Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bermula dari Sampah Got

Lumpur got dan sampah diolah menjadi batako. Murah dan mengatasi masalah lingkungan.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpukan batako itu memenuhi bagian belakang rumah Juminta. Sepintas tak ada yang istimewa, hanya batako, material biasa untuk pelengkap bahan bangunan. Namun, jika dipandang lekat-lekat, material milik Juminta itu sedikit lebih kasar dibanding yang biasanya. ”Bahannya adalah lumpur selokan,” ucap pria 25 tahun itu.

Juminta, seorang warga Kampung Rawa Gaga Kumpeni di Kelurahan Kamal, Jakarta Barat, sempat memamerkan hasil karyanya pertengahan bulan lalu. Batako lumpur itu dipajang dalam acara bedah kampung di Kamal pada pertengahan bulan lalu yang dihadiri oleh Gubernur Sutiyoso. Ini adalah produk belasan pemuda Kelurahan Kamal. Melalui usaha itu mereka mengatasi dua masalah: pengangguran dan timbunan sampah yang telah bertahun-tahun menjadi problem akut di kelurahan itu.

Ya, inovasi bata lumpur itu kini menjadi pemecahan salah satu masalah lingkungan di wilayah permukiman itu. Lumpur yang dulu membuat selokan mampat dan tak tertangani, kini justru menjadi incaran para pemuda. Got-got yang semula berbau busuk dan airnya menggenang, menjadi lancar dan bersih. Nyamuk pun berkurang karena tak bisa bertelur di got yang lancar mengalir.

Ide memanfaatkan lumpur selokan itu diperoleh Juminta dan kawan-kawan setelah mengikuti pelatihan pengolahan sampah yang digelar Pemerintah Kota Jakarta Barat pada November lalu. Mereka pun sadar, apa yang semula dikira sebagai limbah ternyata bisa diolah menjadi materi yang bernilai ekonomi. ”Apalagi lingkungan jadi bersih dan lapangan kerja baru bisa diciptakan,” ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai kuli serabutan itu.

Pemuda Karang Taruna Kamal lalu bergerak. Mereka tak mengeluh kendati tak memiliki mesin cetak. Batako buatan Juminta dan teman-temannya dibuat dengan cetakan manual yang mengandalkan kekuatan manusia. Hasilnya memang terlihat kurang mulus dan tidak padat. Ini berbeda dengan batako biasa yang berbahan semen dan pasir yang dicetak dengan mesin. Namun, kata Nur Rohman, petugas dari PT. Survindo, yang memberi bantuan teknis kepada para pemuda, batako lumpur tak kalah kuat dibanding batako biasa. Ia bahkan berencana memfasilitasi Juminta dan kawan-kawan untuk terus membuat batako itu. ”Kami akan bantu pemasarannya,” kata Nur Rohman.

Pembuatan bata lumpur tak sulit-sulit amat. Sebelum menjadi bahan baku batako, lumpur harus melalui dua tahap penyaringan. Pertama, lewat saringan besar. Kawat penyaring berukuran panjang dan lebar satu sentimeter, untuk memisahkan sampah dari bebatuan besar. Kedua, saringan halus untuk menahan pasir. Selanjutnya, pasir dicampur bahan kimia khusus dan diaduk dengan semen. ”Takarannya dikira-kira saja,” kata Juminta.

Pasir saringan lumpur juga dapat dicetak menjadi bata padat dan paving block (bata untuk jalan setapak). Tentu dengan takaran semen yang lebih banyak lagi sehingga hasilnya lebih keras. Selanjutnya, hasil cetakan itu dikeringkan selama satu hingga tiga hari, tergantung cerah-tidaknya cuaca. Untuk urusan panas, daerah Jakarta Barat yang selalu terik memang cocok untuk menjadi sentra produksi batako.

Karena bahan baku mudah didapat, harga jual batako lumpur pun lebih murah dibanding batako biasa. Satu batako lumpur dijual Rp 900, sedangkan batako biasa dijual dengan harga Rp 1.200–1.500. Toh, dengan harga lebih murah, batako lumpur Juminta masih sulit mendapat pasar. ”Toko-toko penjual material masih meragukan kualitasnya,” ucapnya.

Selama ini, kata Juminta, batako buatannya hanya digunakan warga sekitar untuk membuat pagar atau meja kompor. Memang, belum ada yang berani memakai batako lumpur sebagai dinding rumah. Paling jauh, batako lumpur ini digunakan warga tetangga kampung, Kedaung, untuk membuat taman penghijauan seluas 25 meter persegi. Padahal, kata Nur Rohman, para pemuda itu bisa memproduksi hingga 500 buah batako per hari.

Pembuatan batako dari limbah tak hanya dilakukan Juminta dan kawan-kawan. Di Surabaya, Sudarno, 53 tahun, telah memulai proyek batako limbah sejak 2000 silam. Jika Juminta memakai lumpur selokan, Sudarno membuat batako biasa yang rongga-rongganya dipadatkan dengan sampah. ”Ada sekitar 30 jenis sampah, semuanya jenis yang sulit dihancurkan alam,” kata karyawan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya itu.

Ide batako sampah atau yang ia beri nama batem (batu bata dengan isi tengah macem-macem) pada awalnya tak terlintas di benak Sudarno, seorang Sarjana Sipil-Konstruksi. Sebenarnya dia ingin membuat incinerator (alat pembakar sampah) mini agar sampah tidak menumpuk lama dan membusuk. Ia lalu membuat alat itu dari tong bekas, dilengkapi pompa air, kipas, kompor gas, dan pisau cakram pencacah seperti blender.

Pembakar sampah mini ini pun diuji coba. Bukan menuai pujian, malah caci-maki yang mampir dari para tetangga. Maklum, tong ini mengeluarkan bau busuk dan asap pekat yang amat mengganggu pernapasan warga sekitar. Tamatlah mimpinya bermimpi mengatasi sampah dengan incinerator buatan. Dari situ, muncul ide ”menyimpan sampah” selamanya. Sampah dipadatkan dalam rongga batako tanpa harus melalui proses pembakaran atau penghancuran.

Batako sampah buatan Sudarno jauh lebih sederhana. Pertama, sampah yang akan dimasukkan ke dalam rongga batako terlebih dulu dicetak, kemudian dibungkus oleh campuran pasir dan semen. Jadilah bata yang kuat menahan beban hingga 2,5 ton. Padahal, batako biasa hanya mampu menahan beban 250 kilogram. Dengan kualitas itu, ia berani menjual satu batako berukuran 10 x 20 x 15 sentimeter. Ia juga membuat batako dengan ukuran lebih besar.

Sukses membuat batem menjadikan Sudarno, ayah empat anak, penerima penghargaan pertama Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan pada awal Juni lalu. Meski batem ini melekat pada rumah, ia menjadi tempat pembuangan sampah abadi yang aman. Apalagi, batem jauh lebih kuat dibanding batako biasa. ”Ini adalah cara murah yang amat bermanfaat,” kata Sudarno sesudah menerima penghargaan.

Dia juga mencoba menjernihkan air lindi dan air domestik dengan ramuan yang dia sebut ”lumpur ajaib”. Lumpur ini merupakan bahan dasar semen yang diolah selama 14 jam secara terus-menerus sehingga sifat kebekuannya hilang. Lumpur ini mampu menetralisasi unsur-unsur beracun pada limbah (B3), menyerap bau, detergen, minyak, dan lemak.

Di Kamal, Juminta juga mengolah limbah. Caranya, air endapan lumpur dan sampah ia olah jadi pupuk. Untuk memproduksi pupuk cair ini perlu waktu dua minggu. Caranya, air limbah dicampurkan ke bahan kimia bioaktivator dan molase, lalu diaduk selama empat hari. Cairan busuk ini ditutup rapat dalam tong selama 10 hari untuk mencegah bau busuk. Di hari ke-14, cairan hanya mengeluarkan bau asam dan bisa digunakan untuk tanaman.

Melalui proyek-proyek sederhana dan murah, Sudarno serta Juminta dan kawan-kawannya telah menyokong kemaslahatan lingkungan.

Adek Media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus