Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kebangsaan Sunario

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asvi Warman Adam

  • Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    MENDIANG Profesor Sartono Kartodirdjo pernah mengatakan bahwa Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1925 lebih fundamental daripada Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Adapun Sumpah Pemuda hanya menonjolkan persatuan—paling tidak demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan ”satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”.

    Satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional itu adalah Profesor Mr Sunario. Ketika Manifesto Politik dicetuskan, bersama Hatta ia adalah pengurus Perhimpunan Indonesia: Sunario sekretaris II dan Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925 ia memperoleh gelar Meester in de Rechten, kemudian pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para pemuda aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu, Sunario juga menjadi pembicara dengan makalah berjudul ”Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”.

    Kongres Pemuda itu terdiri atas tiga sesi. Sebelum sesi ketiga, 28 Oktober 1928, malamnya direncanakan arak-arakan pandu. Namun acara ini dibatalkan karena tidak diizinkan polisi. Dalam sesi ketiga yang, menurut surat kabar Darmokondo, dihadiri 1.000 orang (bisa dipertanyakan apakah ruangan dan halaman yang tersedia dapat menampung massa sebanyak itu), disinggung juga soal peran kepanduan.

    Selanjutnya Mr Sunario mengemukakan bahwa ”kongres ini bersendi atas persatoean dan ketjintaan”. Tapi persatuan itu tidak cukup di kalangan intelek saja. Maka ia menganjurkan mendukung gerakan kepanduan. ”Djika akan meninggikan ra’jat Indonesia, sokonglah kita poenja Pandoe baik dengan wang, maoepoen anak-anak, poetra-poetra, poetri-poetri menjadi kita empoenja Pandoe”. Sebelumnya, pada 1926 di Bandung, ia ikut mendirikan Nationale Patvinders-Organisatie bersama Rahim (ayah Rahmi Hatta) yang mewajibkan semua pandu memakai kacu merah-putih.

    Pada 2002 diperingati secara meriah satu abad kelahiran Bung Hatta melalui pameran foto, penerbitan buku, dan diskusi di berbagai kota di Indonesia. Sunario seakan terlupakan, padahal ia juga lahir pada tahun yang sama dengan Hatta dan hanya terpaut beberapa hari (Hatta di Bukittinggi, 12 Agustus, dan Sunario di Madiun, 28 Agustus 1902).

    Setelah Indonesia merdeka, Hatta menjadi wakil presiden, sedangkan Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Kedua tokoh ini sama-sama pernah menjadi Menteri Luar Negeri. Hatta adalah wakil presiden merangkap Menteri Luar Negeri pada pemerintahan RIS (20 Desember 1949-6 September 1950). Selain menjadi aktivis dan salah seorang pendiri PNI, Sunario menjabat Menteri Luar Negeri semasa kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955).

    Hatta adalah penggagas politik luar negeri bebas aktif. Pidato terkenalnya adalah ”Mendayung di Antara Dua Karang”. Politik luar negeri yang bebas aktif itu dijabarkan Sunario secara konkret. Ketika ia menjadi Menteri Luar Negeri, dilangsungkan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang menghasilkan Dasasila Bandung. Sunario juga menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai, suatu persoalan yang selama beberapa dekade tetap krusial.

    Hatta mundur sebagai wakil presiden pada Desember 1956. Pada tahun yang sama Sunario ditunjuk menjadi duta besar di Inggris, sampai 1961. Setelah itu, Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional dan kemudian menjadi Rektor Universitas Diponegoro Semarang (1963-1966). Setelah sama-sama pensiun, kedua tokoh ini kembali bertemu dalam Panitia Lima pada 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai oleh Bung Hatta, anggotanya Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo. Ketiga nama pertama adalah tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta pada 1945.

    Pada 1975 diterbitkan buku Uraian Pancasila oleh panitia tersebut. Bung Karno diakui sebagai tokoh yang pertama berpidato dan mengungkapkan nama Pancasila sebagai dasar negara. Namun, dalam pidato Soekarno, pada 1 Juni 1945, sila ketuhanan itu tercantum pada urutan terakhir. Oleh pendiri bangsa yang lain, sila ketuhanan (ditambah ”Yang Maha Esa”) diletakkan pada urutan pertama. Sila-sila lain hanya menyangkut perubahan istilah. Panitia Lima, termasuk Bung Hatta dan Sunario, menganggap bahwa sila pertama ini merupakan fundamen moral, sedangkan keempat sila lainnya adalah fundamen politik. Sendi moral harus ditempatkan di atas sendi politik.

    Apa yang dikerjakan oleh Sunario dan kawan-kawan pada 1975 itu pada hakikatnya menentang rekayasa sejarah rezim Orde Baru terhadap lahirnya Pancasila. Pada 1984, dalam sebuah seminar nasional sejarah, Sunario menyampaikan makalah ”Tentang Metode Pembuktian dalam Sejarah”. Ia membandingkan pembuktian sejarah dengan pembuktian dalam ilmu dan praktek hukum.

    Sunario Sastrowardoyo, yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur, menikah dengan Dina Maranta Pantauw, gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya ketika berlangsung Kongres Pemuda 1928. Perkawinan ini awet, mereka hanya terpisahkan oleh maut. Sunario wafat pada 1997 dan istrinya tiga tahun lebih awal. Bakat politik menurun kepada salah seorang putrinya, Profesor Astrid Susanto, yang setelah lama berkarier di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

    Sunario Sastrowardoyo, kakek bintang film Dian Sastrowardoyo, terkenal sederhana. Setelah pensiun, ia mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tidak punya mobil sendiri, dari rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia pergi ke kampus naik bus kota atau bajaj. Ia sempat membuat heboh pejabat Departemen Luar Negeri ketika suatu saat mantan Menteri Luar Negeri ini naik sepeda datang ke Pejambon.

    Pelajaran utama yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya serta dijalaninya sendiri adalah hidup jujur. Kenapa kita harus jujur? Alasannya sederhana: supaya malam hari bisa tidur nyenyak. Barangkali itulah salah satu resep panjang umur tokoh yang sempat mengecap usia di atas 90 tahun itu.

    Salah satu obsesi tokoh nasionalis ini adalah persatuan bangsa. Sejak dari negeri Belanda sampai proklamasi kemerdekaan, Sunario adalah tokoh yang konsisten dengan pandangan tentang negara kesatuan. Ia keberatan dengan negara federal. Pidatonya dalam Kongres Pemuda mengutip filsuf Prancis, Ernest Renant, yang kemudian juga pernah disitir Bung Karno. Artikel ”Qu’est-ce qu’une nation?” tersebut diterjemahkan Sunario ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”Apakah Bangsa Itu”.

    Bangsa adalah hasil historis yang ditimbulkan oleh deretan kejadian yang menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan kepentingan bersama, keadaan alam, Renant menyimpulkan bahwa bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Bangsa merupakan hasil masa silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Jadi bangsa itu adalah suatu solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia memberikan pengorbanan lagi.

    Pada 1968 Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda. Bersama-sama mereka meminta Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa kepada bentuknya semula. Tempat itu disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda. Tapi usul mengganti nama Jalan Kramat Raya menjadi Jalan Raya Sumpah Pemuda belum tercapai sampai sekarang.

    Sebelas tahun lalu Sunario terbaring lemah di ruang gawat darurat Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Berbagai selang terpasang di tubuhnya yang kecil. Keempat anaknya mendekat ke telinga Sunario dengan suara pelan (agar tidak mengganggu pasien lain) menyanyikan lagu Indonesia Raya, Halo-halo Bandung, dan Satu Nusa Satu Bangsa. Sunario sempat tersenyum, beberapa hari kemudian ia berpulang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus