Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ibu-ibu dari surga

Pelacuran makin ramai di yogyakarta. masyarakat gelisah. kehidupan agama surut, anak muda banyak yang mabuk-mabukan. ibu-ibu tak bisa melenyapkan pelacuran tapi tidak menambahnya.(kl)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN tahun yang lalu para germo Pasar Kembang Yogya mengeluh: sewa kapling di kompleks resosialisasi tunasusila yang baru, di Sanggrahan, terlalu mahal. Akhirnya, memang hanya germo kelas tertentu yang bisa buka pasar di sana, dan program pengalihan pelacuran dari tengah ke pinggiran kota itu tidak lain penambahan lahan perzinaan belaka. Sanggrahan menjadi pasar ramai, dan Pasar Kembang terus aktif juga. Kini masyarakat Kotagede gelisah. "Dengan Sanggrahan, wilayah kami hanya dibatasi sungai. Pengaruh pelacuran makin membesar, terutama pada anak muda. Kehidupan beragama kini surut anak muda makin banyak yang mabuk-mabukan bahkan peringatan I Muharam diakhiri dengan minum-minum. Ditambah Istana Teater yang bagaimanapun menyodorkan film-film yang memperbesar pengaruh itu video blue merajalela. Pengajian jadi salah tingkah: bukan saja anak muda makin malas mubalig yang berpidato juga hanya pintar melarang, mengulang-ulang ayat zina dan minuman keras tanpa mengantarkan kami pada penglihatan bagaimana mengatasi proses semacam ini. Tolonglah, Mas. . . " Tolong bagaimana. Pelacur itu masih lumayan: toh yang mereka jual barangnya sendiri. Kita sendiri mungkin punya saham kifayah terhadap berkembangnya pelacuran. Terciptanya pelacur itu menurut para cendekiawan bersifat struktural juga. Sanggrahan itu pasar kecil saja, sebab ada juga pelacuran wewenang, pelacuran amanat, pelacuran . . . yang sedikit banyak kita kerjakan jua tiap hari. Apa program Situ untuk memberantas pelacuran, blue film yang nlesep ke mana-mana, mengkhotbahi produser film, melenyapkan judi dan suap ? Hal minum itu mungkin bukan soal pengaruh buruk belaka. Masyarakat Kota Tuban dewasa ini ada wabah minum-minumnya juga: waktu turun malam, mereka nggerombol di perempatan, di ganggang, untuk teler dan mengigau. Para nelayan itu konon mengalami semacam keputusasaan ekonomi. Tidakkah kota klasik Kotagede itu mengalami hal yang sama, di tengah negeri tinggal landas ini? Maka, ibu-ibu hajjah pun pada gelisah. Para mubalighat Aisyiyah ditatar, dilebarkan wawasannya, iajak "mikraj" seperti Muhammad sang Nabi yan diantar Jibril melihat gambaran dosa-dosa umatnya. Para hajjah berkumpul di gedung persatuan mereka untuk mendengarkan, untuk diajak nonton hamparan neraka. Dan mereka kaget. Ternyata, tidak hanya Children of Memang, dunia kita ini bukan surga berwarna putih seperti jilbab yang dikenakan ibu-ibu. Ibu-ibu tak akan bisa merobek dan menurunkan poster setengah telanjang di gedung bioskop. Ibu-ibu tak bisa membredel koran dan majalah kuning. Ibu-ibu tak bisa melenyapkan tempat-tempat perzinaan legal. Ibu-ibu tak bisa melenyapkan tempat-tempat "pijat" serta berbagai tempat terselubung lain. Ibu- ibu tak bisa ikut menyensur film atau menceramahi para produser. Tak bisa menyetop penyebaran film biru lewat video. Tak bisa membabati pepo40nan kemungkaran dengan pisau dapur ibu-ibu yang jarang diasah. Tak bisa .... Memang sia-sia bermimpi menebang pohon yang makin meraksasa dengan busa mulut. Film lebih memikat dibanding kiai yang melaporkan Tuhan bagai polisi. Film itu jualan kacang gorengnya cita rasa, kecuali yang bukan. Dan keahlian kita pun tampil, yakni mengutuk. Padahal, yang diperlukan ialah .... Masyarakat desa saya, di Jombang, mengadakan sarasehan bulanan. Namanya mentereng: Forum Pengembangan Wawasan. Yang dirembukkan, sih, sederhana saja. Misalnya, bagaimana memperoleh kelobot, kulit jagung kering pembungkus lintingan rokok. Tak usah beli di kota - Iha 7ong selama ini kulit jagung dibakar saja. Bagaimana blsa blkin sabun sendin untuk orang sedesa, bikln tempe tahu bikin.... Anak-anak muda juga diajak berkesenian, supaya tak usah selalu nonton ke kota. Syukur bisa dirangsang kemandiriannya, dirangsang rohnya dengan nilai-nilai dasar yang kuat, supaya kelak mereka tak usah "diFingit", melainkan siap bertanding. Ibu-ibu memang tak bisa melenyapkan pelacuran. Tak bisa menguranginya. Tapi barangkali ibu-ibu bisa ikut tidak menambah jumlah pelacur - lewat putra-putrinya - justru dengan tidak menyelimuti diri dengan ketidaktahuan, dan ketiadaan prakarsa, sehubungan dengan lingkungan. Dan, kalau kembali ke Kotagede, apakah dinding-dinding tinggi dan rumah-rumah yang amat "terbungkus" itu semacam tanda juga dari budaya pingitan?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus