Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOUTHEAST ASIA: A TESTAMENT
Penulis: George McTurnan Kahin
Penerbit: Routledge Curzon, London and New York
Halaman: xxii + 350
Di kalangan akademisi Barat,khususnya mereka yang memiliki prestasi besar, menulis memoar adalah sebuah tradisi wajar. Tapi tak banyak buku sejenis yang ditulis peneliti Asia Tenggara atau, lebih khusus, Indonesia. Seingat saya, hanya Clifford Geertz yang sudah dianggap "duta besar antropologi untuk ilmu-ilmu sosial", yang beberapa tahun lalu menerbitkan memoarnya berjudul After the Fact.
Kesaksian George Kahin ini melanjutkan tradisi bagus itu. Kita layak bersyukur bahwa ia mau menuliskannya. Kahin bukan pengamat biasa: ia akademisi-cum-aktivis dan pembuat sejarah; ceritanya bisa mengubah cara lama kita memandang sejarah, dan jejak langkah para aktornya, termasuk peran Amerika Serikat (AS), adikuasa baru pasca-Perang Dunia II.
Kahin tergerak menuliskan memoarnya karena catatan sejarah yang umumnya diterima tidak sejalan dengan apa yang ia alami dan yang diketahuinya. Ia juga kesal karena banyak hal penting yang—sengaja atau tidak—telah diputarbalikkan, atau dicocok-cocokkan agar sejalan dengan mitos AS sebagai kaisar baru yang "baik" dan "bersih", kawan rakyat Asia Tenggara yang bisa diandalkan. Lewat buku ini, kata Walter LaFeber dalam pengantarnya, Kahin ingin "speak knowledge to power".
Kahin (1918-2000) adalah salah satu perintis studi kawasan Asia Tenggara di AS: ia ikut membentuk Program Studi Asia Tenggara di Universitas Cornell (1951) dan pendiri sekaligus direktur (1954-1988) proyek studi-studi mengenai Indonesia modern yang amat terkenal di universitas yang sama. Sebagai akademisi, ia paling dikenal karena karyanya mengenai revolusi Indonesia, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), dan mengenai keterlibatan AS di Vietnam, Intervention: How America Became Involved in Vietnam (1986). Keduanya kini sudah menjadi karya klasik yang selalu menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mempelajari sejarah dan politik Indonesia.
Tapi Kahin bukan akademisi berhati kering: ketaatannya pada tetapan-tetapan kesarjanaan tak menutup simpatinya pada nasionalisme yang menggejolak di Asia Tenggara dan, sebaliknya, kecamannya pada Washington yang cupet akan hal itu. Padanya, kesetiaan pada fakta dan —betapapun elusifnya—kebenaran memungkinkannya menjadi akademisi-aktivis yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena itu, selain berjasa besar untuk perkembangan studi-studi Indonesia lewat Cornell University, Kahin juga dikenal sebagai oposan perang Vietnam yang omongannya terbukti benar.
Kahin masuk ke Indonesia pada Juli 1948. Dalam masa genting itu, lebih karena kenekatannya ketimbang keberaniannya, ia berhasil menjalin hubungan dengan aktor-aktor utama dari pihak Republik Indonesia (yang baru merdeka), Belanda (yang hendak menjajah lagi), dan AS (yang kepingin agar kekuatan komunis tidak menang). Memoar ini ditulis berdasarkan catatannya di "lapangan", kadang dengan cara amat terus terang, dimulai dari titik ini.
Sebagian ceritanya sudah pernah kita dengar atau baca hanya sebagiannya, dari dia atau orang lain. Misalnya tentang jipnya yang terkenal, yang membuat marah Belanda dan sejumlah pejabat AS: Kahin meletakkan bendera Indonesia dan AS di depannya, dengan yang pertama lebih tinggi 10 sentimeter; kadang mobil itu digunakan untuk kepentingan RI, yang artinya menambah lima persen kekuatan transportasi RI. Ia juga mengungkap wawancaranya dengan Bung Karno soal "Testamen Politik", yang menganggap Tan Malaka berkhianat karena mengaku hanya kepadanyalah wasiat itu diberikan, tanpa menyebut empat orang lainnya.
Tapi banyak pula yang baru dan menarik. Misalnya, dalam kasus bersatunya Amir Syarifuddin dan Musso pasca-Perjanjian Renville, Kahin bersaksi bahwa hampir semua orang yang diwawancarainya menyatakan Amir "terlalu religius untuk menjadi komunis". Di atas kapal Renville, ia pernah dipergoki tengah membaca Bibel pada pukul dua malam. Kahin juga mengungkap bahwa Hatta pernah marah besar kepada Nasution, yang langsung mengeksekusi Amir dalam peristiwa Madiun. Kahin juga berkisah soal Mohamad Natsir, Menteri Penerangan, yang hanya memiliki satu pakaian resmi yang harus dicuci tiap hari. Dan sekalipun mengkritik Van Mook karena terlalu meremehkan nasionalisme RI, pemaparannya mengenai tokoh kontroversial Belanda itu cukup bernuansa.
Ketika bicara soal peran AS di tengah kemelut di atas, nada memoarnya meninggi. Bertentangan dengan mitos yang terus dipertahankan, kata Kahin, pemerintahnya lebih berpihak ke Belanda. Banyak detail menarik di sini, tapi ringkasnya: total bantuan AS ke Belanda selama masa krisis ini, yang sebagiannya digunakan untuk menggempur bayi RI, sembilan kali lebih besar dari jumlah utang yang dijanjikannya untuk RI, 100 juta dolar, yang baru terealisasi beberapa tahun kemudian. Peran Merle Cochran, pejabat Menteri Luar Negeri AS yang kemudian menjadi Dubes AS pertama untuk RI, amat menentukan. Semuanya berakibat fatal: karena dibohongi AS, Amir menjadi komunis, dan Hatta, sepanjang hayatnya, terus bicara getir mengenai Cochran. Ironisnya, kebijakan AS itu baru berubah ketika peristiwa Madiun, yang dipicu konflik internal RI sendiri, meletus dan akibatnya kekuatan komunis dipereteli.
Karena perannya sebagai koresponden Overseas News Agency (ONA) dan kedekatannya dengan para wartawan, kritisisme atas kebijakan AS ini ikut disuarakan Kahin, sekalipun tak banyak didengar. Ia, karenanya, dibenci Cochran, dituduh simpatisan komunis. Di AS awal 1950-an, kebencian Cochran didukung Senator McCarthy yang tengah memburu kaum komunis, dan karenanya paspor Kahin dicabut selama lima tahun.
Pada masa inilah Kahin membangun institusi Cornell. Pada bagian ini, yang paling menarik adalah cerita Kahin mengenai upaya pemerintah Orde Baru "meluruskan" Cornell. Ini berawal dari lahirnya "Cornell Paper" mengenai peristiwa 1965, yang selesai ditulis pada awal 1966 dan berkesimpulan sementara bahwa peristiwa itu bukan kudeta PKI dan skenarionya harus ditelusuri ke sejumlah perwira menengah di Divisi Diponegoro, Semarang. Karena bertentangan dengan versi resmi, Cornell didekati untuk mengubah kesimpulan di atas. Ini berlangsung sejak Juni 1967 dan berpuncak pada Oktober 1975, dengan kedatangan Ali Moertopo dan Benny Moerdani ke Cornell University.
Setelah kunjungan itu, toh pandangan Kahin dan para koleganya tidak berubah dan "Cornell Paper" resmi diterbitkan pada 1973. Ajakan CSIS agar ada kerja sama CSIS-Cornell mereka tolak. Akhirnya, Benny mengirimkan anak buahnya ke Cornell, membawa setumpuk dokumen. Sayangnya, kata Kahin, tak satu pun dokumen yang mereka minta ada di antaranya.
Ajakan damai yang gagal ini mempengaruhi Kahin secara pribadi. Sejak 1975, ia dan istrinya, Audrey, dilarang masuk ke Indonesia hingga 1991. Bukunya mengenai revolusi tidak pernah dapat diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Kata Kahin, ini mungkin karena Orde Baru alergi dengan istilah "revolusi" dan karena ia tidak membahas periode enam jam di Yogya, ketika Soeharto menjadi hero. Sayang, memoar ini, yang terbit setelah Kahin sendiri wafat, tidak menyinggung apa kesan Kahin ketika ia diberi tanda jasa, pada 1995, oleh Orde Baru sebagai orang asing yang bersimpati pada perjuangan RI.
Beberapa segi retrospeksi Kahin juga menarik. Misalnya, ia tak kunjung mengerti mengapa peran rakyat biasa dalam perang kemerdekaan kurang diperhatikan, dan fokus penelitian melulu ditujukan pada sisi diplomasi atau perjuangan bersenjata. Menurut Kahin, ini seolah-olah menunjukkan bahwa kedua hal ini bisa berjalan tanpa rakyat yang berbondong-bondong mendatangi rapat politik tempat Bung Karno berpidato, atau tanpa orang kampung yang persediaan berasnya dimakan tentara yang sedang bergerilya. Pada titik tertentu, Kahin tak bisa menyembunyikan kegeramannya kepada Soeharto dan Nasution, yang versi sejarah militeristiknya menyayangkan tunduknya para pemimpin RI kepada Belanda, di Yogyakarta, 19 Desember 1948, padahal mereka dilindungi tentara RI. "What protection?" demikian Kahin bertanya.
Tapi, dalam beberapa butir penting, memoarnya tidak beranjak jauh dari disertasinya, yang mengisyaratkan sekaligus kelebihan dan kelemahan Kahin. Kaya dengan sumber primer, ia tampak terlalu menempel dengan para tokohnya, kurang mengambil jarak. Dalam soal Tan Malaka, misalnya, ia sepenuhnya mengandalkan cerita lawan-lawannya. Ini diakuinya sendiri dalam pengantarnya untuk buku karya Ben Anderson, Java in a Time of Revolution (1972)—seorang indosianis terkemuka yang pernah menjadi muridnya—yang "merehabilitasi" peran tokoh itu. Dalam memoar ini ia katakan, ia tidak bisa mewawancarai tokoh itu karena Tan Malaka tidak mau bertemu dengan siapa pun dari AS.
Dalam tradisi akademis AS, Kahin mungkin juga akan dikritik karena membawa-bawa politik ke dalam kelas. Di sini ia tampak terlalu bersemangat: mengajak mahasiswanya ikut menentang Perang Vietnam. Bahkan akademisi-aktivis seradikal Edward Said pun sengaja menghindarinya, justru untuk membersihkan kampus dari godaan politisasi.
Ihsan Ali-Fauzi Mahasiswa Ohio University, AS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo