Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kredit Di Laut, Utang Di Darat

Penunggak kredit para nelayan di desa tanjungtiram muncar & cilacap. 4 buah rumah nelayan tanjungtiram nyaris dilelang, karena sudah tak sanggup melunasi kredit.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT buah rumah nelayan--gubuk reyot beratap rumbia--tak jadi dilelang. Padahal bangunan yang menjadi agunan kredit itu seharusnya dilelang akhir bulan lalu. Sebab keempat pemiliknya tak lagi sanggup mengembalikan angsuran kredit yang mereka terima. Mendadak, awal Desember ini, Bupati Bahcmid Muhammad yang juga bertugas sebagai Kepala Kantor Lelang Kelas II Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, menangguhkan pelelangan sampai Pemilu usai tahun depan. Alasannya, menurut Bahcmid, "untuk menjajaki apakah mungkin mereka diberi kelonggaran untuk mengembalikan kredit." Kredit itu semula menyangkut 20 orang nelayan di Tanjungtiram, sebuah desa di tepi Selat Malaka, Kabupaten Asahan. Besarnya Rp 1,5 juta/orang, dengan agunar. rumah tempat tinggal. Kredit diberikan berupa sampan, motor tempel dan peralatan penangkap ikan, berikut uang untuk modal pertama Rp 157.500. Tenggang waktu pembayaran kredit tersebut selama 3 bulan dengan bunga 1%. Setiap bulan penerima kredit diwajibkan menyetor minimal 40% dari hasil bersih hasil tangkapan di laut melalui KUD. "Tapi sejak bulan pertama, Juni 1977, penyetoran itu sudah seret," kata Chaidir Udin, Ketua KUD Furnia. Puso Karena pada bulan-bulan berikutnya masih tetap ada nelayan yang tidak menyetor angsuran, "akhirnya Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) turun tangan. Sejak itu penyetoran agak lancar," tutur Chaidir. Tapi sampai batas waktu pelunasan, April tahun lalu, masih banyak nelayan yang menunggak. PUPN pun kemudian memberi kelonggaran waktu sampai 1 November 1980. Sampai Desember 1980 baru dua nelayan yang melunasi pinjaman. Selebihnya, 18 orang, masih belum beres. Sekali lagi PUPN memberi kelonggaran pelunasan sampai April 1981. Sampai di sini terdapat 14 penunggak yang bersedia kembali mengangsur. Mereka ini umumnya sudah melunasi 40% dari jumlah wajib setor. Yang lain, empat orang, rata-rata baru menyetor di bawah Rp 50.000. Kepada mereka, yaitu M. Nur Kasim, Alban, Saharuddin dan Muhammad Yunan, masih diberi tenggang waktu lagi untuk menyatakan kesediaan melunasi tunggakan. Kalau tidak, rumah mereka akan dilelang. Keempat nelayan malang itu menyerah: bersedia menyerahkan rumah untuk dilelang. Tapi akhirnya pelelangan itu ditunda sampai selesai Pemilu 1982, karena juga kabarnya daerah ini dipandang oleh Pemda setempat cukup rawan. "Saya memang tak sanggup membayar," kata Alban. Menurut dia, penghasilan bersih yang selama ini ia peroleh tak lebih dari Rp 10.000/hari. Itu pun harus dibagi lagi dengan enam nelayan lain, yaitu rekan-rekannya seperahu. Penghasilan yang rendah itu antara lain karena Alban dkk tak mampu bersaing dengan nelayan yang bermodal besar--sementara harga onderdil motor dan bahan bakar tak seimbang dengan pendapatan. Selain itu hasil tangkapan mereka terpaksa diserahkan kepada tengkulak dengan harga amat rendah, sebab KUD Kurnia di sana kekurangan modal, sehingga tidak mampu menampung hasil tangkapan mereka. Pendapatan yang rendah itu sejak semula sudah disadari para nelayan. Karena itu ketika beberapa orang pengurus KUD menganjurkan agar mereka meminta kredit, para nelayan itu menolak karena merasa tak akan mampu melunasinya. "Tapi karena mereka merayu terus seolah-olah kredit itu manis seperti madu--akhirnya kami terirna juga," tutur Alban. Nelayan ini mengaku, walaupun pelelangan rumahnya ditunda sampai selesai Pemilu ia tetap merasa tak mampu mencicil. 'Apa boleh buatlah," katanya setengah mengeluh. Melihat nasib malang para nelayan tradisional ini, HNSI Cabang Asahan turun tangan. Pertengahan bulan lalu misalnya, Wakil Ketua HNSI di sana, Hubban Arfan, minta agar bupati menangguhkan pelelangan kempat rumah nelayan itu. "Kalau perlu membebaskan mereka dari kewajiban melunasi kredit," katanya. Sebab, kata Hubban lagi, petani yang gagal panen karena sawahnya puso, dibebaskan membayar tunggakan kredit. "Mengapa nelayan yang hasil tangkapannya sangat kurang tidak dibebaskan " tanya Hubban. Tapi menurut bupati pembebasan kredit itu hanya untuk petani yang terkena bencana alam. "Sedang nelayan di sini tidak tertimpa bencana," kilah bupati. Hubban Arfan membenarkan KUD Kurnia kurang berfungsi. "Tapi banyak pula nelayan yang bertindak salah. Setelah menerima kredit, banyak di antaranya yang bertingkah menjadi toke kecil, sedang penangkapan ikan diserahkan kepada orang lain. Bahkan ada yang menyewakan kapal motornya kepada Drang lain. Padahal maksud pemerintah bukan begitu," kata Hubban dengan kesal. Di Muncar, Banyuwangi (awa Timur) juga banyak nelayan yang menunggak kredit. Repotnya, bunganya cukup tinggi: 12% setahun. Dan karena tunggakan itu lama tak dilunasi, bunganya pun berbunga pula. Kredit itu diberikan pada 1975 kepada 50 kelompok nelayan, masing-masing menerima Rp 4 juta lebih. Seretnya pengembalian kredit itu juga karena penghasilan nelayan yang tidak memadai. "Sedikitnya penghasilan itu disebabkan tersaingi oleh perahu-perahu yang mencari ikan tanpa SIP (surat izin usaha perikanan)," kata Ketua BUUD Muncar, Soedarmadi. Untuk memberi keleluasaan kepada para nelayan penerima kredit, Pemda Banyuwangi pernah melarang 112 perahu non-SIUP beroperasi di Selat Bali. Tapi menurut Mamat, salah seorang nelayan penunggak kredit, "saya masih melihat banyak perahu non-SIUP yang berkeliaran." Rajin Mencicil Sampai saat ini dari 50 kelompok penerima kredit itu hanya 20 kelompok saja yang sudah melunasi pinjaman mereka. "Selebihnya masih menunggak," kata Soedarmadi. Cuma untungnya, nelayan yang tak mampu melunasi tunggakannya tak perlu khawatir rumah atau alat penangkap ikannya bakal disita atau dilelang. Sebab mereka mendapat kredit atas jaminan kelompok, melalui KUD. Para nelayan di Cilacap juga menerima kredit. Besarnya hampir sama. Tapi karena pantai Cilacap merupakan gudang ikan dan udang yang cukup besar, para pengambil kredit itu cukup rajin mencicil. Tercatat pengambil kredit untuk jalur I (7 mil dari pantai) 411 orang @ Rp 1,4 juta, untuk jalur II (14 mil dari pantai) 119 orang @ Rp 4,9 juta. Meskipun para nelayan di pantai Cilacap sering tertimpa musibah (tak melaut karena angin kencang misalnya), menurut penilaian Kepala BRI Cabag Cilacap, Djoko Soerjoko Roeslan, "mereka umumnya cukup disiplin mengangsur tunggakan kredit, bahkan ada yang melunasi kredit sebelum jatuh tempo." Penghasilan para nelayan Cilacap setelah menerima kredit dan traqler dihapuskan--memang meningkat. "Kalau dulu paling banter cuma Rp 1.000, sekarang bisa Rp 2.000/hari. Itu sudah dipotong bahan bakar, cicilan kredit dan keperluan lain," kata Rapingun, Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Cilacap. Apatagi mereka juga lebih senang membuat perahu sendiri yang ongkosnya tentu jauh lebih murah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus