Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebilah Tongkat untuk Megawati

Gus Dur juga yang menghantarkan Mega ke istana.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN bulan silam, Nyoman Nada Umbara bermimpi. Syahdan, dalam mimpinya, paranormal gondrong asal Bali itu melihat Gus Dur menyerahkan sebilah tongkat kepada Megawati Sukarnoputri. Maka, Rabu sore kemarin, ketika massa PDI Perjuangan mengamuk setelah "ibu" mereka dikalahkan "kakaknya sendiri", Umbara pun lantang berteriak, "Jangan saling menghujat. Semuanya akan kembali ke tangan ibu kita." Mimpi Umbara—kalau benar—tak terlalu meleset. Memang, Gus Dur ternyata tetap maju tak gentar ke kursi nomor satu Republik. Dan tak seperti rumor yang santer bertiup sebelumnya, Kiai Ciganjur itu ternyata tidak menghibahkan suaranya ke Megawati. Tapi, seperti terkuak kemudian, Gus Dur sangat berperan mengantar "sang Adik" untuk mendampinginya. Gus Dur mulai "berkampanye" untuk Mega segera setelah ia terpilih sebagai presiden. Sebelum dilantik, Rabu pekan lalu, dalam perjalanan menuju Senayan dari rumahnya di Ciganjur, mendadak sang Presiden minta agar limusin Mercedes kepresidenan berpelat RI-1 itu dibelokkan ke rumah Megawati di Kebagusan. Petang itu, pukul 18.05, Presiden Wahid langsung membujuk Mega. "Sudahlah, Mbak, terima ajakanku. Jangan keras hati," kata seorang kalangan dekat Mega menirukan Gus Dur. Setelah kalah voting untuk RI Satu, Mega dikabarkan menolak maju sebagai wakil presiden. Tapi, sewaktu Presiden Wahid mampir ke rumahnya, Mbak Adis—panggilan Mega—repot untuk menolak. Tapi ada syarat. Menurut Herry Achmadi dari Fraksi PDI Perjuangan dan Muchyar Yara dari Golkar, Mega menjelaskan syarat itu begini, "Terserah Mas Dur saja. Tapi saya ingin diputuskan secara aklamasi." Yara menjelaskan bahwa Mega amat mengkhawatirkan reaksi para pengikut fanatiknya jika ia maju dan kalah lagi. Mendengar itu, Gus Dur mengatakan akan memikirkannya dulu. Bahwa Mega "mau dengan syarat aklamasi", itu sudah perubahan besar. Sebelumnya, ia patah arang. Seusai Mega kalah voting dari Gus Dur, Fraksi Banteng langsung mengadakan rapat di Ballroom Lantai 2 Hotel Hilton. Suara terbelah. Sebagian ingin Mega maju lagi ke arena pertarungan wakil presiden untuk meredakan amuk warga Banteng di berbagai daerah. Namun, mayoritas "PDIP-wan" bersikeras menolaknya dan memilih menjadi oposisi. Palu diketuk: PDIP akan bergerilya di luar pemerintahan. "Kita sudah terbiasa menjadi gerilyawan," kata Ketua Fraksi PDIP MPR Soetjipto. Nada kecewa juga ditunjukkan Kwik Kian Gie. "Kami sudah tidak mau lagi melakukan deal politik. Ditipu melulu," katanya getir. Itu sebabnya PDIP tak mengajukan Mega. Tapi, seusai acara pelantikan presiden, Rabu malam, sekitar pukul 20.00, Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Wakil Sekretaris Fraksi PKB Arifin Djunaedi, dan K.H. Nur Iskandar Sq. menghadap Presiden Wahid di Wisma Negara. Mereka menanyakan figur wakil presiden yang dirasa pas oleh Gus Dur. Menurut seorang sumber yang ikut hadir dalam pertemuan itu, sambil ngemil kacang goreng kesukaannya yang baru saja dibelikan Arifin, Gus Dur menyatakan memilih Mega. Presiden anyar itu bilang, "Saya sedang membicarakannya dengan beberapa pihak. Sebab, taruhannya adalah bangsa dan negara Indonesia." Batas waktu pendaftaran calon pada pukul 22.30 makin mendesak, tapi Mega belum juga memberikan lampu hijau. Persyaratan aklamasi nyaris mustahil dipenuhi. Sebab, saat itu nama tiga kandidat sudah masuk ke Sekretariat Jenderal MPR. Mereka adalah Hamzah Haz, yang diajukan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Jenderal Wiranto, yang diusung Fraksi Daulat Ummah dan 74 anggota MPR, serta Akbar Tandjung dari Fraksi Partai Golkar. Di detik-detik terakhir, barulah nama Mega didaftarkan melalui Fraksi PKB. Untuk mengejar tenggat, pendaftaran "awal" dilakukan melalui telepon dan diterima Ketua MPR Amien Rais. Si Mbak baru meneken lembar kesediaan pada tengah malam, pukul 00.30. Itu pun setelah ia berkali-kali diyakinkan oleh Ketua PKB Alwi Shihab melalui telepon. Kelengkapan administrasi dimasukkan Arifin pada pukul 07.40—dua puluh menit dari batas toleransi yang diberikan Amien. Titik terang bagi langkah Mega ke istana mulai terkuak setelah Akbar Tandjung menyatakan mengundurkan diri. Kepastian itu diambil setelah Akbar mengontak Gus Dur pada Kamis pagi pukul 07.30. Saat itu, Gus Dur memastikan dukungannya di belakang Megawati. Untuk makin melempengkan jalan Mega, tak kurang Gus Dur juga melobi Jenderal Wiranto untuk menarik pencalonannya. Menurut K.H. Cholil Bisri dari PKB, Gus Dur mengutus Alwi Shihab, Amien Rais, dan Ketua Umum PKB Matori Abdul Jalil untuk menyampaikan pesannya ke Jenderal Wiranto. Menurut seorang kalangan dekat istana, yang jadi berangkat ke rumah Wiranto adalah Alwi dan Ketua Fraksi PKB K.H. Yusuf Muhammad. Isinya: agar Wiranto mengikhlaskan Mega melaju ke istana. Kabarnya, saat itu Wiranto masih berpendirian akan maju terus. Kesediaan Panglima TNI itu untuk mundur baru dipastikan, menurut seorang petinggi di markas TNI di Cilangkap, pada Kamis pagi. Saat itu, Wiranto mengontak telepon genggam Gus Dur. Wiranto mengambil keputusan itu setelah mendapat pesan bahwa pilihan Panglima Tertinggi TNI Abdurrahman Wahid sudah dijatuhkan ke Mega. Setelah itu, atas permintaan Gus Dur, sekitar pukul 10.00, Kamis pekan lalu, Wiranto langsung mengontak Mega. Dukungan penuh dari 38 suara Fraksi TNI/Polri pun dijamin akan digelontorkan ke arah Mega. Isyarat soal itu juga diungkapkan Ketua Fraksi TNI/Polri Letjen Hari Sabarno sesaat sebelum voting wakil presiden berlangsung. "Fraksi kami mendukung calon yang diinginkan semua pihak demi kepentingan nasional," katanya. Kabarnya, menurut berbagai sumber di PKB dan PDIP, atas keikhlasannya itu Wiranto sedang ditimbang dalam-dalam untuk tetap dipertahankan di kabinet. Mundurnya Wiranto membuat dukungan untuk Mega diperkirakan menjadi 313 suara—TNI, PDIP, plus PKB dan Golkar. Jadi, suara Mega perlu dipompa. Tapi dari mana? Tentulah Poros Tengah yang perlu didekati. Maka, Kamis pagi pukul 09.30, di kamarnya di lantai 15 Hotel Mulia, telepon genggam Al Hilal, salah seorang motor Fraksi Reformasi, pun berdering. Suara dari seberang sana datang dari Gus Dur. Isinya titipan pesan untuk Amien Rais agar mengamankan pencalonan Mega. Kerelaan Wiranto untuk mundur dan mendukung Mega juga disampaikan. Tak lama kemudian, telepon berdering lagi, dan kali ini datang dari Alwi Shihab. "Tolong suara Poros Tengah dikurung ke Mega," kata Alwi seperti ditirukan sebuah sumber. Tapi rupanya dukungan dari Fraksi Reformasi sulit dibulatkan. Menurut Hilal, segera setelah itu, ia mengontak Ketua Fraksi Reformasi A.M. Lutfi dan Hatta Radjasa. Keduanya menyatakan bahwa suara ke Mega masih lonjong. Sebagian anggota Poros Tengah masih bertekad mengibarkan bendera Hamzah Haz—ingatlah keberatan PPP terhadap pemimpin wanita. Maka, sejumlah lobi pun digelar untuk mematangkan dukungan ke arah Mega. Untuk itu, sesi pemilihan sampai perlu diundurkan dari jadwal semula pada pukul 10.30 menjadi pukul 14.00. Skenario pun mulai berjalan mulus seperti yang diharapkan—diawali dengan interupsi Akbar sesaat setelah Amien Rais mengetukkan palu membuka sidang pemilihan wakil presiden. Dengan lantang, sambil mengangkat tangan kanannya, Akbar yang sempat santer disebut-sebut sebagai pendamping Mega di RI-2 itu menyatakan pengunduran dirinya. "Jabatan bukan segala-galanya untuk saya. Sebelumnya, saya juga telah mengundurkan diri dari pencalonan presiden," kata Akbar lagi. Kontan pernyataan itu disambut tepuk tangan riuh dari hampir semua anggota majelis. "Luar biasa Akbar. Banyak orang menangis mendengarnya," kata Taufik Kiemas. Tak lama setelah itu, Ketua Fraksi TNI/Polri Hari Sabarno pun menyerahkan sebuah map hijau kepada Amien Rais. Isinya, ya itu tadi, pengunduran diri Jenderal Wiranto dari bursa calon RI Dua. Tapi nama Hamzah Haz masih mengganjal. Amien pun menskors sidang. Anggota majelis dari Poros Tengah dikumpulkan. Menurut Soetardjo Soerjogoeritno dari Fraksi PDIP, baru di tahap inilah Gus Dur berhasil meyakinkan Mega agar maju terus ke arena pemungutan suara. Ia dijamin tak bakal kalah. Ditambah dukungan suara TNI/Polri, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Reformasi, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa, dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, setidaknya Mega dikalkulasi sudah mengantongi 356 suara. Meski tipis—dari total 685 suara—bekal itu cukup untuk memenangi pertarungan. Hamzah Haz, walau tetap diajukan Poros Tengah, dipercaya waktu itu hanya akan menjadi "calon pendamping", sekaligus menghindari fenomena calon tunggal. Dan walau pemungutan suara berkesan seru, beberapa kursi anggota MPR dari Poros Tengah dan Golkar tampak kosong melompong. Toh, kubu PDIP terlihat tegang. Saat pemungutan suara berlangsung, di luar ruang sidang, Taufik Kiemas terlihat amat gelisah. Sesekali ia bertanya kiri-kanan. "Yakin, Mas? Sudah pasti?" katanya. Akhirnya, kemenangan pun datang: 396 lawan 284 untuk kemenangan Mega—lima suara abstain. Warga Banteng bersorak-sorai. Kerusuhan kontan mereda. "Mas Dur dan Fraksi PKB yang menyiapkan semuanya," kata Taufik Kiemas, mengakui kisah di balik kemenangan itu. Dan Mega pun membalas semua dukungan dengan simpatik. Dalam pidato pelantikannya, ia menyampaikan penghargaan kepada mantan presiden Habibie dan rivalnya, Hamzah Haz. Dengan rendah hati, ia juga menghaturkan terima kasih kepada Akbar dan Wiranto "yang telah melapangkan jalannya ke istana." Dan terakhir tentu saja untuk "sang Kakak", Presiden Abdurrahman Wahid, atas "tongkat" yang telah diterimanya. Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Hani Pudjiarti, Edy Budiyarso, Arif Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus