mesin propaganda.
Setelah Tembok Berlin runtuh, karakter bangsa Jerman yang dingin, berdisiplin, dan rapi masih tersisa dalam seni rupa kontemporer, termasuk seni poster. Tapi, yang menarik, muncul kecenderungan mengolah makna kata dan simbol visual pada sejumlah karya. Karya Gesa Lange berjudul Du bist ja nur ein anhanger (kau kan cuma gantungan kunci) dengan sinis menggambarkan pengikut neo-Nazi bak gantungan kunci (anhanger juga berarti pengikut). Padahal pemilik kunci, Adolf Hitler, sudah lama tiada.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo