Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat dari Tepi Laut

Pantai-pantai di Indonesia tidak hanya menawarkan pemandangan yang indah dan panorama bawah laut yang cantik. Di sana kita bisa mendapatkan ribuan cerita tentang masyarakat yang hidup dan bersahabat dengan samudra.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECANTIKAN pantai-pantai di Indonesia tak terbantahkan lagi. Tapi edisi khusus ini tidak sekadar memajang cerita tentang pasir putih, air jernih berkilauan, terumbu karang warna-warni, ikan aneka ukuran berenang ke sana-kemari, atau jingga matahari petang di cakrawala.

Ada hal lain yang patut diceritakan dari negeri bahari ini, yaitu tentang masyarakat yang tinggal di sekitar pantai. Ini cerita tentang manusia pesisir dan laut, sumber utama kehidupan mereka.

Cerita di seputar pantai jarang diangkat dalam tulisan wisata. Kebanyakan tulisan travel hanya mendeskripsikan keindahan alam, yang sebenarnya sudah diwakili oleh foto atau video. Padahal cerita tentang manusia sebenarnya merupakan pembeda utama antara satu pantai dan pantai lainnya.

Pendekatan berbeda ini selalu kami lakukan setiap kali menerbitkan edisi khusus wisata sejak dua tahun lalu. Edisi semacam ini kami dedikasikan kepada pembaca agar bisa menjadi panduan mencari tujuan perjalanan alternatif—siapa tahu Anda bosan dengan tujuan "yang terlalu mainstream" seperti Bali, Lombok, Singapura, Eropa, atau Amerika Serikat.

Pada edisi khusus wisata dua tahun lalu, kami menampilkan 100 surga tersembunyi. Ketika itu Tempo mencari kisah manusia yang tinggal di gunung, tepi danau, desa-desa di tepian sungai, hutan, bahkan gua. Tahun lalu, edisi wisata menyajikan tulisan tentang makanan. Kami mengungkap antropologi kuliner Indonesia: bagaimana sejarah, perdagangan rempah, penjajahan, kekuasaan raja, agama, dan budaya mempengaruhi lidah kita. Makanan bukan sekadar melewati kerongkongan kita, melainkan juga melalui lorong sejarah.

Pendekatan yang sama kami harapkan bisa mengungkap sesuatu yang baru di balik keelokan pantai-pantai Nusantara. Kami memilih sembilan pantai "mewakili" ribuan lainnya di seluruh Tanah Air. Tentu saja kami tetap mendasarkan pilihan pada keindahan tempat-tempat itu. Foto panorama ciamik dapat Anda nikmati di edisi ini. Pembaca edisi digital bahkan bisa mengklik video hasil rekaman anggota tim peliput.

Sembilan pantai jelas tidak mewakili untuk Indonesia yang memiliki 99 ribu kilometer lebih garis pantai. Tapi ini bukan soal statistik, melainkan perjalanan jurnalistik untuk menggali cerita dari pantai. Cerita tentang manusia juga budaya bahari yang berkembang di sana.

Di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, para nelayan tradisional begitu menghormati laut. Mereka tidak memakai racun atau bom karena menganggap laut sebagai tempat yang sakral. Pensakralan laut ini bahkan melahirkan bahasa.

Di darat, nelayan Sangihe menggunakan bahasa daerah Sangir. Ketika melaut, mereka memakai bahasa khusus bernama Sasahara. Mereka yakin, laut adalah tempat khusus dan, karenanya, perlu perlakuan khusus. Seperti ketika orang-orang Jawa bertamu ke keraton, nelayan Sangir datang ke laut dengan ketakziman, ritual, serta bahasa yang sopan.

Cerita di Kepulauan Kai, Maluku Tenggara, tak kalah menarik. Pada awalnya laut memisahkan para penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Namun para leluhur mereka sadar, perang laut tak boleh terus dikobarkan. Lalu mereka membuat tujuh sila yang dinamakan Larwul Ngabal. Aturan adat yang sangat luhur ini antara lain mencantumkan penghormatan pada laut dan perempuan. Mereka juga menerapkan sasi atau penggiliran ketika menangkap ikan. Tujuannya, laut memiliki waktu untuk "merestorasi" kandungannya.

Tidak semua masyarakat di tempat yang kami kunjungi memelihara budaya bahari tradisional. Modernisasi dan agama banyak memberi pengaruh baru. Meski demikian, ada tren munculnya kesadaran baru dalam menjaga laut. Hal itulah yang kami temui di Meosmangguandi, Biak, Papua, dan di sepanjang pantai selatan Malang, Jawa Timur.

Di kedua tempat tersebut, kesadaran untuk menjaga laut muncul dalam 20 tahun terakhir. Meski tak mensakralkan laut, mereka "menghormati" laut dengan cara yang lebih modern. Ada kesadaran bahwa jika tak dijaga, laut tak lagi memberi penghidupan kepada mereka.

Di beberapa pantai di Malang, jumlah wisatawan dibatasi. Para perenang dengan snorkel diminta memakai pelampung agar kaki mereka tak menginjak terumbu karang. Hutan mangrove pun dihijaukan kembali.

Cerita lain yang menarik adalah petualangan menuju tempat-tempat tersebut. Praga Utama dan fotografer Eko Siswono terguncang-guncang selama dua jam di laut Kai. Wayan Agus Purnomo dan fotografer Subekti memegang setang sepeda motor kuat-kuat ketika berkelok-kelok di jalanan Adonara, Nusa Tenggara Timur.

Petualangan paling menarik dirasakan oleh Purwanto Setiadi dan fotografer Rully Kesuma di Banyuwangi. Mereka menggowes sepeda sepanjang lebih dari 100 kilometer dari kota hingga hutan di Taman Nasional Meru Betiri. Jalanan tak selamanya mulus. Di Taman Nasional, mereka harus berjibaku dengan jalanan tanah berdebu.

Kami tidak memilih pantai di Sumatera dan Kalimantan dengan alasan teknis. Penyebabnya, saat liputan pada Oktober lalu, asap dari kebakaran hutan pekat menyelimuti sebagian besar wilayah itu. Liputan ke sejumlah pantai di Sumatera, seperti Anambas, kami batalkan. Asap tipis masih bisa kami lihat di Sangihe. Hutan yang kecokelatan juga tampak di berbagai daerah yang kami kunjungi. Untungnya, kabut tipis itu tak terlalu mempengaruhi keindahan alamnya.

Kami berharap edisi khusus kali ini bisa menjadi panduan dalam memilih tempat berwisata yang jarang dikunjungi turis. Karena itu, kami melengkapi tulisan dengan cara menuju, tempat menginap, makan, atau berbelanja di tempat-tempat tersebut.

Selamat merencanakan liburan yang asyik!


------
Penanggung jawab: Budi Setyarso Pemimpin proyek: Qaris Tajudin Penulis: Praga Utama, Wayan Agus Purnomo, Qaris Tajudin, Nurdin Kalim, Agoeng Wijaya, Purwanto Setiadi, Anton Septian, Mustafa Silalahi, Gadi Makitan. Penyunting: Budi Setyarso, Qaris Tajudin, Idrus Shahab, Philipus Parera, Seno Joko Suyono, Tomi Aryanto, Yos Rizal Suriaji. Periset foto: Nita Dian, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama, Ijar Karim. Fotografer: Eko Siswono Toyudho, Subekti, Amston Probel, Tony Hartawan, Rully Kesuma, Dian Triyuli Handoko, Aditia Noviansyah, Nita Dian, Dhemas Reviyanto. Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Tri Watno Widodo Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus