Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah ahli energi serempak menyebutkan ketahanan energi sebagai masalah utama. Saat ini Indonesia memiliki ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar.
Subsidi elpiji yang sekitar 65 persen kuotanya justru dinikmati masyarakat mampu. Selain tidak adil bagi masyarakat miskin, kondisi ini membebani belanja negara.
Tiga pasangan calon presiden memiliki strategi berbeda untuk meningkatkan bauran energi terbarukan.
JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan energi sebagai salah satu tema dalam debat kedua calon wakil presiden besok, 21 Januari 2024. Sektor ini punya banyak masalah yang perlu menjadi perhatian para kandidat.
Sejumlah ahli energi serempak menyebutkan ketahanan energi sebagai masalah utama. Saat ini Indonesia memiliki ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar. Kemampuan produksi di dalam negeri jauh lebih rendah dibanding konsumsinya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat lifting minyak bumi sepanjang 2023 hanya 605,5 ribu barel per hari. Volumenya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Merujuk pada data CEIC, Indonesia mengkonsumsi 1,58 juta barel per hari pada 2022.
Kondisi elpiji juga serupa. Kapasitas pengolah gas di dalam negeri masih terbatas, sehingga Indonesia harus mengimpor sekitar 6 juta ton tiap tahun untuk memenuhi konsumsi elpiiji yang mencapai kisaran 8 juta metrik ton. Anggaran subsidi tahun ini pun membengkak hingga Rp 87,5 triliun untuk menyediakan 8,03 juta metrik ton elpiji. Nilai tersebut naik dari alokasi tahun lalu sebesar Rp 84,3 triliun untuk menyediakan 8 juta metrik ton elpiji.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan produksi minyak yang rendah tak terhindarkan dari lapangan-lapangan tua yang sekarang beroperasi. Namun pemerintah masih punya peluang dari kegiatan eksplorasi. Namun kegiatan ini tak dilakukan secara masif dalam satu dekade terakhir.
Pemimpin terpilih nanti, menurut Komaidi, perlu mulai menggenjot eksplorasi. "Pemerintah harus mau melakukan eksplorasi meski bukan mereka yang akan memanen hasilnya, tapi pemerintahan selanjutnya," katanya.
Secara bersamaan, pemerintah perlu mempersiapkan energi alternatif untuk mengatasi masalah energi fosil yang menipis. Dia mengingatkan, transisi energi punya banyak konsekuensi yang perlu diantisipasi, dari biaya hingga tenaga kerja.
Komaidi mengatakan ketergantungan pada impor menjadi sorotan karena efeknya yang negatif. Sebagai importir besar, Indonesia tak bisa berkutik saat harga komoditas tersebut melonjak. Dampaknya, subsidi energi bakal melonjak. Di sisi lain, kenaikan volume impor bakal mempengaruhi devisa dan ujungnya membuat nilai tukar rupiah bakal melemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi, kalau pemerintah membiarkan energi bergantung pada impor, bukan cuma masalah ketahanan energi yang muncul, tapi juga ketahanan ekonomi secara menyeluruh," ujar Komaidi.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan, Bisman Bachtiar, industri hulu minyak juga butuh kepastian hukum. Ia berharap ada komitmen dari presiden terpilih nanti untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas yang terbengkalai selama bertahun-tahun. "Wajar jika investor tidak tertarik menanamkan dana, termasuk untuk eksplorasi, karena mereka menunggu jaminan hukum," kata Bisman.
Pengesahan RUU Migas diharapkan memberi kepastian hukum dan memperbaiki iklim investasi. Menurut laporan IHS Market, salah satu alasan sehingga penanaman modal di Indonesia kurang menarik adalah masalah hukum. Dari 14 negara yang dianalisis, Indonesia berada di peringkat ke-13.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktifitas bongkar muar gas 3kg di kawasan Karet, Jakarta, 31 Juli 2023. Tempo/Tony Hartawan
Subsidi Energi Tak Tepat Sasaran
Bisman menyoroti isu lain di sektor energi, yaitu subsidi yang tak tepat sasaran. Dia mencontohkan subsidi elpiji, yang sekitar 65 persen kuotanya justru dinikmati masyarakat mampu. Selain tidak adil bagi masyarakat miskin, kondisi ini membebani belanja negara. Ia menilai perlu ada komitmen transformasi penyaluran bantuan bagi masyarakat tidak mampu.
Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mencatat nilai subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 2.240,9 triliun dalam 10 tahun terakhir. Khusus untuk subsidi elpiji 3 kilogram dalam lima tahun terakhir sudah mencapai Rp 302,9 triliun.
Abra mengatakan anggaran yang sudah digelontorkan pemerintah ini tak produktif. "Menguap begitu saja, apalagi kita ketahui subsidi tidak tepat sasaran seperti juga yang diakui pemerintah," kata Abra.
Ia mengatakan dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk program produktif. Abra menilai perlu ada penjelasan dari para calon presiden untuk mengurangi beban pengeluaran ini ke depan.
Menurut Abra, besarnya subsidi dan kompensasi energi juga dipengaruhi oleh kondisi kelistrikan Indonesia yang kelebihan pasokan. Dia mencatat rata-rata terdapat selisih 25 persen antara produksi dan konsumsi listrik per tahun. Kondisi ini merupakan buah dari target ambisius pemerintah untuk mendirikan pembangkit listrik dengan total kapasitas 35 gigawatt—yang didominasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara—yang meleset dari sisi perencanaan. Proyeksi konsumsi dalam perencanaan lebih rendah daripada realisasinya.
Abra berharap calon presiden berkomitmen merombak rencana usaha penyelenggaraan tenaga listrik atau RUPTL. "Apakah mereka memiliki keberanian untuk menghadapi para pengusaha pembangkitan untuk renegosiasi rencana pembangunan pembangkit itu perlu ditunggu," kata Abra.
Ia melanjutkan, kondisi pasokan listrik yang melimpah juga mempunyai konsekuensi lain, yaitu terhambatnya pengembangan energi terbarukan.
Bisman menambahkan, kondisi listrik yang melimpah ini tak dibarengi dengan elektrifikasi ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Dia mencatat masih ada daerah yang belum bisa menikmati listrik hingga saat ini. Berdasarkan catatan Kementerian Energi, rasio elektrifikasi hingga 2023 sebesar 99,78 persen. "Kita bicara masalah keadilan," kata Bisman.
Transisi Energi yang Tersendat
Kapasitas pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang mendominasi kelistrikan Indonesia tak menyisakan ruang bagi energi terbarukan. Bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 13,1 persen pada akhir 2023. Capaian itu lebih rendah dari target pemerintah, yaitu 17,9 persen.
Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, mengatakan kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi tiga calon presiden yang bertarung dalam pemilihan presiden. "Transisi energi saat ini dalam kondisi darurat dan harus segera dilakukan," katanya.
Dalam debat pada akhir pekan ini, dia berharap ketiga calon wakil presiden berfokus menawarkan strategi untuk meningkatkan energi terbarukan agar Indonesia dapat segera mengakhiri ketergantungan pada energi fosil.
Dalam dokumen visi-misi, ketiga calon presiden berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia, salah satunya lewat pensiun dini PLTU. "Strategi yang lebih rinci untuk mencapai janji-janji ini perlu menjadi fokus dalam debat cawapres pada 21 Januari mendatang," katanya.
Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, mengatakan isu penting lain di sektor energi adalah perencanaan yang realistis. Dia berharap proyek-proyek tak realistis, seperti target produksi minyak 1 juta barel pada 2030, dihapuskan, mengingat tren penurunan produksi minyak yang sulit naik lagi. Perencanaan yang tidak masuk akal bakal menyulitkan pemerintah sendiri.
Selain itu, selama ini pemerintah menyiapkan beragam program tapi tak pernah menyertakan indikator pencapaiannya. Dia mencatat, negara lain menerapkan konsekuensi untuk perencanaan yang tak bisa terealisasi. Tapi selama ini Indonesia tak punya sikap serupa, sehingga perubahan rencana lazim terjadi.
Strategi Tiga Calon Presiden
Tiga pasangan calon presiden memiliki strategi berbeda untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengandalkan penambahan kapasitas listrik dari panas bumi untuk menggantikan dominasi batu bara. Menurut Sekretaris Dewan Pakar Tim Nasional Anies-Muhaimin, Wijayanto Samirin, Indonesia memiliki 40 persen cadangan panas bumi dunia dengan potensi 24 ribu megawatt. Namun pemanfaatannya baru 8 persen. Menurut data Kementerian ESDM, kapasitas terpasang energi panas bumi baru 2.378 megawatt.
Sementara pasangan Anies-Muhaimin mengandalkan panas bumi, duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memilih bioenergi untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Wakil Bendahara Umum Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Bobby Gafur Umar, mengatakan bioenergi bisa menjadi solusi atas tingginya emisi pembangkit listrik tenaga uap batu bara.
Menurut Bobby, ada 11 juta hektare lahan tanaman industri yang berpotensi menghasilkan biomassa 544 juta ton per tahun. Bahan baku tersebut bisa menggantikan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik sebesar 120 juta ton per tahun.
Adapun pasangan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md. mengandalkan energi tenaga surya dan angin untuk menambah energi terbarukan. Sekretaris Eksekutif Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Heru Dewanto, mengatakan tenaga surya dan angin harganya paling bersaing dengan batu bara, sehingga bisa menjadi opsi untuk menggantikan dominasi batu bara. Ganjar-Mahfud mengusung program "Electrifying Everything" atau mengkonversi seluruh kebutuhan energi dengan listrik.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo