HAKIM Djauti Purba dari Pengadilan Negeri Padangsidempuan akhirnya menyerah kepada kemauan polisi di daerah itu. Hakim itu terpaksa menggugurkan sidang praperadilan yang ditanganinya. Keputusan itu diambilnya setelah dua bulan ia bersitegang dengan polisi, karena kapolres Tapanuli Selatan, Letkol Ansyar Roem, menolak diajukan ke praperadilan. Dengan muka merah padam, ia mengambll keputusan penting itu, Senin pekan ini, dan segera meninggalkan gedung pengadilan. Ansyar Roem digugat ke praperadilan oleh bekas tersangka yang sempat ditahannya dua hari dua malam, Ramlan Lubis. Polisi menangkap Ramlan dengan tuduhan merampas kendaraan Syarifuddin Situmeang. Tapi ternyata, Ramlan mengambil mobil itu atas perintah majikannya, seorang penyalur mobil secara kredit, Haji B.P. Ritonga. Sebab, Syarifuddin tidak melunasi cicilan mobil itu. Ramlan yang kemudian dibebaskan merasa dirugikan, karena selain ditahan ia mengaku disiksa polisi di tahanan. Melalui Alifuddin dari LBH Medan, Ramlan menuntut polisi ke praperadilan. Tapi ternyata tidak mudah mengajukan kapolres sana ke praperadilan. Wakil Ansyar di sidang, Letnan Dua Hasanuddin, menolak diadili, dengan alasan belum melihat izin praktek Alifuddin, yang di pengadilan itu diwakili Pengacara Adamsyah. Polisi tetap ngotot tidak mau disidangkan, walau Djauti, yang telah mengecek ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, meyakinkan bahwa Alifuddin mempunyai izin praktek. Akibatnya, praperadilan itu terpaksa tertunda sebulan. Januari lalu, untuk kedua kalinya Djauti dikocok Ansyar. Pada sidang kedua itu, permintaan polisi untuk melihat izin praktek pengacara dipenuhi Hakim. Tapi pihak polisi tetap tidak bersedia disidangkan. Kali ini hamba hukum itu memberi alasan, praperadilan itu telah gugur sesuai dengan KUHAP, karena melewati waktu tujuh hari. Pihak polisi, yang diwakili Hasanuddin, hanya bersedia disidangkan bila sudah mendapat petunjuk kapolri. Akibatnya, lagi-lagi Djauti terpaksa mengundurkan sidang. Sampai ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Yus Mukmin Siregar, menyalahkan sikap anak buahnya yang tidak tegas itu. "Seharusnya, perkara itu diputuskan saja oleh Djauti, walau polisi bungkam. Sebab, hakim berwenang untuk itu," kata Yus. Sebulan kemudian, akhir Februari lalu, kembali Djauti membuka sidang. Untuk kesekian kalinya, polisi menolak diadili. Dua orang wakil Kapolres di sidang itu, Serda M. Yakuh Harahap dan Sertu Timbas Ginting, menolak menjawab pertanyaan hakim. "Petunjuk kapolri belum datang, Yang Mulia," ujar mereka di sidang. Djauti mencoba tidak peduli. "Jika tidak mau diperiksa, itu hak Anda. Tapi saya tidak sudi sidang ini terkatung-katung," ujar Djauti sambil mempersilakan kuasa Ramlan, Adamsyah, membacakan tuntutannya. Hakim itu merasa yakin bahwa praperadilan itu masih sah. "Jangankan tujuh hari, sehari pun sidang belum jalan," kata Djauti mantap. Hakim itu malah menyatakan wewenangnya untuk mengadili polisi. "Di sidang, hakim yang berkuasa, bukan polisi," katanya kepada TEMPO. Di sidang pekan lalu, Ramlan pun mengungkapkan kembali kisah penahanan atas dirinya. Ia mengaku dipukuli, ditinju, dan ditempeleng beberapa orang oknum polisi di tahanan. "Kaki saya membiru, kepala benjol-benjol, dan kuping saya berdarah," ujar Ramlan, yang mengaku begitu keluar dari tahanan langsung masuk rumah sakit. Sebab itu pula Adamsyah menuntut polisi membayar ganti rugi Rp 7.500 untuk setiap hari penahanan tidak sah itu kepada kliennya. Selain itu, ia meminta ganti rugi sebanyak disebut di atas untuk setiap hari kerja sejak ia ditahan sampai putusan pengadilan. Untuk pencemaran nama baik, Adamsyah hanya menuntut uang ganti kerugian sebesar Rp 6.666. "Sebab, dia' hanya orang kecil, dan angka itu saya dapatkan di dalam salat," ujar Adamsyah mengomentari angka yang mirip jumlah ayat di Quran. Semua tuntutan itu tidak dijawab oleh kuasa polisi. "Bukan kami tidak mau menanggapinya, tapi kami belum mendapat petunjuk kapolri untuk itu," ujar Yakub di sidang. Djauti pun tidak hendak menyerah. "Terserah Anda. Tapi perkara ini akan saya putuskan dalam waktu tujuh hari ini juga," kata Diauti. TAPI sepekan kemudian, Djauti, entah kenapa, berubah. Ia tiba-tiba menggugurkan sidang yang semula diyakininya sah itu. Alasannya, pembela lalai menunjukkan izin prakteknya. Hampir semua pengunjung sidang melongo mendengar putusannya. Adamsyah pun tidak sempat bertanya lebih lanjut, karena Djauti buru-buru meninggalkan sidang. Sebab itu, Pengacara Adamsyah menuduh haklm itu takut pada polisi. "Kalau mau digugurkan, seharusnya dari Desember dulu sidang ini sudah gugur," kata Adamsyah. Bukan hanya Adamsyah yang bingung. Yus Mukmin Siregar, ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, malah terperangah. "Saya secara pribadi tidak setuju putusan itu. Sebab, putusan itu tanpa dasar hukum," ujar Yus. Apalagi, sebelumnya, ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Djazuli Bachar telah merestui persidangan yang dipimpin Djauti itu dilanjutkan. "Dalih polisi menunggu petunjuk kapolri itu hanya dikarang-karang saja oleh polisi di Padangsidempuan," kata Djazuli Bachar, yang sebelumnya mengaku sudah mengontak sejawatnya di Polda Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini