Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Selawat Gedung Rakyat untuk Presiden Gus Dur

Gus Dur melangkah ke Istana setelah Habibie rontok di sesi pertanggungjawaban. Ia sempat ''dibaiat" tak kan mundur demi Megawati.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAFAS selawat itu terdengar lamat-lamat, ''Allahumma sholi 'ala sayiddina Muhammad. Wa'ala alihi washohbihi wassalam", begitu nyanyi puji-pujian kepada Nabi Muhammad itu terdengar berulang-ulang. Hari itu, Rabu pekan lalu, jam menunjukan waktu telah lewat tengah hari. Perhatian hampir seluruh warga Indonesia terarah pada acara pemungutan suara untuk memilih calon presiden di Gedung MPR/DPR Senayan. Tapi ketegangan dengan ''aroma" yang berbeda terlihat di ruang Bougenville, Hotel Acacia, Jakarta Pusat—hotel tempat kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU), pendukung K.H. Abdurrahman ''Gus Dur" Wahid menginap. Kiai Imron Hamzah (Rais Syuriah NU Jawa Timur), Said Aqil Siradj (Katib Am NU), dan Yusuf Hasyim sibuk berselawat dengan wajah tegang. Mata mereka menancap ke layar televisi berukuran 20 inci yang berada di tengah ruangan. Ketika perolehan suara Gus Dur melampaui perolehan Megawati, suara selawat kian keras. Beberapa pengurus NU tak mampu menahan haru. Mereka menangis sesenggukan—kecuali Kiai Sahal Machfudz, Rais Syuriah NU, yang santai menyantap makan siang. Di gedung rakyat, tempik sorak kemenangan membahana mengiringi kemenangan Ketua Umum NU yang sukses meraup 373 suara melawan Megawati dari PDI Perjuangan, yang hanya mendapat 313 suara. Kolom kedua kursi anggota MPR yang diisi oleh fraksi Poros Tengah—pendukung nomor wahid Gus Dur—dipenuhi oleh orang-orang yang mengangkat tangan tanda kemenangan. Beberapa anggota MPR kelihatan sujud syukur di atas meja. Persis seperti namanya, Abdurrahman Addakhil (''sang Pendobrak") Wahid memang betul-betul mendobrak segala spekulasi yang berkembang selama ini. Ia sempat tak diunggulkan ketimbang Habibie atau Megawati—apalagi penglihatannya kurang prima. Pintu ke arah kemenangan Gus Dur mulai terbuka sejak rontoknya calon presiden asal Partai Golkar Habibie pada sesi pertanggungjawaban presiden sehari sebelumnya. Sebanyak 355 anggota MPR menolak pertanggungjawaban Habibie, sedangkan 322 lainnya menerima. Pendukung Habibie dari kubu Golkar langsung kebakaran jenggot. Isu yang kemudian berkembang di Senayan ketika itu: Habibie akan mundur dari pencalonan. Maka, Habibie pun menggelar pertemuan tertutup di rumahnya di Patra Senayan untuk membahas langkah selanjutnya. Hadir dalam pertemuan itu Panglima TNI Wiranto, bekas Menteri Sekretaris Negara Muladi, Ketua Golkar Akbar Tandjung, Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz, Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, Presiden Partai Keadilan (PK) Nur Mahmudi, Ginandjar Kartasasmita, Fanny Habibie, Dawam Rahardjo, dan beberapa politisi lainnya. Belakangan datang menyusul pengurus Golkar dari kubu Habibie seperti Fahmi Idris, Fadel Muhammad, Theo Sambuaga, dan Abdul Gafur. Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 01.30 Rabu dini hari tersebut, kubu Iramasuka, yang selama ini getol menyokong Habibie, menyerang Akbar Tandjung. Menurut mereka, Akbarlah yang bertanggung jawab terhadap rontoknya kans Habibie ini. Akbar dinilai berkhianat karena telah menjegal Habibie di sesi pertanggungjawaban. Karena itulah Habibie meminta Amien Rais untuk menggantikan posisinya menjadi calon wakil presiden. Dengan diajukannya Amien sebagai capres, Mega diharapkan bisa terjungkal. Tapi Amien menolak. Bahkan telepon khusus dari sahabat Amien di Partai Amanat Nasional (PAN), Dawam Rahardjo, juga ditolak Amien dengan halus. Amien memang sudah punya banyak komitmen dengan Gus Dur. Ia mendukung Gus Dur sebagai presiden karena Gus Durlah yang memuluskan jalan Amien ke kursi ketua MPR. Dalam hitung-hitungan Amien, Kiai Ciganjur itu bisa memecundangi Mega karena ia punya banyak pendukung. Saat pertemuan di suite room Amien di Hotel Mulia No. 3212, malam yang sama, mantan ketua Muhammadiyah itu, bersama Ketua PKB Alwi Shihab, Al Hilal, Hatta Radjasa—keduanya pengurus PAN—dan Ketua Umum Muhammadiyah Syafii Ma'arif membuat hitung-hitungan kasar. Begini. Yang menerima pertanggungjawaban Habibie sebanyak 322 suara. Artinya, suara sebanyak itu bisa dipastikan tidak akan memilih Mega. Sedangkan anggota MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menolak pertanggungjawaban diperkirakan sebanyak 57 suara. Menarik suara sebanyak itu tidak sulit jika yang dijadikan calon presiden adalah Gus Dur, yang notabene adalah deklarator PKB sendiri. Dengan kata lain, kubu Matori Abdul Djalil, yang selama ini gigih mendukung Mega, akan rikuh kepada Dus Gur. Jadi, di atas kertas, Gus Dur sudah punya 379 suara—jauh di atas 50 persen plus 1 suara yang dibutuhkan untuk mengantarkan penikmat musik klasik itu ke Bina Graha. ''Kunci kemenangan Gus Dur ada di PKB," kata Al Hilal dari PAN. Tapi, toh, akhirnya undangan untuk datang ke kediaman Habibie dipenuhi Amien. Pukul 02.50, Amien sampai di Kuningan. Di sana, ia lagi-lagi dibujuk untuk maju. Tapi Amien tetap bertahan. Syafii Maarif juga menyokong sikap Amien ini. ''Yang harus dipertimbangkan bukan sekadar kekuasaan presiden, tapi juga hubungan NU-Muhammadiyah yang selama ini sudah baik," kata Syafi'i, ahli politik Islam itu, seperti ditirukan Hilal. Belakangan, menurut cerita Hilal dan beberapa sumber TEMPO lain yang hadir dalam pertemuan tersebut, Amien menjanjikan mau dipasang di kursi pimpinan eksekutif, tidak di jabatan presiden melainkan wakil presiden. Ia pun menjanjikan akan membicarakannya dengan Gus Dur. Tapi, banyak yang menduga, janji itu hanyalah upaya Amien agar bisa segera lolos dari forum Patra tersebut. Terbukti, sepulang Amien dari kediaman Habibie pada pukul 04.05 pagi, Ketua Umum PAN itu malah kembali ke Hotel Mulia dan tertidur karena kecapekan. Sayang, Amien tidak berhasil dihubungi untuk mengonfirmasi cerita ini. Rapat sendiri dilanjutkan sampai pagi setelah sebelumnya terhenti karena Habibie pamit untuk salat subuh di Masjid Istiqlal. Tapi ''rongrongan" kepada Amien tidak datang dari Patra Kuningan saja. Menurut keterangan Al Hilal, Amien juga diminta oleh orang-orang dari Partai Keadilan seperti Nur Mahmudi Ismail dan Anis Matta. Mereka menilai Gus Dur belum tentu menang karena akan ada tentangan dari sebagian anggota PKB dan utusan golongan yang berdiri di sisi Mega. Tapi Amien bergeming. Apalagi, pukul empat pagi, Al Hilal mendapat kepastian dari Sekjen PKB Muhamin Iskandar bahwa PKB sepenuhnya berdiri di belakang Gus Dur. Melihat tampikan Amien ini, belakangan pilihan forum Kuningan itu beralih ke Akbar Tandjung. Prinsipnya sederhana: Mega tidak boleh melaju ke kursi presiden. Di sini, pendapat pengurus Golkar terbelah. Sebagian mendukung pencalonan Akbar, sebagian lainnya—dari kelompok Iramasuka—menolak karena masih dendam pada ''pengkhianatan" Akbar. Adu mulut keras kabarnya sempat terjadi antara Akbar Tandjung dan pengurus Golkar Iramasuka. Tapi, Akbar adalah pilihan satu-satunya. Jam 07.00 pagi, mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Akbar, menerima tawaran tersebut. Lalu, setengah jam kemudian, keputusan Patra itu dibawa ke rapat fraksi Golkar di lantai tiga Gedung MPR. Akbar, yang seperti ogah-ogahan dengan pencalonan itu, membuka pertemuan dengan kalimat yang menantang. ''Hasil rapat Kuningan meminta saya menjadi calon presiden. Karena itu, saya meminta persetujuan saudara-saudara semua. Satu saja yang tidak setuju, saya akan mengundurkan diri," kata Akbar dengan suara meninggi. Menurut cerita Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Muhyar Yara, sejumlah pengurus Golkar dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara langsung mengacung. Salah satu di antaranya adalah Henky Baramuli—adik kandung Ketua DPA, A.A. Baramuli. Dengan penolakan itu, Akbar bulat mengundurkan diri. Pukul 10.00 pagi, ia resmi mundur dari ring pertandingan. Di lain pihak, kubu Poros Tengah lainnya tetap ragu kalau-kalau Gus Dur kalah atau malahan ''khilaf" menyerahkan kekuasaan kepada Mega. Seorang sumber TEMPO dari kubu PDI Perjuangan, misalnya, sangat yakin bahwa Gus Dur pernah berjanji akan menyerahkan kesempatan menjadi presiden kepada Mega jika kesempatan itu diperoleh si Gus. Karena itulah, Ketua PBB Yusril Ihza Mahendra mantap mencalonkan diri sebagai presiden. Idenya: Yusril tidak mau Mega melenggang sendirian. Ada kekhawatiran Gus Dur mundur, sehingga Mega tidak ada lawan. Tapi, belakangan, jaminan bahwa Gus Dur tidak akan mundur itu justru datang dari Gus Dur sendiri. ''Demi Allah saya tidak akan mundur," kata Hamdan Zulvan, salah seorang ketua Partai Bulan Bintang, menirukan ucapan Gus Dur, yang sempat didatangi dan ''disumpah" tokoh Fraksi Partai Bulan Bintang, Hartono Mardjono. Setelah itulah, begitu tiga calon presiden diketok, Yusril baru yakin dan rela melengserkan dirinya sindiri. ''Demi 'ukhuwah' dan menghormati saudara tua Kiai Abdurrahman Wahid," kata Yusril. Ucapan ini dipandang para tokoh PDI Mega sebagai ''isyarat" untuk menumpahkan suara buat Gus Dur. Kubu Banteng pun lemas. Adapun Jenderal Wiranto, yang sebelumnya santer disebut-sebut akan meramaikan bursa calon presiden, juga urung. Ia sadar atas kekuatannya. ''Bagaimanapun, tak elok jika seorang pimpinan TNI bertarung dengan dua pimpinan partai dan kalah," kata seorang sumber TEMPO dari Fraksi TNI/Polri. Gus Dur akhirnya menang dengan perbedaan 60 suara. Ketika Amien Rais meminta seluruh hadirin di Gedung MPR menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mega tak mampu bersuara. Ia meneteskan air mata, sementara tangan kirinya berada dalam genggaman Gus Dur—yang belakangan ikut melempangkan jalan untuknya ke kursi wakil presiden. Arif Zulkifli, Edy Budiyarso, Wenseslaus Manggut, Arif A. Kuswardono, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus