Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Secarik Kertas untuk Indonesia

Mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Muhammad Yamin merumuskan sendiri teks Sumpah Pemuda.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARAPAN pagi itu berlangsung tak seperti biasanya. Tak ada diskusi serius atau canda dari para penghuni Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. A.K. Gani, mahasiswa dari Minang, kehilangan obrolan segarnya. Ia biasanya rajin meledek Jusupadi Danuhadiningrat dari Yogyakarta. Guyonan A.K. Gani ini kemudian ditimpali Muhammad Yamin dengan celetukan yang memancing tawa Amir Sjarifuddin atau Abu Hanifah.

Tapi Minggu pagi, 28 Oktober 1928 itu, hampir semua penghuni Indonesische Clubgebouw tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka justru tampak ingin segera beranjak dari meja makan. ”Mungkin karena mereka sibuk ikut kongres, mungkin pula karena hidangannya tak menarik. Maklum, kualitas makanan pada hari itu menurun,” ujar dr. R. Soeharto, rekan Yamin yang kemudian menjadi dokter pribadi Bung Karno.

Yamin perlu segera merumuskan pikiran para pembicara Kongres Pemuda Indonesia II malam sebelumnya di gedung Katholieke Jongelingen Bond, Waterloopplein, Lapangan Banteng, Jakarta. Maklum, ia menjabat sekretaris panitia kongres. Ia sendiri malam itu berpidato panjang lebar tentang ”Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”, termasuk tentang perlunya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh kelompok dan suku di Indonesia.

Pidato Yamin di depan 750 peserta rapat umum itu dinilai telah menggiring organisasi pemuda perwakilan daerah yang ikut kongres untuk berikrar bersama. Ia pulalah yang kemudian menuliskan teks Sumpah Pemuda yang amat berpengaruh itu. Dengan sumpah ini, organisasi pemuda ramai-ramai menanggalkan watak kedaerahan mereka dan melebur menjadi satu organisasi: Indonesia Muda. Bung Hatta menyebut peristiwa Sumpah Pemuda itu sebagai ”sebuah letusan sejarah”.

Pada Sabtu dan Minggu itu mahasiswa tahun pertama Rechts Hooge School (Perguruan Tinggi Hukum) ini memang tengah membuat sejarah. Usianya saat itu 25 tahun. Dan seperti diungkapkan Ketua Kongres Pemuda II Soegondo Djojopoespito pada peringatan 45 tahun Sumpah Pemuda, Yamin melakukannya dengan gaya khas anak muda yang ”lebih suka memakai kata-kata muluk” ketimbang mengungkapkan kenyataan.

Kenyataan yang mereka hadapi adalah Belanda masih sepenuhnya menguasai Indonesia pada 1928 itu. Kongres Pemuda itu pun diawasi 24 jam oleh polisi Belanda. Tapi Yamin dan semua pemuda yang berbicara dalam Kerapatan Pemuda ini nekat mengajukan gagasan muluk: tanah yang satu, bangsa yang satu, bahasa yang satu: Indonesia.

Menurut Soegondo, Yamin juga lebih mengedepankan imajinasinya sebagai seorang sastrawan. Penulis beberapa kumpulan puisi, juga penerjemah buku William Shakespeare dan Rabindranath Tagore ini, misalnya, menyebut persatuan dan kebangsaan Indonesia adalah hasil pikiran dan kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. ”Semangat yang selama ini tertidur itu sekarang telah bangun. Inilah yang dinamakan roh Indonesia,” ucap Yamin. ”Ini kata-kata yang bombastis, tapi sebaliknya tampak brilian bagi orang-orang muda yang mendengarnya saat itu,” ujar Soegondo.

Yamin pula yang ”memelintir” fakta peserta kongres demi mendapat pemberitaan luas oleh media massa. Dalam pidatonya, Yamin berkata bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan itu, karena para peserta yang hadir datang dari seluruh Indonesia. Ia memberikan kesan seolah-olah pemuda yang hadir dalam kongres itu baru datang dengan menggunakan kapal atau perjalanan darat dari seluruh Indonesia. Padahal utusan kongres yang mewakili daerah kebanyakan datang dari Jakarta dan kota-kota di Jawa. ”Ia lebih mengutamakan efek daripada kebenaran,” ucap Soegondo.

Namun bukan berarti Yamin tak punya gagasan yang utuh. Sejak Kongres Pemuda I yang berlangsung pada 30 April 1926 sampai 2 Mei 1926 di Jakarta, Yamin mengusulkan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Di depan kongres yang diketuai Mohammad Tabrani itu, Yamin yang pernah bersekolah di Algemeene Middlebare School (semacam sekolah menengah atas bagian sastra Timur di Yogyakarta) menyebutkan bahwa jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, kata Yamin, bahasa Melayulah yang lambat-laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Tabrani, yang aktif di perkumpulan Jong Java, menolak usul itu. Menurut dia, harus ada satu bahasa persatuan yang sesuai dengan tujuan awal peserta kongres, yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. ”Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut Bahasa Indonesia,” ucap Tabrani kala itu. Yamin menerima penolakan tersebut dan sejak itu ia bekerja keras memikirkan resolusi yang tepat, yang bisa diterima dan menyatukan semua kelompok bangsa.

Ihwal bahasa persatuan itu tak hanya disampaikan Yamin saat kongres pertama. Jauh sebelumnya, saat berumur 17 tahun, Yamin yang lahir pada 23 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat itu telah menyampaikan gagasannya agar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan orang Sumatera. Gagasan itu kembali dihidupkan ketika ia menghadiri perayaan ulang tahun kelima perkumpulan Jong Sumatranen Bond, di Jakarta pada 1923. Dalam pertemuan itu Yamin menyampaikan sebuah pidato berjudul ”De Maleiche Taal in het verleden, heden en in de toekomst”, yang berarti ”Bahasa Melayu, pada masa lampau, masa sekarang, dan masa depan”.

l l l

Lahir dari keluarga keturunan kepala adat Minangkabau dengan seorang ayah yang bekerja sebagai mantri kopi, Oesman Bagindo Khatib, Yamin mengenyam banyak pendidikan. Di kampung halamannya, anak ketiga dari lima bersaudara ini menamatkan pendidikannya di Holland Inlander School. Lepas dari HIS, Yamin melanjutkan ke Sekolah Guru di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Ia kemudian hijrah ke Pulau Jawa dan masuk sekolah dokter hewan di Bogor. Merasa tidak berbakat, ia pindah ke sekolah menengah pertanian di Bogor. Di tempat ini pun Yamin belum menemukan minatnya. Ia kemudian hengkang dan menuju Yogyakarta. Di Kota Gudeg ini, Yamin masuk sekolah menengah atas bagian sastra Timur. Di tempat inilah Yamin menemukan dunianya.

Sejak muda, selain aktif di organisasi, Yamin juga sudah tertarik pada sastra. Ia dikenal sebagai seorang pembaca buku yang tekun. Yamin mempunyai koleksi buku lebih dari 20 ribu buah. Pada umur 18 tahun ia telah melahirkan banyak sajak. Pada 1922, Yamin menerbitkan kumpulan sajak berjudul Tanah Air. Pada 1928, suami Raden Ajeng Sundari Mertoatmodjo (Siti Sundari) ini kembali menulis kumpulan puisi Indonesia Tumpah Darahku.

Yamin pun menguasai ilmu sejarah, bahasa Yunani, Latin, Kaei, Jawa, Melayu, dan Sanskerta. Belakangan ia menguasai ilmu hukum tata negara setelah meraih gelar sarjana hukum dari Rechts Hooge School di Jakarta, pada 1932.

Di masa awal sekolah hukum inilah Yamin terlibat penuh dalam Kongres Pemuda II. Setelah mengadakan rapat maraton dari Sabtu sore hingga Ahad malam, 28 Oktober 1928, seluruh peserta kongres yang terdiri dari utusan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan beberapa utusan lain akhirnya menyatakan sepakat dan mencetuskan Sumpah Pemuda.

Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Yamin pada sebuah kertas ketika Mr Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, sembari berbisik, ”Saya punya rumusan resolusi yang elegan.”

Soegondo membaca rumusan resolusi itu, lalu memandang Yamin. Yamin membalas pandangan itu dengan senyuman. Spontan Soegondo membubuhkan paraf ”Setuju”. Selanjutnya Soegondo meneruskan usul rumusan itu kepada Amir Sjarifuddin yang memandang Soegondo dengan mata bertanya-tanya. Soegondo mengangguk-angguk. Amir pun memberikan paraf ”Setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.

Sumpah itu berbunyi:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu pun menjadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia. ”Yaminlah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah,” kata sejarawan Anhar Gonggong.

Sejak itu, setiap 28 Oktober, Yamin yang pernah menjabat Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial di masa Soekarno itu selalu diundang hadir dalam peringatan Sumpah Pemuda. Herbert Feith menyebut tokoh yang meninggal pada 17 Oktober 1962 itu sebagai ”seorang ideologis nasionalis yang berada persis di belakang presiden.”

”Dialah penyair yang menemukan formulasi tepat kebangsaan kita,” ujar Mohammad Roem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus