Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebab Gayus Bukan Kerbau

Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua sering ditinggal pulang penghuninya. Selain Gayus, Susno Duadji dan Williardi Wizar kerap hengkang. Menyogok jutaan rupiah agar bebas keluar-masuk.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sejumlah tersangka kasus korupsi, Rumah Tahanan Brigade Mobil Kepolisian di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, bagaikan asrama. ”Pada malam Minggu, mereka pulang dan tidur di rumah masing-masing,” ujar Komisaris Polisi Iwan Siswanto kepada penyidik Divisi Profesi Markas Besar Kepolisian, seperti dituturkan sejumlah sumber Tempo.

Sejak Mei hingga dua pekan lalu, Iwan adalah kepala rumah tahanan yang merupakan cabang Jakarta Pusat itu. Kini kariernya di ujung tanduk, setelah Gayus Halomoan Tambunan, tersangka yang menghuni tahanan itu, diketahui berada di luar sel—ketahuan menonton tenis di Bali, 1.200 kilometer dari Kelapa Dua!

Rabu pekan lalu, Iwan dan delapan anak buahnya ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan oleh Gayus. Ia diduga menerima ratusan juta rupiah untuk meloloskan pegawai golongan IIIa Direktorat Pajak Departemen Keuangan itu. Ia diperiksa setiap hari, dari siang hingga subuh. ”Sampai tidak sanggup menjawab pertanyaan lagi,” kata penasihat hukumnya, Berlin Parlindungan.

Kepada penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan, Iwan berterus terang. Menurut dia, Gayus bukan satu-satunya tahanan yang menyogok untuk bisa berkeliaran di luar penjara. Lalu ia mengungkapkan situasi tahanan pada Sabtu malam yang ditinggalkan penghuninya itu.

Rumah tahanan ini berada di bagian belakang kompleks Markas Komando Brimob, pasukan semimiliter kepolisian. Ada dua akses menuju ke sini, melalui pintu utama yang dijaga ketat atau jalan asrama yang relatif longgar. Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, menghabiskan sebagian besar masa hukumannya sebagai terpidana kasus korupsi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia di tahanan ini.

Kompleks tahanan dibagi menjadi tiga blok. Blok A dihuni para tersangka teroris yang ditangkap di Aceh. Di Blok B ada Komisaris Jenderal Susno Duadji, terdakwa kasus suap penanganan masalah hukum PT Salmah Arowana Lestari. Lalu Komisaris Besar Williardi Wizar, terpidana kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dihukum 12 tahun penjara, Williardi mengajukan peninjauan kembali kasusnya ke Mahkamah Agung. Muchdi Purwoprandjono juga ditahan di sini, ketika menjadi terdakwa kasus pembunuhan aktivis Munir, sebelum dibebaskan pengadilan.

Gayus Tambunan menghuni Blok C. Di blok ini pula Aulia Pohan menjalani masa hukuman. Blok ini pernah dihuni jaksa Urip Tri Gunawan, Hamka Yandhu, dan Antony Zeidra Abidin. Sebagian besar tahanan titipan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Peraturan rumah tahanan dibuat sangat kaku. Dalam sepekan, tahanan hanya boleh dijenguk dua jam pada Selasa dan Jumat. Telepon seluler pengunjung harus ditinggal di pos penjagaan pintu masuk rumah tahanan. Namun itu hanya peraturan di atas kertas. Seorang kerabat tahanan bercerita, tahanan Kelapa Dua jauh dari kesan angker. Penjaganya tak berseragam. Penghuninya bebas berkeliaran di kompleks sekitarnya, kecuali tersangka teroris yang selnya selalu terkunci dan dijaga ketat. ”Malah ada terdakwa korupsi yang selalu asyik merokok di lapangan parkir,” ujarnya.

Penghuni tahanan Blok B, yang selnya dilengkapi kasur pegas dan mesin penyejuk udara, bisa menghirup udara bebas di luar sel. Menurut Berlin, kliennya mengizinkan Susno dan Williardi keluar rumah tahanan. ”Tapi cuma sesekali, tidak sesering Gayus,” katanya.

Berlin mengatakan kliennya menerima uang Rp 10 juta dari Susno dan Rp 15 juta dari Williardi. Menurut dia, Iwan tak keras kepada Susno dan Williardi karena menganggapnya satu korps. Apalagi Iwan sebenarnya bekas bawahan Susno di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian. Ia analis muda di Badan Reserse.

Lewat Iwan, delapan penjaga tahanan juga menerima satu kantong kresek berisi bahan kebutuhan pokok seperti minyak goreng, gula, kopi, dan teh. ”Sembako dari Komjen Susno Duadji, terima saja buat istri kalian,” kata seorang brigadir satu, menirukan perintah Iwan kepada pemeriksa Divisi Profesi.

Empat polisi berpangkat brigadir satu dan empat brigadir dua bergantian membuka gerendel gerbang rumah tahanan. Mereka mengantar Susno ke mobil Toyota Alphard hitam yang menanti di lapangan parkir setiap Sabtu selepas salat magrib. Tanpa dikawal, Susno pulang ke rumahnya. Ia baru kembali ke sel B4 pada esok harinya. Kebiasaan setiap akhir pekan itu mulai dijalani jenderal bintang tiga tersebut sejak pertengahan bulan puasa, Agustus lalu.

Pengacara Susno, Henry Yosodiningrat, membantah keras. ”Selama ditahan, Pak Susno tak pernah sekali pun pulang ke rumah,” katanya. Henry menegaskan Susno hanya keluar rumah tahanan untuk cabut gigi di rumah sakit dan beberapa kali kontrol ke dokter gigi.

Soal pemberian uang kepada Iwan Siswanto, Henry membenarkan kliennya mengeluarkan duit Rp 10 juta. Menurut Henry, Susno minta uang itu dibagikan ke semua penjaga sebagai tunjangan hari raya pada Lebaran lalu. ”Pak Susno hanya mau berterima kasih karena sering minta tolong ini-itu kepada mereka,” kata Henry.

Setali tiga uang dengan Williardi Wizar. Ia cuma ada di rumah tahanan pada Senin dan Rabu. Seorang bintara penjaga rumah tahanan mengatakan hampir setiap hari mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu dijemput di pelataran parkir oleh sopir pribadinya. Menaiki Toyota Avanza hitam, Williardi menghilang.

Pengacara Williardi, Santrawan T. Paparang, meragukan keterangan penjaga tersebut. ”Penjagaan rumah tahanan itu kan sangat ketat, mana bisa bebas keluar?” ujarnya. Santrawan berencana segera menemui Williardi untuk membahas pengakuan dari para penjaga rumah tahanan tersebut.

Demi menutupi kongkalikong itu, Iwan membuat laporan palsu ke Kepala Badan Reserse Kriminal. ”Seakan-akan semua tahanan ada,” ujarnya kepada pemeriksa.

Adapun para penjaga yang berasal dari satuan pengamanan protokol Mabes Kepolisian juga tutup mulut jika ditanya atasannya, Ajun Komisaris Besar Adi Pandi Harianto. ”Ini urusan dalam, jangan sampai dibawa keluar,” kata Iwan, seperti ditirukan satu dari delapan bintara penjaga kepada penyidik.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta Pane melihat permainan uang buat mendapatkan perlakuan istimewa sudah bertahun-tahun terjadi di Kelapa Dua. Ketika tahanan keluar bui dengan pengawalan pun, kata dia, polisi penjaga dan pesakitannya berpisah di jalan.

Pengelolaan rumah tahanan ini tak terlalu mendapat perhatian Korps Brigade Mobil. Alasannya, secara struktur di bawah Satuan Pelayanan Markas Kepolisian. ”Mereka cuma ketempatan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Brigadir Jenderal I Ketut Untung Yoga Ana.

Ia menjelaskan, penyelidikan ada kemungkinan hanya akan berhenti di kepala rumah tahanan dan delapan anak buahnya. ”Menurut Iwan, uang dipegang sendiri dan tidak mengalir ke mana-mana.”

Meskipun ada pengakuan soal Susno dan Williardi yang main mata dengan para sipir, penyidik kepolisian tampak enggan menelusuri. Sejauh ini Yoga belum mendengar adanya pelanggaran aturan oleh keduanya. ”Untuk sementara, kami fokus ke Gayus,” kata Yoga.

Menurut Yoga, para tahanan di Kelapa Dua memang diberi kelonggaran dibesuk atau memeriksakan kesehatan karena mereka belum terbukti bersalah. Tahanan, kata Yoga, boleh berkeliaran di dalam kompleks rumah tahanan karena tak perlu sepanjang waktu mendekam di selnya. ”Mereka tidak perlu diikat seperti kerbau.”

Oktamandjaya Wiguna, Dianing Sari


Yang Mampir di Kelapa Dua

Rumah Tahanan Markas Korps Brigade Mobil Kepolisian Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, awalnya dibuat sebagai penjara para polisi bermasalah. Belakangan tersangka kasus terorisme dan korupsi juga menghuninya. Dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, juga pernah ditahan di sini. Berikut ini mereka yang sempat ditahan di rumah tahanan tersebut.

  • Aulia Pohan dan Maman Sumantri (kasus korupsi dana Bank Indonesia di Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia)
  • Mayor Jenderal (Purnawirawan) Muchdi Purwoprandjono (kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir)
  • Mantan anggota DPR, Udju Juhaeri dan Hamka Yandhu (Kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom)
  • Mantan jaksa Urip Tri Gunawan (kasus suap dalam penangangan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
  • Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Komisaris Jenderal Suyitno Landung dan mantan Direktur Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Samuel Ismoko (kasus suap pembobolan BNI)
  • Mantan Duta Besar RI di Malaysia (juga mantan Kepala Kepolisian RI) Jenderal Rusdihardjo (kasus pungutan liar di Kedutaan Besar RI di Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus