SEYCHELLES, sebuah kepulauan di Samudra Hindia, sempat jadi taman surgawi waktu masih dijajah Inggris. Satu-satunya papan peringatan yang dipasang di mana-mana, dulu, hanyalah ini: "Awas, kelapa jatuh!" Banpol Inggris penjaga ketertiban berkeliaran tanpa pentungan, apalagi pistol. Foto Ratu bergelantungan tanpa usikan. Tentara betul-betul barang langka. Maka, ketika naik tahta pada 1977, Presiden Albert Rene dengan garang bercanang bahwa ia lebih baik meninggalkan negeri itu bila ke mana-mana harus di kawal. Tapi itu dulu. Kini presiden itu punya alasan takut terhadap pembunuhan. Kalau ia bermobil di Mahe, sekarang, satu truk serdadu menguntitnya. Itu yang berseragam masih ada lagi yang preman. Pada malam hari, satu pasukan tentara bantuan - dari Korea Utara - berjaga-jaga di sekeliling kediaman resminya di Sans Souci. "Bahkan Graham Green harus berpikir keras untuk dapat ikut berperan dalam tragedi-komedi yang kini dipanggungkan di Seychelles," komentar Barrie Penrose lewat tulisannya yang berjudul Segalanya tidak Lagi Sungguh Indah di Taman Surga, dalam The Sunday Times bulan lalu. Tempat lakon sedih-sedih lucu yang bernama Seychelles itu adalah kepulauan dengan 100 daratan kecil yang jumlahnya bisa berubah saban hari bergantung pada pasang naik dan pasang surut arus laut yang mengepung. Orang Seychelles seluruhnya berjumlah 60 ribu. Terdiri dari Indo-lndo yang eksotis, atau setidaknya pernah kecampuran sedikit darah pendatang: si hitam dari Afrika dan si putih asal Prancis. Gaya penampilan mereka boleh juga - ala Pelukis Gauguin, konon: memakai topi rumput lebar yang melambai ditiup angin tropis, agar terhindar dari sengatan 100 panas Samudra Hindia. Mereka tinggal di gubuk-gubuk panggung beratap seng, di antara kerimbunan hutan yang hijau subur. Hidup mereka terbilang enak, sebetulnya. Ikan paya, daging ikan hiu, dan kalong mudah didapat. Juga buahbuahan liar. Mangga, misalnya, tinggal memungut yang jatuh-jatuh, kalau mau. Pohon-pohon palem, kelapa dan enau, bisa disadap menjadi tuak yang kadar alkoholnya tinggi. Pohon tembakau tumbuh liar, sehingga inanginang pun doyan mengisapnya dengan pipa. Setiap minggu sekitar 1.000 wisatawan tiba ke suatu tempat yang oleh Gordon dari Khartoum dipercaya sebagai lokasi asli Taman Firdaus. " Unique by a thousand miles" adalah salah satu bunyi slogan turis yang dipasang di mana mana. Ini tentunya karena letak Seychelles yang jauh dari mana-mana. Bagi para pengunjung di pantai-pantai berpasir putih bagai mutiara, yang kerjanya duduk bermalas-malasan - sambil menikmati air kelapa muda - atau paling-paling menjajal menunggang kura-kura, memang surga seperti sudah ditemukan. Tetapi, di seberang gambaran pulau impian, ada sesuatu yang lebih prosais sedang berlangsung. Apa? Yang penciumannya awas segera tahu: di antara penduduk Seychelles menyusup sekelompok besar diplomat yang selalu mengkhawatirkan sesuatu. Mereka terutama berasal dari negara-negara besar termasuk Cina. Kecuali turis, sebagian besar pendatang asing memang mempunyai minat terhadap letak strategis pulau-pulau itu di Samudra Hindia. Presiden Reagan, misalnya, khawatir orang Rusia berminat menjadikan kawasan laut pedalaman yang biru legam itu sebagai pangkalan tetap kapal selam dan kapal perang mereka. usia-Rusia itu sesungguhnya memang sudah mulai memasang pancang di sana. Namun, tidak sendirian. Di samping agen-agen KGB muncul pula "kolega"-nya, CIA, dan M16 (Inggris) - malahan juga sejumlah agen polisi rahasia Kolonel Qadhafi. Sementara itu, Korea Utara "menyumbangkan" serdadu kawalnya untuk melindungi pemimpin rezim negeri itu. Spion swasta Inggris disewa pula untuk tugas memata-matai musuh-musuh rezim itu di luar negeri. Komplet, sudah. Masuk akalkah rasa waswas presiden AS itu? Tampaknya begitu. Kita lihat, sejak akhir 1960-an Uni Soviet sudah makin masuk ke wilayah Asia-Pasifik - yang "ditinggalkan" AS dengan sistem "pertahanan maju"-nya. Menurut sistem itu, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam Selatan, Filipina, dan Australia merupakan "garis depan" pertahanan AS terhadap arus pengaruh komunis. Payung pertahanan AS waktu itu - dengan Armada Vll-nya - praktis membentang di seluruh kawasan Asia-Pasifik. Begitu pula ketika presiden AS waktu itu, Nixon, mengemukakan kemungkinan penarikan AS dari Asia - segera terlihat gelagat Moskow berminat mengisi lowongan itu. Sambil meningkatkan keterlibatannya di Vietnam, Presiden Breznev juga mengusulkan suatu sistem "keamanan bersama Asia". Itu sekitar 1969. Pendekatan antara AS dan Cina, yang bermula dengan Komunike Shanghai - yang diparaf pada 1972 - membuat Moskow makin merasa tersudut, dan memaksanya menyusup ke Asia-Pasifik. Akibatnya, pada 1978, Rusia mengirimkan pasukan AD-nya ke Kepulauan Kuril, yang didudukinya sejak akhir Perang Dunia ll. Hingga kini, daerah sekitar 515 km sebelah utara Jepang - yang dituntut oleh negeri matahari terbit itu - adalah daerah panas. Di sini Soviet kabarnya telah membangun suatu pangkalan kapal selam. Ada sekitar 70 pesawat pembom supersonik Backfire ditongkrongkan di pangkaalan Alekseeuskaya, Semenanjung Sakhalin. Di samping itu, dipasang pula rudal IRBM tipe SS-20 yang daya jangkaunya 5.000 km. Nah, Soviet tentunya tidak akan puas mengacau Samudra Pasifik - ia ingin pula memasang tampang buruknya di Samudra Hindia. Betapapun, kawasan-kawasan itu secara strategis 'kan berhubungan. * * * Kembali kepada Seychelles, tujuh tahun silam pemerintah negeri itu masih memilih jalan kapitalis. Sekarang, di bawah Presiden Albert Rene, rezim negara kepulauan itu menyatakan dirinya negeri kiri. Sebagian besar penduduknya sendiri tak peduli politik - kiri kek, kanan kek, asal masih diperbolehkan menangkap ikan, dan bergunjing tentang dilarangnya praktek dukun dan terkun. Tentang pemerintah macam apa, sebodo amat. Victoria, ibu kota Seychelles, memang sejenis kedai kopi gunjing dalam ukuran agak besar. Para spion asing pun bagai berlomba datang lebih awal ke kafe Pirates'Arms - sebuah kedai kopi sungguhan - untuk mengumpulkan gosip intel yang paling akhir. Mikhail Orlov, misalnya, bekas kepala KGB di Turki, sering sekali mampir ke Pirates' untuk memesan segelas sari buah di waktu luang, setelah mengawasi pemasangan roket Soviet Grad di bandar udara Victoria. Spion bertubuh besar berpotongan beruang ini menghabiskan sisa waktunya di kedubes Uni Soviet, bangunan sewaan milik teman wanitanya yang pernah menjadi diplomat Inggris. Acap kali seluruh kaum intel dari berbagai penjuru angin itu berkumpul di Pirates' pada pagi yang sama. Sebagian untuk memata-matai rekan seprofesi, yang lain sesungguhnya mau 'ngopi' - karena memang itulah satu-satunya kafe di ibu kota Seychelles. Ian Withers, pemukim London yang berbulu dan berjanggut, yang memimpin operasi intel Seychelles di luar negeri, juga pengunjung tetap di situ. Malah orang-orang Kolonel Qadhafi kelihatannya tidak dilarang singgah minum teh di Pirates'. Hanya agen Korea Utara jarang mengunjungi Victoria dan tidak pernah bergaul akrab dengan penduduk asli. Orang Cina, juga, jarang datang dibandingkan dengan perwira intel CIA yang fasih bahasa Rusia dan seorang Inggris jangkung yang periang - ia ini agen M16. Semua diplomat gadungan ini hanya berkeinginan tahu hal-hal sederhana saja: apa tindakan atau keputusan Presiden Rene minggu ini. Apakah ia akan membiarkan militer AS tetap menempatkan stasiun pengawas yang vital di pulau utama Mahe. Apakah ia akan memperbolehkan Kremlin membangun sebuah pangkalan angkatan laut jika mereka meminta. Apakah Rene sendiri akan mampu bertahan. Apakah menteri ini atau menteri itu sudah kawin lagi (Di sana cinta dan politik berjalin erat). * * * Seychelles sudah berubah - dari sebuah taman firdaus ke sebuah negara yang tidak aman - setidaknya bagi Rene sendiri. Dan untuk semua ini ia punya kambing hitam: Jimmy Mancham namanya, presiden lama yang digulingkannya lewat sebuah kudeta. Orang inilah yang ia persalahkan sebagai biang segala problem pelik yang dihadapinya - terutama sikap Mancham yang beroposisi. Ketika Seychelles merdeka pada Juni 1976, Mancham, politikus playboy diangkat Inggris untuk menduduki kursi presiden. Sedangkan Rene, sosialis teguh, diberi jabatan perdana menteri. "Kedua politikus berbeda sayap itu ahli hukum didikan London dan seteru bebuyutan sejak dari awal," ujar seorang pengacara tentang mereka. "Saya khawatir mereka akan terus main kucing-kucingan, seperti kisah The Mousetrap." Kata-kata itu terbukti. Persengketaan Rene-Mancham yang ganjil menggawat beberapa saat sebelum Union Jack diperosotkan untuk terakhir kalinya pada perayaan pertama menyambut kemerdekaan, Juni 1976. Presiden Mancham yang flamboyant berpetuah kepada warga negaranya: "Kita harus hidup demi cinta kita mesti hidup demi waktu. Jika saya memasuki kediaman Gubernur, tempat itu akan menjadi istana negara yang paling semarak di dunia .... Akan ada pesta saban malam ." Beberapa bulan kemudian Rene menyelundupkan 47 pucuk senapan AK, menyembunyikannya di kebun belakang rumahnya. Dan, ketika Mancham kebetulan berada di London untuk menghadiri pertemuan Commonwealth, kelompok Rene memulai pemberontakannya - dan ternyata pada hari Minggu itu menemukan bangunan-bangunan vital tidak terkawal. Kudeta pun berhasil dengan gemilang, tentu saja. Presiden Mancham kemudian menetap di Pulau Putney - salah satu pulau di Seychelles - sebagai tempat pengasingannya. Hanya tiga orang tewas seorang di antaranya anggota komplotan Rene yang mati tertembak rekannya sendiri. Mancham langsung menuding Rusia mendalangi kudeta itu. Seperti lazimnya orang Seychelles, Rene agak kaku, jarang tampak santai - bahkan jika ia pergi memancing (ikan merah yang disebut bougeois) dengan memakai pakaian gaya Mountbatten warna krem. Perokok berantai - antaranya cerutu Havana - ini mengaku tidak gentar kepada kemungkinan pembunuhan ala Kennedy. Tetapi ia bilang, di dalam negeri saja ia menghabiskan jutaan rupee untuk mempertahankan rezim. "Dalam sepatu sandalku apa yang dapat dilakukan orang?" katanya menyombong. Orang kedua sesudah Rene adalah James Michel, kawan dekatnya, yang dulu bekerja di kantor telepon Seychelles sebelum berkomplot dengan sang presiden kini. "James ikut menyerbu saat itu, dan kami ludes sampai ke rupee terakhir," kata istrinya ketika diwawancarai, "dan sesudah itu tiba-tiba ia menjadi menteri kabinet." Sekarang ini Menteri Michel - tak dikhususkan menteri apa - seperti presiden, dikawal ketat. Rumah kediamannya yang bergaya kolonial dijaga sepasukan patroli yang mengontrol 24 jam penuh. Menteri pertahanan Seychelles adalah Ogilvy Berlouis. Ia orang muda ramping berjanggut yang menyenangi nyanyian Natal. Ia ini mula-mulanya tetangga Michel, dan kini diam di rumah berkolam renang yang tak kurang indahnya. Imbalan yang dituntutkan padanya: Rene mengharuskan Berlouis melapor tiap hari tentang orang-orang yang berkomplot menggulingkannya, di dalam dan luar negeri. "Kami memakai teknologi mutakhir, dan mungkin kami lebih berhasil dari yang pernah dicapai CIA," katanya. Di kantornya tampak tergantung sebuah senapan mesin dengan peredam suara. Senjata panjang otomatis ini sebenarnya hadiah yang dulu diselundupkan ke Seychelles justru untuk dipakai membunuhnya. Masih ada menteri lain (kini sudah tidak lagi), Dr. Maxim Ferrari namanya. Ia ini ginekolog, dan menteri luar negeri sampai saat ia kabur ke Prancis, Oktober tahun silam. Andilnya dalam kup Rene: ia memberikan kepada anggota komplotan pil perangsang (amfetamin biasa) yang mampu memberikan tambahan keberanian. "Sekarang, lebih baik saya tidak ikut serta," katanya di Paris. "Walaupun saya menteri luar negeri ketika itu, Presiden membawa masuk seenaknya serdadu Korea Utara tanpa memberitahukan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak senang cara berbaris tentara-tentara Korea yang bagai itik pulang petang. Negeri ini sedang berubah menjadi Marxis, sementara Rene tidak mau mengatakan pada saya apa yang sedang berlangsung." Di sebuah pulau yang tampaknya setiap orang punya pertalian kekerabatan dengan yang lain, teman Rene, Mario Ricci adalah kekecualian yang mencolok. Ia ini seorang wiraswastawan Italia yang sedikit besar mulut dalam usianya yang 60-an. Ia diangkat jadi diplomat Seychelles - duta besar untuk New York dan anggota organisasi diplomat "Kesatria Malta" di New York pula. Sambil tertawa dan mengurut janggutnya, Ricci berkata tentang dirinya, "Karena saya orang Italia, mereka bilang saya anggota mafia. Benar, saya senang uang. Tapi saya datang kemari karena saya mencintai negeri ini." la adalah eminence grise rezim Rene. Anehnya, sebagai pengikut setia presiden yang berpaham kiri, Ricci justru terang-terangan mengagumi Mussolini. Alasannya kampungan: karena fasis Italia itu mampu mengelola kereta api secara tepat waktu. Entah apa hubungannya, karena di Seychelles sendiri tak ada kereta api. Cara penanganannya yang cenderung boros terhadap perkantoran, perumahan, hotel dan politik dalam negeri, juga kepercayaan Rene kepadanya, menciptakan spekulasi berkepanjangan di Pirates' Arms. Gerard Hoareau adalah tokoh Seychelles yang agak lain. Ia salah seorang penentang utama Rene dan pernah mendukung kembalinya Mancham ke puncak kekuasaan. Ia sempat juga terlibat dalam serangkaian usaha kudeta yang dilakukan seorang perwira Seychelles, Kolonel "Mad Mike" Hoare yang lumayan ganas, pada November 1981. Padahal Hoareau masih terhitung keluarga dekat Rene saudara sepupu istri Rene, Geva. Kini Hoareau bermukim di London. Di ibu negeri Inggris itu ia berkomentar bahwa ia telah mengorbankan dirinya dalam usaha menumbangkan presiden Seychelles. "Mengapa? Tak lain karena ia seorang tiran," katanya. Hoareau, yang pernah bekerja pada Ricci sebelum belajar menjadi pendeta, juga menyatakan bersedia menjadi presiden baru. Tentang ini istri Presiden, saudara sepupunya, bilang, "Gerard gila kuasa." Memang banyak tokoh Seychelles kabur ke Inggris. Rene, yang juga pernah mencoba menjadi pendeta, berkali-kali mengeluh kepada pemerintah Inggris tentang rentetan kasus pelarian tokoh Seychelles ke London. "Tidak ada yang menyuruh mereka hengkang," kata Rene. Tapi ketika ditanya bagaimana dengan Hoareau? "la boleh pulang, tetapi harus diadili karena pengkhianatan." Rene barangkali cuma omong bagus. Ia sering kali melakukan penangkapan begitu saja terhadap penduduk yang berkomplot menentangnya, dan tak pernah mengadilinya. "Saat tiba di Seychelles, kami diceritai bahwa hanya ada seorang tapol di negeri ini yang masih mendekam di penjara. Tetapi di kantor polisi Victoria kami ternyata menemukan empat orang tahanan yang didakwa terlibat komplotan. Mereka dijejalkan ke dalam satu sel," tutur Penrose, wartawan kita, yang datang ke Seychelles bersama. Fotografer Donald McCullin. Si tercuriga sudah ditahan dua bulan. Toh setelah kunjungan Penrose, petangnya tiga orang di antaranya dibebaskan. Perwira polisi berdalih, pelepasan itu hanya kebetulan - bukan karena kedatangan Penrose. Jean Dingwall, satu-satunya tapol yang masih tinggal, dimasukkan bui persis pada saat penyerbuan Kolone Hoare. "Saya cuma teman Hoareau. Saya kenal kolonel itu di Afrika Selatan, pada suatu santap siang di Hotel Hilton," ia mengaku. "Kemudian sayL pulang ke Seychelles, dan memang menunggu hasil kaum penyerbu se perti yang diceritakan Hoare. Ternya ta gagal." Tentu saja, dengan versi itu Dingwall berkeras tidak terlibat. Ia cuma tahu rencana Hoare. Rene dan Berlouis berkata, Dingwall ikut berkomplot. "Yang ingin dilakukan Dingwall ialah mendapatkan orang-orang yang pernah bergabung dengannya dalam pemberontakan militer dua tahun sebelumnya, lalu melatih mereka," kata Rene. "Direncanakan dimulai dengan demonstrasi, menembaki polisi, dan mengobarkan pemberontakan yang lebih besar. Saya tahu apa yang harus dilakukan terhadap si Dingwall itu ! Barangkali ia sebaiknya diemigrasikan saja ke Australia." Tapi Dingwall bilang, ia lebih suka tinggal. Siapa tahu kekuasaan berganti. "Nyatanya, sejumlah pembangkang yang 24 jam berusaha mengganyangku tidak membawa pengaruh apa pun," ujar Rene sesumbar sambil mengusap rambutnya yang keriting. "Tetapi orang-orang tak berdosa yang kena getahnya. Mereka menyulut ledakan di sini, membakar di sana, membuat huruhara kecil di tempat lain, sedangkan dalangnya duduk di belakang layar." * * Rene kini mengeluarkan dana tambahan - diambil dari anggaran spionase luar negerinya - untuk menanggulangi setiap percobaan kudeta. Delapan tahun yang lalu ia menginginkan Inggris meminjamkan satuan intel M16 untuk memata-matai kaum pembangkangnya di luar negeri. Juga bantuan keamanan dari dinas rahasia itu untuk mengawal pantai-pantai dan bandar udara negeri kepulauan ini. Tapi pemerintah London menolak permintaan itu. Inggris hanya memberikan bantuan dana untuk keamanan - itu pun berkurang terus, terutama setelah Seychelles berubah menjadi negara satu partai. Toh badan intel Inggris ingin pula memata matai perkembangan keadaan negeri lewat kedai kopi Pirates' Cafe itu juga. Yang ini untuk kepentingan Inggris sendiri. Tahun 1978 Rene berpaling ke Prancis - juga minta bantuan dinas rahasia Prancis menjawab dengan mengirimkan Jacques Chevalreau, seorang perwira intel, juga sebuah kapal patroli dan 12 anggota angkatan laut untuk melatih penduduk dan pelaut Seychelles. Tetapi Chevalreau belakangan menjadi teman Kolonel Hoareau yang saat itu menjabat kepala imigrasi Seychelles. Kisahnya, pengkhianatan itu terungkap 1979. Kedubes Rusia menyerahkan kepada Rene "bukti", berupa kaset tentang adanya kudeta yang didukung tentara asing - Prancis. Bukti itu ditambahi pula dari sinyal kapal AL Prancis yang bisa disadap kapal Marsekal Woroshilov. Dari situ, konon, diketahui bahwa para pelaut Prancis akan berperan sebagai pemelihara perdamaian setelah kudeta dilakukan. Rene, sesudah informasi itu, tergopoh-gopoh minta bantuan AL Inggris. Tetapi Deparlu Inggris berdalih: kapal-kapal perang mereka terlalu jauh untuk bisa sampai pada saat yang diperlukan. "Saya pikir, kita bilang saja kapal yang terdekat berada di Gibraltar," kata seorang diplomat Inggris menanggapi. Pada kenyataannya, tidak satu pun kapal Prancis dan serdadu asing penyerbu yang nongol waktu kudeta dilancarkan. Alasannya lucu: kapalnya bocor lebih dahulu di pelabuhan Mombasa. Rene langsung ambil tindakan. Chevalreau, para pelaut Prancis, dan 81 orang Seychelles ditahan tanpa diadili. Hoareau kemudian mendekam hampir setahun di penjara, sambil memeras otak bagaimana bisa membalas dendam. Sejak itu, orang menganggap riskan untuk berkomplot menggulingkan Rene - walaupun sekelompok penentang tetap mencoba, kali ini dengan bantuan orang-orang Inggris. Karena itu, Inggris semakin teguh pada penolakannya untuk memberikan bantuan pengamanan dinas rahasia. Seorang pejabat mengingatkan bahwa agen-agen rahasia itu mungkin saja bisa berbalik membantu kudeta. Namun, pada 1979, konon seorang staf Rene pernah melihat pada lembaran kuning buku telepon tercantum "agen detektif", dari perusahaan spionase Intercity Reliant. Mereka didaftar dengan nomor teleks. Rene tertarik. Ian Withers, 43, agen rahasia perusahaan spion swasta itu, kemudian menerima teleks penting dari ibu kota Seychelles. Perusahaannya diminta mendaftar orang-orang Seychelles dan mengawasinya. Beberapa minggu kemudian lan diminta pula memberikan nasihat kepada pemerintah Seychelles tentang cara terbaik untuk mempertahankan bandar udara yang berada di luar Victoria. "Withers, dan usahanya, akhirnya menjadi badan intel luar negeri Seychelles selama lima tahun," kata dubes AS di Seychelles David Fisher. "la tampaknya berhasil melacak orang-orang yang ingin mendongkel Presiden. Paling tidak CIA berpendapat demikian. Saya tentu senang bisa bertemu dia. Orang itu bikin intrik tentang diriku." Withers memberikan kepada Rene perincian lebih jauh tentang kup Hoare "Mad Mike", yang berawal pada gegernya pejapat bea & cukai bandar udara Seychelles, ketika memergoki sepucuk senapan AK-47 mencuat dari sebuah tas yang dibawa segerombolan tentara bayaran yang mengaku sebagai pemain rugby. Sejak itu orang-orang Withers menguntit para serdadu bayaran dan parapengikut Hoare, orang-orang MPR (Mouvement Pour La Resistance) di seluruh dunia. Dan terungkaplah ini: Afrika Selatan dan Kenyalah yang memberikan bantuan keuangan dan persenjataan untuk mencopot Rene dari kursinya. Para pembangkang MPR merundingkan rencana mereka di London Carlton Tower Hotel di Kensington, Afrika Selatan, Oktober 1982. Pertemuan rahasia ini ternyata bocor. Padahal, brosur hotel menjanjikan kepada para tamunya bahwa mereka "dapat mendiskusikan hal-hal paling penting di meja makan di dalam kamar suite yang paling luks, sementara keamanan hotel akan menjamin kerahasiaan yang penuh". Hoareau dan orang-orangnya, yang datang ke Carlton Tower dan berunding selama tiga minggu, tidak tahu bahwa Mario Ricci, sahabat Rene, ternyata teliti dan cermat dalam menghitung kemungkinan kup. Ricci, yang membayar sewa semua kamar hotel, hati-hati menyadap semua pembicaraan - dan mendengarkan rencana MPR. Withers pun tak ketinggalan, dan - dalam jam-jam berikutnya - bahkan Rene ikut mendengarkan. Mereka yang berkomplot terperanjat bukan buatan ketika tahu bahwa serdadu bayaran mereka dengan mudah diberangus. Setelah berhasil memerangkap musuh-musuh Rene selama masa dinas lima tahun, Withers makin dipercaya - makin mendapat "order". Beberapa pelarian kini dapat mengenali Withers yang menguntit mereka dalam suatu jarak tertentu. "Kami memergoki mereka mengikuti mobil kami," kata Hoareau, "dan saya pernah melihatnya sekali di Paris di hotel yang kuinapi." Mancham, juga, menuduh Withers menyadap telepon rumahnya, hal yang dibantah Withers. Para diplomat di Victoria berkata, kekhawatiran Rene akan kudeta dapat dipahami sepenuhnya. Malah seorang diplomat Amerika berpendapat, "Saya tidak yakin ia mampu bertahan lebih lama." Di kedubes Inggris, yang berjarak satu lantai, para diplomat juga sepakat dengan rekannya dari AS itu. "Oh, saya yakin Presiden akan tertungging," kata salah seorang. Sejalan dengan pendapat-pendapat itu, Rene yakin, CIA bergiat untuk membikin keadaan negerinya tidak stabil. "Ketika turisme menggalak seperti sekarang ini, dan ekonomi membaik, usaha itu akan dimulai lagi," tuturnya. "Saya hanya tidak tahu bagaimana harus meyakinkan Presiden bahwa kami mendukung dia," kata dubes AS. "Kami tidak sepaham dengan kampanye MPR." "CIA mencoba mencekoki sejumlah orang muda kami," ujar Presiden berulang-ulang. "Dubes Prancis juga ikut campur tangan." "Tai!" umpat seorang perwira CIA, yang membantah ia bekerja untuk CIA. "Kami hanya memutar beberapa film tentang Amerika. Sialan, dituding bertanggung jawab terhadap ketidakpopuleran Presiden di antara segelintir orang sini. Dalam pemilihan presiden yang terakhir, yang calonnya cuma Rene sendiri, tunggal, 92,7 persen pemilih dilaporkan memilih dia. "Westminster bukan satu-satunya jalan. Kami telah membuat kemajuan di bidang perumahan, pendidikan, dan ada tiga puskesmas gratis di sini. Di Inggris, saya harus membayar," Presiden berkomentar. "Jika nantinya ada pemilihan yang bebas, kukira barangkali Rene hanya akan memperoleh 30%suara," ujar pendeta Katolik Roma di Victoria, Felix Paul. "Mengapa?" tanyanya sendiri. "Soalnya, banyak orang yang shock karena menganggap Rene tidak memperlakukan istrinya dengan baik. Dan ada ketakutan membuka mulut di sini. Popularitas Presiden sangat rendah sekarang." * * * Seychelles adalah suatu kawasan yang paling sedikit 30% rakyatnya lahir secara tidak sah. Gereja, karena itu, menyelenggarakan baptis untuk anak-anak yang lahir di luar nikah pada Jumat, di samping hari Minggu. "Karena hampir setiap orang memiliki kaitan kekerabatan dengan lainnya, hampir tidak ada rahasia di sini," ujar Felix Paul. Pendukung MPR di negeri itu mencanangkan, mereka mempunyai sejumlah pengikut di lapisan masyarakat yang punya kebudayaan "kumpul kebo" itu. Toh "bila bertemu dengan wartawan luar, mereka menghindar," tutur Roy Dias, seorang pengusaha setempat yang agaknya kurang maju bisnisnya. Sementara itu, para mahasiswa mengaku, mereka diindoktrinasi para pengajar Kuba dan Rusia di perguruan politeknik di pedalaman pulau. "Orang Korea Utara bahkan mengajari kami bagaimana berjalan seperti angsa," tukas seorang gadis, sinis. "Anak-anak menyebutnya berjalan cara komunis," tambah yang lain. Dan setelah Penrose menemui Dias, dan mewawancarainya, pengusaha itu ditangkap polisi dengan tuduhan mabuk-mabukan. Akhir-akhir ini Partai Kemajuan Rakyat Seychelles melancarkan program penyiaran umum. Bahannya dikopi begitu saja dari wejangan Marsekal Kim ll Sung (Korea Utara). Usaha ini dimaksudkan untuk menghapus citra kaku Rene. Di kalangan tentara dan organisasi pemuda disebarkan poster-poster tentang kebajikan mengikuti dan mengagumi pemimpin. "Ketika saya melihat paham kultus individu dilancarkan, saya berkata pada diri sendiri, celaka sudah," ujar Dr. Ferrari, menlu dalam pembuangan. "Sejumlah orang, termasuk saya, mulai khawatir akan nasib Seychelles." * * * Di Pirates'Arms kepergian Dr. Ferrari bukan lagi berita. Sebuah kapal Yunani tiba, dan sebuah kapal Prancis masuk dok. Seorang gadis creolemeraih sebuah gelas, lalu menghirup tuak. Seorang dokter yang baru datang dari Amerika mengutarakan kekecewaannya, karena gagal meyakinkan penduduk bahwa ia lebih baik dari dukun kampung dan puskesmas setempat. Sementara itu, kaum diplomat, pada meja yang terpisah, meneruskan kekhawatirannya tentang apa yang sedang dilakukan Presiden Rene di "puncak" sana. Akan selamat, atau mampukah ia terus bertahan malam itu? Atau barangkali sedang lari?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini