DI jakarta, polisi berhasil menyita 1 kg heroin murni dan 1,5 kg candu. Keduanya berharga milyaran rupiah. Tapi hasil geledahan pada bulan lalu itu masih terhitung sedikit dibanding yang pada tahun 1979 (2 kg), 1980 (5 kg), dan 1982 (9,5 kg). Tak semuanya dimaksud untuk dipasarkan di Indonesia. Seperti pernah dikemukakan pihak polisi, Indonesia adalah daerah transit bahan narkotik. Yakni dari wilayah penghasil di Daratan Asia ke Benua Australia - lewat jalur Kuala Lumpur-Medan-Bali. Sebagai daerah persinggahan, tak boleh tidak, lintasan Medan-Bali itu terutama - kecipratan juga bahan candu-canduan itu, dengan ukuran besar kecilnya menurut volume yang diperdagangkan. Dilihat dari angka formal, jumlah pemakai zat narkotik secara gelap di sini relatif masih kecil. Menurut sumber kepolisian, kini tercatat hampir 9.000 orang - dengan bagian terbesarnya, sekitar 7.000, berada di Jakarta. Tapi seperti pernah dikemukakan Kolonel Polisi Ny. J. Mandagie, wakil komandan Satuan Utama Reserse Narkotik, masalah candu-canduan itu ibarat gunung es: cuma sedikit yang mencuat ke permukaan. Itu sebabnya dipergunakan dalil ini: di sisi seorang pecandu yang diketahui terdapat sepuluh rekannya yang tidak terungkap. Karena itu, jumlah pengidap bisalah diperkirakan mencapai 90.000 orang atau sekitar itu. Dari jumlah ini, sekitar 20% merupakan pemakai heroin serta morfin, dan sisanya terutama pengidap ganja. Jika dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang 150 juta lebih, jumlah hamba candu itu memang relatif masih kecil - hanya 0,06% dari seluruh penduduk. Negara Asia Tenggara lainnya masih lebih parah. Singapura, misalnya, yang program pemberantasan narkotiknya cukup hebat, sempat menekan jumlah "umat" itu dari 13.000 hingga sekitar 6.000. Namun mereka masih merupakan 0,24% dari penduduk yang 2,5 juta. Hong Kong mencatat 40.000 pecandu, atau 0,8% dari sekitar 5 juta warganya. Muangthai memperkirakan jumlah mereka mencapai 6.00.000 orang, atau 1,2% dari penduduk yang hampir 50 juta. Tapi yang paling menonjol Malaysia. Negeri multirasial itu pernah melaporkan jumlah 400.000 pecandu. Berarti 2,6% dari penduduk yang hampir 15 juta. Sumber utama tradisional bagi candu dan turunannya - seperti morfin dan heroin - ialah wilayah yang dijuluki Segitiga Emas. Hamparan berbukit bukit seluas 18 juta hektar itu mencakup RRC bagian selatan, Burma bagian timur laut, Laos bagian barat, dan Muangthai bagian utara. Di sini sekitar 3-4 juta penduduk suku asli mencari nafkah dengan menanam candu, serta menghasilkan sekitar 500 hingga 600 ton per tahun. Selama Perang Vietnam berkecamuk, produksi bahan narkotik di Segitiga Emas itu berkembang pesat. Tapi ada yang terjadi ketika perang usai. Peranan Segitiga Emas digantikan oleh wilayah yang disebut Sabit Emas: Afghanistan-Pakistan-lran. Akibat direbutnya pasar Segitiga Emas seperti di Eropa dan Amerika, luapan produksi daerah tradisional lama itu lalu terpaksa mencari pasaran baru: Asia dan Australia. Itulah ceritanya mengapa jalur KL-Medan-Bali jadi makin penting. Kini heroin dari Segitiga Emas memenuhi tiga perempat kebutuhan para pengidap di Asia Tenggara. Dari seluruh produksi tahun lalu yang sekitar 400 ton, 32 ton dihasilkan di wilayah Muangthai, 50 ton di Laos, dan sisanya di wilayah Burma dan RRC. Tahun lalu itu produksi memang rendah, akibat musim kemarau berkepanjangan. Tapi, menurut para ahli narkotik di Bangkok, tahun ini produksi mereka diperkirakan 600 ton. Separuh dari jumlah itu dipakai sendiri oleh penduduk yang menanamnya, sisanya diolah menjadi morfin dan heroin. Raja produksi candu di Segitiga Emas itu seorang panglima Shan-Paluang. Namanya Jan Si-Fu, tapi lebih terkenal sebagai Khun Sa. Dialah tokoh berbagai kegiatan hitam yang legendaris, konon. Pada tahun 1970, Khun Sa mulai merebut monopoli produksi candu dari tangan gerombolan sisa tentara Kuomintang, setelah mengusir mereka dengan kekuatan 3.000 anggota pasukan "Shan Serikat". Lalu, pada tahun 1977, Khun Sa mendirikan pusat kegiatannya di Ban Hin Taek, Provinsi Chiang Mai, Muangthai Utara, hanya beberapa kilometer dari perbatasan Burma. Pusat itu ia jadikan suatu benteng yang hampir tak mungkin ditaklukkan. Tapi pada tahun 1982 - agaknya di bawah tekanan Amerika Serikat - tentara Thai berhasil merebut benteng itu dalam suatu pertempuran yang membawa korban puluhan orang. Sayangnya, tak satu gram pun candu ataupun heroin ditemukan. Dan Khun Sa sendiri, selang beberapa bulan, sudah kembali beroperasi - kali ini didukung sepasukan kecil bangsa Lahu. Bersama mereka itu ia membangun benteng baru di wilayah Burma, juga hanya beberapa kilometer dari perbatasan Muangthai. Dengan pasukannya, yang kini berjumlah 1.400, dibantu sejumlah panglima lain di wilayah itu, Khun Sa kembali menyusun jaringan operasi candu sambil bertahan terhadap berbagai upaya blokade dan serangan dari pihak polisi perbatasan dan tentara Muangthai. Tapi sebenarnya ada yang menguntungkan mereka: baik pemerintah Rangoon maupun Bangkok lebih cemas menghadapi kegiatan komunis di perbatasan itu ketimbang problem zat narkotik Khun Sa. Bahkan sering panglima candu seperti Khun Sa itu dipandang sebagai sekutu yang sangat berguna dalam upaya pemberantasan pasukan komunis. Ini tentu kenyataan unik: pertimbangan ketahanan nasional secara politis seakan-akan menjamin kebebasan gerak banyak raja candu. Syukur, kepentingan negara-negara industri konsumen terpenting narkotik - agaknya ikut menentukan efektivitas penanggulangan yang ditempuh suatu negara di Dunia Ketiga. AS, misalnya, terang-terangan mendukung kebijaksanaan bank internasional yang menjadikan program suatu negara dalam penanganan masalah narkotik sebagai kriteria untuk memberikan pinjaman. Sudah sering terbukti, faktor penanggulangan narkotik itu mempengaruhi sikap AS dalam hai bantuan ini menurut majalah South edisi Februari. Soalnya, menurut pandangan AS - dan beberapa negara industri lainnya - cara pemecahan terbaik masalah narkotik ialah dengan membasminya, atau paling sedikit mengawasi peredarannya, di sumber penyediaannya sendiri. berkata menlu AS, George Schultz, "Obat ilegal mesti dikendalikan di sumber asalnya." Menurut Schultz, 90% bahan narkotik yang beredar secara gelap di AS berasal dari luar negeri Lalu, bersama sejumlah negara Barat lainnya, AS memberikan bantuan bagi program penanggulangan yang memang searah dengan gagasan itu. Di bawah tekanan para pejabat pemberantasan narkotik AS, pemerintah di wilayah penanam candu dan koka, seperti di Amerika Selatan dan Asia, terpaksa menyetujui berbagai program penggantian jenis tanaman. Hanya saja, umumnya program penggantian tanaman itu tak pernah lancar - seperti sudah terbukti di Iran, Turki, dan Libanon - karena selalu kekurangan dana. Lebih parah lagi, program penanggulangan itu bukan merupakan bagian terpadu suatu strategi pembangunan nasional, di samping mengabaikan dampak sosial, politik, dan logistik bagi negara yang bersangkutan. Jangan lupa, tanaman narkotik itu umumnya milik kelompok masyarakat tradisional seringnya minoritas etnis - yang hidup dalam keadaan miskin dan terpencil. Dusun-dusun mereka biasanya sukar dijangkau atau dikendalikan oleh pemerintah pusat. Di Muangthai, misalnya, para penguasa enggan menyateroni suku-suku pegunungan di Segitiga Emas itu - misalnya dengan menyemprot tanaman mereka dengan zat pembasmi, atau dengan cara membakar perkebunannya, yang sebenarnya bisa mereka lakukan. Soalnya, ada kekhawatiran kalau kalau akibat tindakan seperti itu penduduk setempat lantas berpihak pada kaum komunis, yang justru berada di sekitar atau tak jauh dari mereka. Tidak dijelaskan apakah justru bukan kaum komunis yang langsung atau tak langsung menginginkan penyebaran candu ke negeri-negeri nonkomunis, di samping - siapa tahu - mendapat semacam upeti dari para penanam di dusun-dusun terpencil itu. Pokoknya, sumber candu tak banyak terusik. Dan, betapapun, pembasmian total sumber produksi di Muangthai itu hanya akan melenyapkan sekitar 10% masalah penyediaan bahan narkotik. Soalnya, 90% candu dari wilayah Segitiga Emas kebetulan berada di luar wilayah Muangthai. Karena itu, sasaran pemerintah Muangthai lebih ditujukan ke pembatasan peredaran dan pemakaian di dalam negeri. Sejak 1979, siapa saja yang terbukti memiliki 100 gr atau lebih heroin dikenai hukuman mati. Undang-undang juga membenarkan penyitaan seluruh harta milik pedagang bahan narkotik yang telah divonis bersalah. Karena peredaran candu selalu berada di bawah pengawasan ketat, masuk akal kalau candu mentah kemudian diolah di tempat aslinya menjadi heroin yang lebih mudah pengangkutannya dan jauh lebih kecil ukurannya. Apalagi, di pasaran, heroin juga lebih menguntungkan. Pembuatannya pun tak memerlukan keterampilan khusus atau pengetahuan tekn!s yang tinggi - hingga pabrik pengolahan heroin pun bermuncul di sepanjang perbatasan timur laut Pakistan dan perbatasan Muangthai-Malaysia. Para umat candu pun ikut saja: cenderung beralih ke pemakaian obat baru yang relatif murah dan pasti mudah diperoleh: heroin. Gejala ini pertama kali terlihat di Muangthai. * * * Menurut Dr. C.P. Spencer dan Dr. T. Navaratman - dari Proyek Penelitian Nasional Ketergantungan Obat Narkotik di Malaysia - 65% produksi heroin sedunia kini dipakai di Asia. Kedua peneliti itu berpendapat, kendati ancaman hukuman makin lama makin berat, penyalahgunaan heroin tetap saja meningkat di kalangan remaja Asia dengan kecepatan yang mencemaskan. Umumnya, orang beranggapan bahwa itu terutama menghinggapi kelompok masyarakat paling miskin, yang tak banyak mempunyai peluang dalam hidup. Penelitian Spencer dan Navaratman membuktikan sebaliknya Survei atas anak,sekolah menengah di tiga negara bagian di Malaysia membuktikan, penyalahgunaan bahan narkotik itu melampaui segala batas sosial dan ekonomi. Ini agaknya mendukung kesimpulan suatu penelitian terbatas di Indonesia - berdasarkan data yang dikumpulkan di Wisma Pamardi Siwi, suatu pusat rehabilitasi remaja yang kecanduan narkotik. Jumlah terbesar anak-anak di Pamardi Siwi justru berasal dari keluarga yang status sosial dan ekonominya tergolong sedang, cukup, dan baik. Kurang dari 5% yang berasal dari kelompok status sosial yang kurang. Di Pakistan pun semakin banyak bukti tentang penyalahgunaan obat di kalangan menengah: para ibu rumah tangga di daerah perumahan di luaran kota, sebangsa Depok untuk Jakarta, dan lebih meluas lagi di kalangan kaum muda dan remaja. Di Malaysia, sebaliknya, didapatkan bahwa kelompok terbesar pengidap ialah para pekerja kasar. Disusul para pelayan toko. Yang terbanyak kaum muda yang bekerja di kedai kopi, restoran, kedai nasi, tempat-tempat yang diketahui menjadi sumber utama peredaran heroin. Kelompok besar lain: kaum penganggur. Setiap malam korban-korban seperti itu bisa ditemui, menjelajahi tempat parkir restoran dan tempat hiburan di Kuala Lumpur atau kota besar Asia lainnya. Mereka menuntun mobil yang hendak diparkir atau membantu jika hendak mundur. Upahnya sekadar beberapa puluh sen, tapi pada malam yang mujur mereka bisa mengumpulkan cukup uang untuk membeli 11/2 tabung (0,06 g per tabung) heroin berkadar tinggi - cukup untuk sekali fly. Asia memang tidak asing dalam hal pemakaian narkotik: undang-undang di Muangthai yang mengatur candu sudah ada sejak abad ke-14. Tapi selama itu masyarakat tradisional bisa mempertahankan suatu imbangan wajar dalam menggunakan candu dan ganja. Kini perkembangannya seolah tak terkendalikan seperti digambarkan para ahli di Malaysia, "Berkembang dengan kecepatan dan ciri penyakit menular: tidak ada waktu, pengalaman, ataupun kesempatan bagi seseorang membangun suatu daya tahan . " Tapi sebab yang lebih jelas ledakan problem heroin di Asia agaknya akibat berkembangnya daerah Sabit Emas yang tadi, khususnya dalam empat tahun terakhir ini. Daerah penanaman utamanya, di bagian timur laut Pakistan dan bagian selatan Afghanistan, sekitar Terusan Khyber yang historis itu, punya tingkat produksi yang kini mengungguli wilayah Segitiga Emas. Dalam suatu konperensi pers di islamabad januari lalu, anggota Kongres AS,Benjamin Gilman, menyatakan bahwa 60%-70'o heroin yang kini diperdagangkan di AS berasal dari Pakistan. Dan, menurut perkiraan lain, 85%-90'/o heroin yang dijual di New York dihasilkan di Sabit Emas . Celakanya, akibat kehilangan pasaran di Barat Segitiga Emas melemparkan produksinya ke sejumlah negara Asia Tenggara dalam bentuk heroin. Sedangkan bangkitnya daerah sekitar Terusan Khyber sebagai penghasil utama heroin bagi dunia Barat tercatat sebagai akibat langsung revolusi Iran 1979. Sebelum itu, kebanyakan candu Pakistan dan Afghanistan diserap pasaran Iran - melayani permintaan sekitar tiga juta konsumen di sana. Kini pemakaian candu di Iran diperangi dengan sangat ganas, hmgga para juragan barang haram itu, di Pakistan dan Afghanistan, terpaksa mengalihkan pasaran utama ke Barat. Jantung produksi di daerah Sabit Emas itu berwujud sekitar 20 laboratorium kecil dan tersembunyi di sepanjang perbatasan timur laut Pakistan, suatu wilayah yang terutama dikuasai suku-suku terasing, dan punya lahan pertanian yang umumnya tidak cocok untuk tanaman lain kecuali candu. Pergolakan perebutan pasaran antara dua wilayah emas itu dimulai tahun 1979, ketika Sabit Emas menghasilkan 800 ton candu - lebih dari sepertiga produksi Segitiga Emas dalam setahun. Sejak itu pula berbagai upaya para pejabat pengawas narkotik di Pakistan ditujukan ke penghancuran kegiatan itu. Kenyataannya, meski sempat menghambat produksi, kebijaksanaan pemerintah itu tak banyak mempengaruhi perdagangannya. Menitik beratkan upaya penanggulangan masalah narkotik dengan membasmi sumber asalnya, seperti dianjurkan Barat, ternyata mengesampingkan kenyataan lain. Jika di suatu tempat tanaman candu dibasmi, produksi di tempat lain cenderung meningkat - guna mengisi kekosongan pasaran yang mereka perkirakan. Di samping itu, pengurangan persediaan satu jenis bahan narkotik di pasaran mendorong para pemakai mengganti jenis yang mereka gunakan. Tak ada soal. Banjir pasaran bahan narkotik sedunia sendiri dimulai dengan pelemparan panen oleh para pedagang. Mereka ini mengkhawatirkan akibat revolusi di Iran serta pendudukan Afghanistan oleh pasukan Uni Soviet - kedua wilayah itu sumber utama produksi candu. Daerah produksi candu lain, seperti Pakistan, Turki, dan Muangthai, lantas meningkatkan produksi mereka, siap mengisi kekosongan pasaran. Ternyata, kekosongan yang ditakutkan itu tak pernah terjadi. Maka, panen candu luar biasa pada tahun-tahun berikutnya menyebabkan pasaran bahan narkotik membanjir - hingga para pedagang sibuk mencari tempat pelemparan baru. Sebagai akibat munculnya Pakistan sebagai eksportir utama bahan heroin, jumlah pecandu di dalam negeri itu sendiri naik pesat. Sejumlah dokter di Karachi dan Lahore, yang mengikuti peningkatan jumlah pemakai heroin sudah sejak tahun 1980, cemas. Menurut Mairaj Husain, ketua Badan Pengawasan Bahan Narkotik di Pakistan, "Ini merupakan perkembangan tunggal yang paling menakjubkan di bidang penyalahgunaan bahan narkotik." Tapi yang lebih menakjubkan sebenarnya ini: Pakistan, hingga 1979, hampir tidak mengenal masalah kecanduan narkotik. Kini, menurut suatu laporan PBB, terdapat 30.000 pengidap heroin - yang terdaftar. jumlah itu oleh para dokter Pakistan sendiri bahkan diperkirakan mencapai 150.000 dan bakal meningkat lagi dengan 50.000 orang menjelang tahun 1985. Para pemakai itu terutama kalangan muda seperti ditulis Ikramul Haq dalam majalah viewpoint berdasarkan suatu survei Departemen Psikologi Universitas Punjab, Lahore. Dari 3.000 mahasiswa yang diwawancarai dari berbagai sekolah dan akademi, 70O mengaku memakai obat narkotik karena lingkungan sosial di kampus "membosankan, menjengkelkan, dan tidak manusiawi." Ini menarik. Memang, di Pakistan dewasa ini disko dan dansa sangat dibatasi. Untuk wanita bahkan sama sekali dilarang. Menyanyi juga tidak diperkenankan buat mereka. Bahkan teater mahasiswa, yang dulu tersohor di Lahore, praktis punah, akibat sensor yang ketat. Klub dan tempat berkumpul lainnya hampir lenyap dari kampus universitas di Karachi dan Punjab. Banyak mahasiswa mengaku mulai memakai obat narkotik setelah minuman beralkohol sama sekali dilarang. Menurut para dokter Pakistan, kecenderungan ini mencerminkan rasa frustrasi yang kian meningkat, kegelisahan dan kejemuan yang dirasakan secara luas. Dan, dalam keadaan seperti itu, mendapatkan heroin terhitung hal yang mudah saja - terutama akibat banjirnya pelarian dari Afghanistan di negeri ini. Candu - yang menghasilkan juga heroin masih ditanam di Afghanistan, dan orang Afghan membangun jaringan pengedaran mereka di Pakistan. Ratusan siswa Afghan yang belajar di berbagai akademi dan universitas di Pakistan pun umumnya dibiayai dari rumah dari hasil perdagangan heroin itu. Di kampus Universitas Punjab, misalnya, heroin berkadar kemurnian 60', bisa diperoleh dengan harga Rs 35 (sekitar Rp 2.000) per gram. * * * Ancaman lain bagi dunia sehat, yang tak kalah berbahaya, ialah pemakaian cannabis (marihuana, ganja). Dalam nilai, perdagangan kanabis bahkan lebih besar dari heroin, dan rumput gan ja itu sempat menjadi salah satu komoditi dunia yang penting. Bahkan sejak 1961, sebelum pot itu sempat menjadi mode di Barat, WHO memperkirakan jumlah pemakai kanabis di seluruh dunia sekitar 300.000 orang. Inilah yang dalam istilah Arab disebut hasyisyrumput. Selama delapan tahun terakhir ini, di AS terdapat kenaikan terus-menerus volume perdagangan ganja. Menurut para petugas AS, sesudah Meksiko dan Columbia, Pulau Jamaica merupakan sumber ketiga terbesar bagi pasaran kanabis di kota-kota negeri Reagan itu. Angka pasti memang tidak mudah diperoleh terutama sejak pulau itu mulai disukai di kalangan penyelundupan internasional sebagai batu loncat pengedaran bahan narkotik lainnya, seperti kokain, yang disalurkan ke AS. "Mungkin berkisar antara US$ 750 juta dan US$ 1 milyar setahun," ucap salah seorang bankir di jamaica. Kalikanlah angka itu dengan seribu saja, untuk mencapai jumlah rupiah. Tak heran bila jumlah itu menyebabkan ganja menjadi penghasil devisa tunggal utama bagi pulau itu. Bagi suatu ekonomi yang haus akan mata uang kuat, pernasukan sebanyak itu tentu sangat berarti sekalipun hasilnya tak disimpan di rekening bank sentral . Memang tak ada tanda-tanda pemerintah jamaica kurang gigih menanggulangi problem itu. Lihatlah: akibat meningkatnya peranan negeri itu dalam perdagangan ganja dan bahan narkotik lain, pemakaian ganja di kalangan bangsa sendiri juga semakin meningkat. Malah ada kecemasan tentang semakin banyaknya dipakai obat narkotik lainnya - yang lebih keras - di kalangan remaja. Itulah sebabnya, pergulatan memberantas perdagangan bahan narkotik itu sebenarnya sudah berlangsung cukup lama di sini, meski sering tanpa hasil yang memadai. Selama dua tahun terakhir, misalnya, pihak keamanan Jamaica secara sistematis menghancurkan ke-28 lapangan terbang ilegal yang menyebar di daerah pedalaman pulau itu - yang selama ini digunakan pesawat terbang ringan untuk mengangkut ganja ke Semenanjung Florida, AS, yang berjarak sekitar 900 km. Tapi para penyelundup memang lihai. Sekalipun telah kehilangan lapangan terbang, mereka mendaratkan pesawat di pantai pasir yang lebar yang banyak menyebar di Pulau Jamaica. Bahkan di jalan raya yang sepi, di pedalaman pulau itu. Ribuan teluk kecil yang bertaburan sepanjang pantai juga mempermudah kapal kecil berlabuh tanpa diketahui yang berwajib. Tapi cara yang lebih menakjubkan ialah ini: mengisi penuh sebuah mobil pemadam kebakaran dengan ganja, lalu mengirimkannya ke Miami, Florida, AS, dengan dalih hendak diperbaiki. Di Jamaica bagian barat terletak sebuah desa kecil bernama Bleauwearie. Kini hanya dihuni kaum wanita dan anak-anak. Kaum prianya sejak beberapa waktu lalu sudah menghilang, menghindari kejaran polisi, sehubungan dengan pembunuhan atas diri tiga anggota polisi Desember lalu. Ketiga polisi itu, ceritanya, dicincang oleh massa yang mengamuk: para hamba hukum itu menemukan beberapa ton ganja di desa itu yang siap diekspor ke Amerika Serikat. Sesudah pembunuhan itu, pihak keamanan Jamaica meningkatkan upaya pemberantasan terhadap penanaman dan perdagangan barang laknat itu. Menurut laporan, di Desa Bleauwearie itu pun polisi kemudian sempat menyita sekitar 28 ton ganja bernilai US$ 60 juta. Akhir tahun 1970-an, kebanyakan ganja dari dusun-dusun seperti itu ditukarkan dengan senjata, yang konon menjadi perlengkapan berbagai gerombolan politik yang berperang selama pemilihan umum 1980 di pulau itu. Lebih dari 600 orang waktu itu meninggal. Menurut sumber polisi, sekarang pembayaran ganja dan senjata itu dilakukan dengan uang tunai. Gema aktivitas Jamaica, di Amerika Serikat, ialah ini: Badan Pengawasan Narkotik AS kini menghadapi arus ganja dan bahan narkotik lainnya yang kian membesar - dan mereka dapati sebagai berasal dari Jamaica. Dua tahun lalu badan itu membentuk satuan tugas yang memperkuat pengawasan lepas pantai Semenanjung Florida. Namun, apa daya: kalangan resmi AS sendiri skeptis terhadap upaya kawasan Karibia dalam memberantas penyelundupan ganja. MASALAHNYA memang bukan terletak hanya pada seriusnya suatu pemerintah melakukan pemberantasan, seperti terlihat di Columbia, Amerika Selatan.Selama21/2tahun para petugas narkotik di Columbia mengadakan gebrakan terus menerus. Hasilnya: 303 usaha pengolahan bahan narkotik dimusnahkan 2,4 ton kokain dan hampir 80 ribu ton marihuana disita dan 59 juta tanaman kanabis dan koka dimusnahkan. Pokoknya, angka- angkanya meyakinkan. Toh tidak mampu menghentikan arus perdagangan ramai, yang sempat melontarkan Columbia sebagai negara pengekspor bahan narkotik No. 1. Dengan nilai kokain saja, yang perdagangannya dalam setahun mencapai US$ 5 milyar, tak heran kalau negara itu mendapat julukan "republik kokain". Sekitar 100.000 orang Columbia diketahui memperoleh nafkah mereka, langsung atau tidak langsung, dari kegiatan sekitar bahan narkotik ini. Pada tahun 1980-1982, lebih dari 20 ton kokain yang telah diolah diterbangkan dari Columbia ke Amerika Serikat - oleh pilot yang diupah hingga US$ 100.000 sekali terbang, alias Rp 100 juta. Di Amerika Selatan orang menjuluki kegiatan perdagangan itu "tari jutaan dolar". Dan kendati upaya pemberantasan mencatat angka rekor, para raja kokain agaknya tetap jaya. Pernah lebih dari 100 kelompok narkotik menjalankan kegiatan mereka di Columbia. Bahkan identitas sejumlah pemimpin kelompok itu seperti menjadi rahasia umum begitu beraninya - dan mereka pun diakui peranannya dalam masyarakat, karena mengalirkan "narcodollar". Kini, keuntungan ekonomis bonanza narkotik itu mulai dipertanyakan. Inflasi di Columbia ternyata melaju sebesar 16%, dan di berbagai bidang ekonomi para juragan narkotik dituding bertanggung jawab atas membengkaknya harga-harga. Dengan uang panas, soalnya, mereka tak henti-hentinya membeli rumah, apartemen mewah, perkantoran, hotel .... Di samping itu, tak beda dengan di Jamaica, kegiatan perdagangan narkotik itu juga mulai dirasakan dampaknya di dalam negeri Columbia sendiri dengan meningkat secara pesat jumlah pemakai. Merosotnya harga kokain Columbia di pasaran Florida, akibat pasaran AS banjir, membuat para pedagang melemparkan sebagian persediaannya ke pasaran dalam negeri sendiri. Itulah sebabnya. Kenyataan itu lalu membentuk kesadaran di kalangan orang Columbia yang bertanggung jawab untuk bangkit. Tambahan lagi, bangsa mana yang ingin negerinya dijuluki "republik kokain"? Apalagi, yang menikmati uang hasil candu itu toh hanya kelompok orang yang lebih sedikit. Tekad memperbaiki citra yang cacat itu menjadi bulat lagi akibat serangkaian kejadian dramatis di bidang politik selama tahun lalu. Para pedagang narkotik agaknya tak puas lagi hanya menguasai beberapa bidang ekonomi melalui "narco-dollar" mereka. Mereka ternyata juga kepingin ikut mengatur negara, itulah ceritanya. Selama ini, cara mempengaruhi pemerintah itu mereka lakukan melalui lobi yang sangat kuat tapi "narcodollar" yang tak hentinya mengalir membuat mereka takabur. Carlos Lehder, jutawan Columbia yang kini dicaridi AS sehubungan dengan suatu perkara narkotik, mendirikan suatu gerakan politik yang hendak memperjuangkan legalisasi pemakaian marihuana. Kongres Columbia segera bersidang - membahas perkembangan erbahaya ini, serta secara umum pengaruh yang kian meningkat dari lobi narkotik. Di luar, melalui serangkaian artikel, beberapa surat kabar memperingatkan masyarakat: para juragan narkotik sedang berusaha merebut kekuasaan dan menggerogoti integritas lembaga parlemen. Dalam suatu sidang darurat Kongres bulan Agustus lalu, Menteri Kehakiman Rodrigo Lara melaporkan tekad pemerintahan Presiden Belisario Betancur untuk meningkatkan pemberantasan perdagangan narkotik itu. Hanya beberapa menit kemudian, seorang dari Fraksi Partai Liberal di Kongres itu menuduh Lara telah menerima "sumbangan politik" sebanyak US$ 12.000, dari seseorang yang dikenal sebagai bekas pedagang narkotik. Lara dengan tegas menolak tuduhan itu - dan pemerintahan Betacur sepenuhnya mendukung menteri kehakimannya. Maka, dilancarkanlah serangan besar-besaran terhadap gerombolan narkotik. Partai Liberal dibekukan. Lehder terpaksa lari ke persembunyian. Dan semua itu akhirnya sempat menggelitik para raja narkotik di Pegunungan Andes: kegiatan perdagangan kokain dan bahan narkotik lain langsung menciut. Tapi terlebih penting, peristiwa Lehder itu menggugah kesadaran orang akan ancaman politis kalangan lobi narkotik. Kendatipun kian menyusut, kegiatan perdagangan bahan narkotik masih jauh dari keok. Masih menghampar lebih dari 40.000 ha lahan gersang di Columbia penuh tanaman marihuana dan koka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini