Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHENINGAN pecah oleh teriakan ”Allahu Akbar!” berkali-kali. Sekitar 30 orang, berpakaian putih-putih dan berserban, berkerumun di Jalan Cendana, Jakarta, di depan rumah mantan presiden Soeharto. ”Kami mau berdoa untuk beliau,” kata salah seorang dari mereka kepada penjaga rumah. ”Allahu Akbar!” Takbir kembali menggema. Tidak aneh, kecuali waktunya. Jarum jam baru menunjukkan pukul 02.30, Kamis dini hari, beberapa jam menjelang pengadilan yang bersejarah itu.
Oleh penjaga, mereka diperbolehkan masuk ke halaman rumah. Selama 10 menit, orang-orang itu mengangkat kedua tangan ke arah langit. Lalu, ”Allahu Akbar!” Seseorang tampil menghadap rumah dan berpidato. Mengatasnamakan diri mewakili Front Antikomunis dan Cinta Tanah Air, dia mengutuk siapa saja yang berniat membawa Soeharto ke pengadilan—para jaksa dan hakim. Sebentar kemudian, rombongan itu melangkah ke luar pagar dan berjalan kaki menghilang dari Cendana. Hening pun kembali menyergap.
Lelap dalam kamarnya yang terlindung, Soeharto tampaknya tidak mendengar doa untuk dirinya itu. Anton Tabah, sekretaris pribadinya, mengatakan bahwa hidup Soeharto sehari-hari terjadwal dengan ketat. Dia baru akan bangun pagi pada pukul 04.30 untuk menunaikan salat subuh.
Setelah subuh, ia biasanya duduk mencangkung sebentar, tanpa kesibukan apa pun. Ia tak pernah menonton siaran berita pagi di televisi. Anak-anaknya punya alasan melarangnya. Dan terutama sekali pada pagi itu, ketika televisi dan radio masih sibuk memperdebatkan apakah Soeharto akan hadir di pengadilan atau tidak.
Jika keterangan pengacara Juan Felix Tampubolon benar, pagi itu Soeharto tidak menjalani jadwal rutinnya. Kepada para wartawan sekitar pukul 07.00, Felix mengatakan bahwa sang mantan presiden tengah diperiksa oleh tim medisnya yang terdiri atas 23 dokter ahli. ”Bisa atau tidaknya Pak Harto berangkat ke persidangan baru akan ditentukan setelah selesainya pemeriksaan medis ini,” katanya.
Dua wartawan TEMPO yang sejak Rabu siang bergiliran mengawasi rumah di Jalan Cendana itu tak melihat ada rombongan dokter berkunjung. Mereka juga tak melihat mobil Dokter Teguh A.S. Ranakusumah datang. Adalah Teguh, Ketua Tim Dokter Soeharto, yang menandatangani surat keterangan sakit. Surat itu bertanggal Kamis, 31 Agustus 2000, pukul 06.00 WIB.
Teguh mungkin masuk lewat jalan lain. Tapi status sakit Soeharto tampaknya telah lama diputuskan. Secara fisik, Soeharto memang kini lebih berisi dibandingkan dengan yang tampak dalam foto saat diperiksa Kejaksaan Agung beberapa bulan silam. Namun, menurut Anton Tabah, kondisi mentalnya tidak membaik. ”Kerusakan otaknya bersifat permanen,” katanya. Bahkan, sudah lama keluarganya memutuskan pengadilan terhadap Soeharto sebagai sesuatu yang musykil. ”Beliau kan negarawan kelas dunia,” kata Anton, ”Jika diadili di depan ribuan orang, apa tekanan darahnya tidak naik? Jika stroke-nya kambuh, siapa bertanggung jawab? Risiko kematian adalah 100 persen.”
Sulit meyakini ada pemeriksaan medis pagi itu. Maka, seperti hari-hari yang lain, selepas subuh, Soeharto besar kemungkinan justru melanjutkan tidur setelah duduk sebentar di teras belakang rumah dan minum segelas air putih.
Pada pukul 08.00, sementara kesibukan spektakuler di Gedung Departemen Pertanian—tempat pengadilan digelar—mulai berderak, Soeharto mungkin sudah bangun. Dia akan kembali ke teras belakang, duduk di kursi malas. Di meja, ada segelas teh manis dan sepiring ubi jalar, pisang, atau jagung rebus. Sambil menghirup teh hangat dan mengunyah ubi, pisang, atau jagung rebus, dia akan asyik mendengarkan nyanyian burung tekukurnya yang katanya bisa menirukan 19 macam suara.
Terkadang ia ketiduran di situ. Tapi tak ada yang berani mengganggu, kecuali datang kiai atau mubalig yang memberinya wejangan agama, pada pukul 10.00. Menurut Anton, kiai yang datang hampir bisa dipastikan adalah K.H. Maftuh Ihsan dari Majelis Ulama Indonesia. Pendakwah terkenal Zainuddin M.Z. hanya sesekali hadir. Sering Soeharto meminta agar acara pengajian diisi dengan zikir hingga tiba salat lohor. Pada waktu itu, Tutut dan Titiek umumnya datang dan mengajak sang ayah makan siang.
Tengah hari Kamis lalu, ketika Felix dan kawan-kawan datang dari pengadilan yang kecewa oleh absennya Soeharto, sang Jenderal mungkin tengah menyantap makan siang bermenukan tempe dan sayur lodeh kesukaannya. Dan selepas makan, Tutut akan membimbing ayahnya ke kamar. Soeharto kemudian tidur hingga datang waktu asar. Hingga magrib, dia umumnya mendekam di kamar saja. Praktis ia tidak pernah keluar dari pagar halaman rumahnya di Jalan Cendana.
Makan malam biasanya dihadiri lebih banyak anaknya, termasuk Tommy dan Bambang. ”Makan malam selalu merupakan saat keluarga berkumpul,” kata Anton Tabah. Mereka hanya membicarakan soal-soal yang ringan. ”Pak Harto tak pernah berkomentar banyak. Beliau sudah susah bicara.” Terkadang memang ada pembicaraan anak-anak tentang pemberitaan ayahnya di media. Namun, itu hanya dilakukan setelah sang ayah menyingkir ke teras belakang atau kembali ke kamar, sekitar pukul 21.00.
Seandainya malam itu menyaksikan Dunia dalam Berita di TVRI, Soeharto akan sadar betapa hari itu dia menjadi pusat perhatian seantero negeri, bahkan dunia. Tapi tidak. Seperti hari-hari yang lain, dia biasanya sudah terlelap di bawah lindungan malam Cendana yang tenang. Dengan hati yang tenang pula.
Soeharto bahkan sangat mungkin tidak tahu dia sedang diadili. ”Kami memberi tahu beliau tentang pengadilan itu. Mata beliau berbinar sebagai reaksinya. Pak Harto selalu ingin menjunjung tinggi hukum,” kata Anton. Tapi—ada tapinya—”Status beliau sebagai tahanan memang tidak kami beritahukan.”
Kecil kemungkinan keluarga juga memberitahukan bahwa Soehartolah—jenderal yang puluhan tahun menjadi orang terkuat negeri ini—si tersangka dalam pengadilan itu. Dan kita tahu betapa malang Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang mencoba menggelar drama besar tapi kehilangan aktor utamanya.
Ahmad Taufik, Tomi Lebang, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo