Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Muhibah dengan Empati

Dalam memoarnya, George Kahin mengurai perjalanannya secara rinci ke Vietnam Utara, negeri yang sedang digempur pesawat-pesawat Amerika.


8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hawa panas menyergap saat Kahin mendarat di Bandar Udara Hanoi, suatu siang pada 23 September 1972. Hari-hari pertama di ibu kota Vietnam Utara dihabiskannya dengan kunjungan ke gereja dan pagoda. Minggu pagi, saat bertandang ke sebuah katedral, Kahin sempat terkesima. Ia menyaksikan betapa damai suasana misa pagi itu, yang diikuti para pemuda, diiringi kor dan organ lembut—kontras dengan bau perang yang mengintai di sudut-sudut kota itu.

Ya, ketika menyentuh Vietnam, Southeast Asia: A Testament bercerita tentang sebuah paradoks: negeri damai yang tidak kuasa menampik jatuhnya bom-bom dari pesawat tempur Amerika Serikat. Waktu itu, saat Amerika melancarkan Operasi Rolling Thunder 1972, George McTurnan Kahin mencatat baik-baik apa yang melintas di matanya. Gereja-gereja di Ibu Kota Hanoi menyelenggarakan misa dalam waktu terbatas. Misa Minggu di gereja katolik berorgan lembut itu berlangsung pada pukul 6 pagi. Tak jauh dari situ, ada gereja lain yang mengadakan misa pukul 05.30. Itu peristiwa biasa, tapi Kahin menangkap soal timing lebih jauh: menghindari waktu-waktu yang paling disukai pilot Amerika untuk menembus pertahanan udara Vietnam Utara buat menjatuhkan bom-bom.

Southeast Asia: A Testament banyak bertutur tentang bom buta, yang tak sanggup membedakan markas tentara dengan rumah sakit dan obyek sipil dengan militer. Di sepanjang perjalanan dari Hanoi ke Thai Nguyen, Kahin menyaksikan gedung sekolah, tempat ibadah, jalan umum, dan jembatan yang porak-poranda oleh bom Amerika. Di sebuah rumah sakit, ia mendapati seorang bocah 8 tahun tergolek lunglai di sebuah ranjang. Kedua tangannya putus. Menurut sang kakak yang menungguinya, hanya mereka berdua yang masih "selamat" saat bom Amerika menghancurkan rumah keluarga mereka. "Ayah, ibu, dan ketiga saudara kami tewas," tuturnya.

Di sudut lain di rumah sakit itu, juga tergolek sosok mengenaskan. Kali ini korbannya seorang gadis manis berumur 17 tahun, Dinh Thi Thue. Penyebabnya sama: bom. Pecahan benda eksplosif itu sekonyong-konyong menyerempet dirinya kala ia bersama kawan-kawannya sedang asyik mencari kayu bakar. Melalui penerjemahnya, seorang dosen sastra yang mengajarkan Charles Dickens dan Mark Twain di Universitas Hanoi, Kahin mendengar kata-kata si gadis, yang lirih, tapi menusuk. "Saya tak pernah menjatuhkan sebutir kerikil pun ke Amerika, tapi kenapa bom menghujani kami? Kenapa pemimpin Tuan, Presiden Nixon, membunuh kami?" kata Dinh Thi Thue.

Dalam memoarnya itu, kita melihat Kahin hanyut dalam empati. Ia tak berpretensi menemukan kebenaran di balik peristiwa, tapi bergerak dari sebuah ketidakpercayaan atas sebuah klaim resmi pemerintah. Di hadapan publik, pada 1972, Presiden Richard Nixon dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger memastikan akurasi aksi pesawat-pesawat pengebom Amerika di udara Vietnam. Banyak yang meragukan, tapi Kahin melangkah lebih dari itu.

Vietnam memang bukan barang baru bagi Kahin. Pada 1971, ia dan istrinya, Audrey, terbang ke Hanoi, berbicara langsung dengan Perdana Menteri Vietnam Utara Pham Van Dong. Kahin berjanji akan memboyong sejumlah akademisi Amerika, para pemimpin pucuk universitas ternama yang dikenal menolak Perang Vietnam: Harvard, Yale, Princeton, Chicago, Columbia, Duke, Michigan, Massachusetts Institute of Technology (MIT), North Carolina, Stanford, dan Vanderbilt. Di sinilah Kahin terbentur dinding yang tak pernah disangka-sangka. Jerome Weisner, Rektor MIT yang dikenalnya sebagai sosok penentang Perang Vietnam, memintanya menunggu. Weisner mau membicarakan undangan ke Vietnam Utara dengan sahabatnya, Henry Kissinger. Kahin menangkap gelagat tak menggembirakan. "Dia tak meneleponku kembali," katanya mengeluh dalam Southeast Asia: A Testament.

Banyak alasan yang diajukan para rektor rekannya, tapi semua berujung pada satu kesimpulan: menoak undangan itu—kecuali Robert A. Dahl, ahli politik dari Universitas Yale yang digambarkannya sebagai "A man for whom I had great respect." Sebagaimana diketahui, Dahl adalah akademisi yang dewasa ini banyak menulis kritik tentang demokrasi model Amerika. Undangan telah diterima, tapi tak mudah menjangkau Hanoi di saat-saat seperti itu. Dahl dan Kahin bertemu di Paris. Dari sana, mereka bisa memperoleh visa dan pesawat penumpang yang membawanya ke Hanoi—sekalipun Air France dan Aeroflot tidak bisa memastikan bahwa mereka bisa menumpang pesawat yang sama untuk kembali ke Paris.

Dalam memoarnya, kita bisa membaca Kahin yang gagal memboyong kawan-kawannya sesama akademisi ke Vietnam Utara itu tersipu malu melihat sambutan di bandar udara. Gadis Vietnam berhamburan menjemputnya dengan kalungan bunga. Tapi Kahin juga tak bisa menyembunyikan rasa bangga: dialah orang Barat pertama yang melakukan perjalanan di Vietnam Utara setelah Presiden Nixon memerintahkan operasi pengeboman itu pada April 1972.

Di mata Kahin, perang Amerika yang tak pernah dideklarasikan itu merupakan tragedi besar. Di seluruh Indocina, tercatat 4,6 juta orang meninggal, 5,5 juta cacat dan cedera, serta 13 juta orang kehilangan rumah dan terenggut dari kehidupan layak. Tak terhitung yang masih hidup dalam ketakutan, waswas, dan depresi. Di Vietnam saja diperkirakan 1,9 juta orang tewas dalam masa keterlibatan Amerika, 4,5 juta cedera, dan 9 juta orang mengungsi.

Tepat 30 April 1975, Saigon jatuh ke tangan pasukan Vietnam Utara. Dan Amerika pun terdepak dari Vietnam. "Abad Amerika" benar-benar terperosok di "parit Vietnam". Kahin mencatat, keterperosokan Amerika itu bermula dari pelaksanaan politik luar negeri yang kurang memperhatikan dimensi internal suatu negara. Politik luar negeri hanya dilihat semata-mata dari kepentingan global Amerika, khususnya strategi Perang Dingin. Dalam pandangan Amerika, Cina dan Uni Soviet, yang berhaluan komunis, berusaha menggarap Asia Tenggara. Teorinya kira-kira begini: Amerika harus merangsek ke sana dan memotong kankernya sebelum menyebar ke mana-mana. Teori yang ditertawai sejarah.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum