Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Pemimpin yang Redup

Soegondo Djojopoespito memimpin Kongres Pemuda Indonesia II. Berotak encer dan pemberani.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU, 27 Oktober 1928. Jarum jam menunjukkan pukul 19.45 ketika Soegondo Djojopoespito membuka Kongres Pemuda II di gedung Katholieke Jongelengen Bond, Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta). Setelah mengucapkan selamat datang kepada seribu anggota delegasi, Soegondo langsung berpidato menguraikan sejarah pemuda pada zaman itu dan masa-masa sebelumnya.

Ketua Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia ini juga menyampaikan sebuah perumpamaan: ”Dua ekor anjing berebut tulang, tetapi tulangnya dibawa lari oleh seekor anjing lain.” Artinya, kata Soegondo, ketika bangsa Indonesia bercerai-berai, Belandalah yang bakal meraup untung. Itulah sebabnya ia menyerukan persatuan. ”Perangilah pengaruh cerai-berai dan majulah ke arah Indonesia bersatu.”

Sambutan itu kontan disambut tepuk tangan peserta kongres. Kisah tersebut dikutip dari buku Soegondo Djojopoespito: Hasil Karya dan Pengabdiannya, tulisan Sri Sutjianingsih. Soegondo memang piawai dalam berpidato dan tangkas memimpin rapat.

Dua kali insiden dalam rapat pertama dapat diatasinya. Pertama, ketika polisi Belanda yang mengawasi kongres itu memprotes kata ”merdeka” disebutkan dalam pidato peserta. ”Jangan gunakan kata ’kemerdekaan’, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama tahu saja,” katanya sabar kepada peserta itu yang disambut tepuk tangan riuh, seperti dikutip dalam buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok karya Pitut Soeharto-Zainoel Ihsan.

Protes kedua juga datang dari pihak Belanda, saat seorang pembicara menganjurkan kaum muda lebih bekerja keras agar tanah air Indonesia lekas menjadi negeri seperti Inggris, Jepang, dan lainnya. Seketika itu, Soegondo diminta polisi Belanda mengeluarkan semua pemuda dalam rapat itu. Namun ia menolak permintaan tersebut.

Rapat sempat ricuh. Namun pertemuan itu akhirnya dapat dilanjutkan berkat bantuan Sartono—wakil Partai Nasional Indonesia cabang Jakarta dan juga mewakili Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia.

Soegondo juga punya banyak siasat. Salah satunya ketika dia meminta Wage Rudolf Soepratman mendendangkan Indonesia Raya dengan biola pada saat penutupan yang dilaksanakan di Kramat 106 pada 28 Oktober. Lagu tersebut diperdengarkan tanpa syair karena itulah yang paling mungkin dilakukan.

Berkat kepemimpinan pemuda 23 tahun itu, kongres tersebut juga berhasil mencetuskan keputusan yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda. ”Soegondo itu hebat, jangan dianggap enteng,” kata Rosihan Anwar, wartawan senior yang banyak membaca perihal Soegondo dan pernah bertemu sekali dengannya.

l l l

Soegondo Djojopoespito lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1905. Ia sulung dua bersaudara. Ayahnya, Kromosardjono, seorang penghulu di Tuban, menikah dengan putri khatib Djojoatmodjo dan cucu penghulu Tuban, Raden Iman Razi. Pasangan ini juga dikaruniai anak perempuan, Sudaraweti.

Nama belakang Soegondo diperoleh dari nama adik Iman Razi, Djojopoespito. Sudaraweti kemudian berganti nama menjadi Sunarjati. Keduanya diasuh paman mereka yang bekerja sebagai collecteur di Blora sampai pamannya meninggal dunia. ”Kami menyebutnya Pak Komis,” kata Sunarindrati, putri kedua Soegondo, 71 tahun, ketika ditemui Tempo.

Pak Komis tidak dikaruniai anak. Soegondo dan adiknya disekolahkan di HIS (setingkat sekolah dasar) di Tuban. Mereka kemudian melanjutkan ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Surabaya. Setelah tamat, ia melanjutkan lagi ke AMS (setingkat sekolah menengah atas) di Yogyakarta. Selama di kota ini, Soegondo dan Sunarjati menumpang di rumah Ki Hajar Dewantoro. Di sinilah ia menemukan dasar kebangsaan yang kuat.

Soegondo berotak encer. Ia juga gemar membaca. ”Sampai tua, ia masih senang dibelikan buku sebagai oleh-oleh,” kata Sunar mengenang. Ia sendiri pindah ke Jakarta sejak 1963. Kegemaran Soegondo membaca buku tentang tokoh internasional berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.

Sejak muda, Soegondo sudah tertarik pada politik. Namun, karena masih pelajar, ia belum dapat bergabung dengan partai politik. Meskipun demikian, ia sering menghadiri rapat-rapat umum. Jiwa kebangsaan kian kuat ketika Soegondo melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi—sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada 1925. Tapi ia tak tamat. ”Beasiswa dari Belanda dicabut, karena ia aktif di politik,” kata Sunar.

Saat kuliah, ia menumpang di rumah pegawai pos di Gang Rijksman (sebuah kampung di sebelah utara Rijswik), Jalan Segara. Teman kosnya kebanyakan pegawai pos. Salah satunya pernah memberikan majalah Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang dilarang masuk Indonesia.

Setelah membaca majalah itu, mata Soegondo makin terbuka. Ia menyadari pentingnya meraih sebuah kemerdekaan. Ia ingin berbuat sesuatu. Soegondo lalu belajar dan berdiskusi politik dengan Haji Agus Salim. Teman-temannya dihubungi untuk membaca majalah terlarang itu dan berdiskusi di pemondokannya. Mereka antara lain Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo, adik Ali Sastroamidjojo.

l l l

Pada 1926 Soegondo membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, terinspirasi oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sigit terpilih sebagai ketua. Tugas khusus mereka: menghubungi mahasiswa-mahasiswa baru dan pemimpin perkumpulan pemuda untuk menularkan ”persatuan”. Mereka membuat pamflet rahasia untuk menggulingkan Belanda.

Setahun berselang, Sigit meletakkan jabatan dan digantikan Soegondo. Sebagai ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan, lalu membentuk panitia kongres, Juni 1928.

Selain gemar berpolitik, Soegondo senang mengajar. Pada 1932 ia pindah ke Bandung menjadi Kepala Sekolah Taman Siswa di Bandung. Pada tahun itu, ia menikahi Suwarsih di Cibadak, Bogor. Bersama istrinya, Soegondo mendirikan Loka Siswa di Bogor. Namun, karena muridnya sedikit, sekolah ditutup.

Pada 1933 Soegondo masuk Partai Pendidikan Nasional Indonesia—pecahan Partai Nasional Indonesia. Sebelumnya, 1928, ia adalah simpatisan PNI. Hidupnya pun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Ia pernah tinggal di Semarang, Bandung, dan Jakarta, sebelum akhirnya menetap di Yogyakarta. Soegondo pernah menjadi wartawan freelance Bataviaasch Nieuwsblad dan Indische Courant.

Pada 1941 Soegondo menjabat Direktur Kantor Berita Antara dengan Adam Malik sebagai redaktur. ”Ia menjadi wartawan politik dan mendapat saham dari LKBN Antara sebagai bonus,” kata Sunar. Menurut dia, ayahnya tidak pernah mau bekerja pada Belanda dan ia juga meminta Suwarsih melakukan hal yang sama.

Ketika Jepang menendang Belanda, Soegondo menjadi pegawai Shihabu (Departemen Kehakiman), bagian urusan penjara, di bawah Notosusanto. Pada zaman kemerdekaan, ia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, bersama Suwarsih dan adiknya, Sunarjati. ”Beliau sempat mendapat pensiun,” ujar Sunar.

Bersama Sutan Sjahrir, Soegondo adalah satu dari delapan pendiri Partai Sosialis Indonesia, 1948. Ia adalah anggota Politbiro Partai Sosialis Indonesia, merangkap Ketua Partai Sosialis Indonesia di Jawa Tengah/Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Ia ideolog Partai Sosialis,” kata Rosihan Anwar. Menurut dia, Soegondo dan Djohan Sjahroezah termasuk perangkai ideologi partai ini.

Puncak sukses karier Soegondo adalah ketika menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat dan Pemuda pada Kabinet Halim 1950, di bawah Presiden Assaat, masa Republik Indonesia Serikat. ”Dia pensiunan mantan menteri, tapi tidak aktif lagi setelah partai dibubarkan Soekarno pada 1960,” kata Rosihan. Setelah itu, ia tidak terkenal dan tidak banyak berperan.

Sampai akhir hidupnya, Soegondo menetap di Jalan Nyoman Oka, Kota Baru, Yogyakarta. Bersama Suwarsih, penyuka pepes bandeng panggang ini menulis artikel di majalah dan berpolitik di dalam dan luar negeri. Karyanya tidak terkenal, tapi Suwarsih dikenal sebagai novelis. Buku Suwarsih berjudul Manusia Bebas diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Indonesia.

Ketiga anak Soegondo: Sunartini Djanan Chudori (almarhum), Sunarindrati Tjahjono, dan Sunaryo Djojopoespito, tidak ada yang terjun ke dunia politik. ”Beliau selalu minta kami bersekolah,” kata Sunar, pensiunan Bank Indonesia dan kini konsultan bank asal Jepang di Jakarta. ”Mungkin juga karena partainya sudah diberangus,” ujarnya.

Pada 23 April 1978 Soegondo meninggal dunia setelah dirawat dua pekan karena kanker paru-paru di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di kuburan keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Desa Celeban, Umbulharjo, Yogyakarta, di samping makam Suwarsih, yang meninggal pada 24 Agustus 1977.

Soegondo mendapat anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada 17 Agustus 1978. Dari tiga anaknya, Soegondo mendapatkan sembilan cucu. ”Jika ada dana, saya ingin menjadikan rumah kakek sebagai tempat bersejarah untuk dikenang,” kata Dewi. Perempuan 36 tahun ini adalah cucu Soegondo yang tinggal di Kota Baru, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus