EMPAT buah rumah nelayan--gubuk reyot beratap rumbia--tak jadi
dilelang. Padahal bangunan yang menjadi agunan kredit itu
seharusnya dilelang akhir bulan lalu. Sebab keempat pemiliknya
tak lagi sanggup mengembalikan angsuran kredit yang mereka
terima.
Mendadak, awal Desember ini, Bupati Bahcmid Muhammad yang juga
bertugas sebagai Kepala Kantor Lelang Kelas II Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara, menangguhkan pelelangan sampai Pemilu usai
tahun depan. Alasannya, menurut Bahcmid, "untuk menjajaki apakah
mungkin mereka diberi kelonggaran untuk mengembalikan kredit."
Kredit itu semula menyangkut 20 orang nelayan di Tanjungtiram,
sebuah desa di tepi Selat Malaka, Kabupaten Asahan. Besarnya Rp
1,5 juta/orang, dengan agunar. rumah tempat tinggal. Kredit
diberikan berupa sampan, motor tempel dan peralatan penangkap
ikan, berikut uang untuk modal pertama Rp 157.500.
Tenggang waktu pembayaran kredit tersebut selama 3 bulan dengan
bunga 1%. Setiap bulan penerima kredit diwajibkan menyetor
minimal 40% dari hasil bersih hasil tangkapan di laut melalui
KUD. "Tapi sejak bulan pertama, Juni 1977, penyetoran itu sudah
seret," kata Chaidir Udin, Ketua KUD Furnia.
Puso
Karena pada bulan-bulan berikutnya masih tetap ada nelayan yang
tidak menyetor angsuran, "akhirnya Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) turun tangan. Sejak itu penyetoran agak lancar," tutur
Chaidir. Tapi sampai batas waktu pelunasan, April tahun lalu,
masih banyak nelayan yang menunggak. PUPN pun kemudian memberi
kelonggaran waktu sampai 1 November 1980.
Sampai Desember 1980 baru dua nelayan yang melunasi pinjaman.
Selebihnya, 18 orang, masih belum beres. Sekali lagi PUPN
memberi kelonggaran pelunasan sampai April 1981. Sampai di sini
terdapat 14 penunggak yang bersedia kembali mengangsur. Mereka
ini umumnya sudah melunasi 40% dari jumlah wajib setor.
Yang lain, empat orang, rata-rata baru menyetor di bawah Rp
50.000. Kepada mereka, yaitu M. Nur Kasim, Alban, Saharuddin dan
Muhammad Yunan, masih diberi tenggang waktu lagi untuk
menyatakan kesediaan melunasi tunggakan. Kalau tidak, rumah
mereka akan dilelang. Keempat nelayan malang itu menyerah:
bersedia menyerahkan rumah untuk dilelang. Tapi akhirnya
pelelangan itu ditunda sampai selesai Pemilu 1982, karena juga
kabarnya daerah ini dipandang oleh Pemda setempat cukup rawan.
"Saya memang tak sanggup membayar," kata Alban. Menurut dia,
penghasilan bersih yang selama ini ia peroleh tak lebih dari Rp
10.000/hari. Itu pun harus dibagi lagi dengan enam nelayan lain,
yaitu rekan-rekannya seperahu.
Penghasilan yang rendah itu antara lain karena Alban dkk tak
mampu bersaing dengan nelayan yang bermodal besar--sementara
harga onderdil motor dan bahan bakar tak seimbang dengan
pendapatan. Selain itu hasil tangkapan mereka terpaksa
diserahkan kepada tengkulak dengan harga amat rendah, sebab KUD
Kurnia di sana kekurangan modal, sehingga tidak mampu menampung
hasil tangkapan mereka.
Pendapatan yang rendah itu sejak semula sudah disadari para
nelayan. Karena itu ketika beberapa orang pengurus KUD
menganjurkan agar mereka meminta kredit, para nelayan itu
menolak karena merasa tak akan mampu melunasinya. "Tapi karena
mereka merayu terus seolah-olah kredit itu manis seperti
madu--akhirnya kami terirna juga," tutur Alban. Nelayan ini
mengaku, walaupun pelelangan rumahnya ditunda sampai selesai
Pemilu ia tetap merasa tak mampu mencicil. 'Apa boleh buatlah,"
katanya setengah mengeluh.
Melihat nasib malang para nelayan tradisional ini, HNSI Cabang
Asahan turun tangan. Pertengahan bulan lalu misalnya, Wakil
Ketua HNSI di sana, Hubban Arfan, minta agar bupati menangguhkan
pelelangan kempat rumah nelayan itu. "Kalau perlu membebaskan
mereka dari kewajiban melunasi kredit," katanya.
Sebab, kata Hubban lagi, petani yang gagal panen karena sawahnya
puso, dibebaskan membayar tunggakan kredit. "Mengapa nelayan
yang hasil tangkapannya sangat kurang tidak dibebaskan " tanya
Hubban. Tapi menurut bupati pembebasan kredit itu hanya untuk
petani yang terkena bencana alam. "Sedang nelayan di sini tidak
tertimpa bencana," kilah bupati.
Hubban Arfan membenarkan KUD Kurnia kurang berfungsi. "Tapi
banyak pula nelayan yang bertindak salah. Setelah menerima
kredit, banyak di antaranya yang bertingkah menjadi toke kecil,
sedang penangkapan ikan diserahkan kepada orang lain. Bahkan ada
yang menyewakan kapal motornya kepada Drang lain. Padahal maksud
pemerintah bukan begitu," kata Hubban dengan kesal.
Di Muncar, Banyuwangi (awa Timur) juga banyak nelayan yang
menunggak kredit. Repotnya, bunganya cukup tinggi: 12% setahun.
Dan karena tunggakan itu lama tak dilunasi, bunganya pun
berbunga pula. Kredit itu diberikan pada 1975 kepada 50 kelompok
nelayan, masing-masing menerima Rp 4 juta lebih.
Seretnya pengembalian kredit itu juga karena penghasilan nelayan
yang tidak memadai. "Sedikitnya penghasilan itu disebabkan
tersaingi oleh perahu-perahu yang mencari ikan tanpa SIP (surat
izin usaha perikanan)," kata Ketua BUUD Muncar, Soedarmadi.
Untuk memberi keleluasaan kepada para nelayan penerima kredit,
Pemda Banyuwangi pernah melarang 112 perahu non-SIUP beroperasi
di Selat Bali. Tapi menurut Mamat, salah seorang nelayan
penunggak kredit, "saya masih melihat banyak perahu non-SIUP
yang berkeliaran."
Rajin Mencicil
Sampai saat ini dari 50 kelompok penerima kredit itu hanya 20
kelompok saja yang sudah melunasi pinjaman mereka. "Selebihnya
masih menunggak," kata Soedarmadi. Cuma untungnya, nelayan yang
tak mampu melunasi tunggakannya tak perlu khawatir rumah atau
alat penangkap ikannya bakal disita atau dilelang. Sebab mereka
mendapat kredit atas jaminan kelompok, melalui KUD.
Para nelayan di Cilacap juga menerima kredit. Besarnya hampir
sama. Tapi karena pantai Cilacap merupakan gudang ikan dan udang
yang cukup besar, para pengambil kredit itu cukup rajin
mencicil. Tercatat pengambil kredit untuk jalur I (7 mil dari
pantai) 411 orang @ Rp 1,4 juta, untuk jalur II (14 mil dari
pantai) 119 orang @ Rp 4,9 juta.
Meskipun para nelayan di pantai Cilacap sering tertimpa musibah
(tak melaut karena angin kencang misalnya), menurut penilaian
Kepala BRI Cabag Cilacap, Djoko Soerjoko Roeslan, "mereka
umumnya cukup disiplin mengangsur tunggakan kredit, bahkan ada
yang melunasi kredit sebelum jatuh tempo."
Penghasilan para nelayan Cilacap setelah menerima kredit dan
traqler dihapuskan--memang meningkat. "Kalau dulu paling banter
cuma Rp 1.000, sekarang bisa Rp 2.000/hari. Itu sudah dipotong
bahan bakar, cicilan kredit dan keperluan lain," kata Rapingun,
Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Cilacap. Apatagi mereka juga
lebih senang membuat perahu sendiri yang ongkosnya tentu jauh
lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini