TITIK bakar tropis di Spratly seperti menanti letup. Dan itu bisa memancing negara superkuat gatal hidung. Kepulauan yang membangkitkan benih sengketa itu sekarang kembali tenang lagi. Maret 1988 lalu, Spratly, yang terdiri atas 230 pulau kecil dan gundukan karang itu, sempat dijadikan arena adu senjata antara kapal perang RRC dan Vietnam. Dalam sengketa di perbatasan tersebut Vietnam mengakui kehilangan 74 marinir dan 2 kapalnya. Spratly dekat dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan di atap Kalimantan. Maka, tak heran bila pulau-pulau cilik yang dibuai Lautan Pasifik itu terpilah dalam wilayah negara bertetangga. Dan bukan cuma Filipina, Malaysia, Vietnam yang memiliki kawasan yang selalu didera ombak Laut Cina Selatan yang ganas itu. Taiwan dan RRC juga mencengkeramkan kukunya di situ. Apa yang diperebutkan? Rupanya, gugusan pulau karang itu menyimpan cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar, di samping letaknya di perlintasan yang strategis. Sedangkan untuk mengukuhkan pemilikan, negara-negara itu sudah lama perang nama. Di sisi Pulau Pag-Asa, Filipina, ada Pulau Pugad yang dikuasai Vietnam, lalu mereka namakan Song Tu Tay. Sementara itu, Filipina menamai bagian Spratly yang dimilikinya dengan Kalayaan (Tanah Merdeka), tapi Vietnam, yang telah memiliki 22 pulau, mengklaim dengan nama Truong Sa. Dan Cina menabalkan pulau ini dengan nama Nansha. Taiwan (memiliki Pulau Itu Aba), Malaysia (menguasai empat pulau karang) bahkan Prancis melirik pula ke sekitar pulau karang kerontang yang terik itu. Dan tahun lalu, ketika RRC sudah menempatkan pasukannya di pulau karang miliknya tadi, panas tropis makin terasa menyilaukan gugusan Spratly. Di pihak Filipina, sebagian serdadunya sudah ditarik mundur. Sedangkan dari balik lubang perlindungan Pulau Pag-Asa, tentara yang masih tersisa masih mengintip dengan mata lelah. Manila, agaknya, acuh tak acuh walau bulan silam Vietnam merayu Filipina untuk menandatangi pakta non-agresi. Dalam pada itu, UNESCO meminta RRC memanfaatkan pulau miliknya di Spratly itu untuk stasiun observasi. Dan itu disambut. Di Yongshu yang, katanya, Cina sudah menguasainya sejak dinasti Qin dan Han, kini dibangun stasiun untuk mempelajari tingkah dan wajah Lautan Pasifik itu. Stasiun dimaksud juga berguna untuk memperbaiki ramalan cuaca tropis yang suka meniup topan dan badai. Dan dengan pengetahuan baru itu, tentu Filipina bisa lebih pagi menjinakkan si Ruby. Apalagi di kawasan negara Aquino ini topan tersebut, setiap tahun, mengambil korban yang besar, seperti bulan lalu. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini