Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Juwono Sudarsono: "Rencananya, Maret 2001 Eselon Satu Dephan Dipegang Sipil"

Ada kerepotan ekstra yang menyita perhatian Juwono Sudar-sono dua pekan terakhir: menjadwal kembali seluruh agenda kerjanya. Menteri Pertahanan dalam "kabinet pelangi" ini me-lakukan hal itu setelah namanya tidak muncul dalam daftar anggota kabinet baru—selepas reshuffle—yang diumumkan Rabu dua pekan lalu. Rupanya, Presiden Abdurrahman Wahid cuma menjatahkan waktu 10 bulan bagi Juwono memimpin Departemen Pertahanan (Dephan). Maka, Juwono, 58 tahun, kini boleh mengganti setelan jas resmi, busana yang biasa ia kenakan sebagai menteri, dengan celana jins dan kemeja kasual kesukaannya.

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan Wakil Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas, 1995-1998) itu kini jauh lebih leluasa merencanakan kegiatannya: mengajar, menulis, menerima wawancara, berbicara di seminar. Apa pun—tanpa bergantung pada jadwal ketat seorang Menteri Pertahanan (Menhan).

Jadi, selesaikah urusan Juwono di bidang pertahanan? Secara formal ya, tapi bukan dari segi pemikiran.

Doktor dari London Economics School and Political Sciences ini—ia lulus cum laude pada 1978—termasuk pemikir serius bidang pertahanan. Ia percaya pada supremasi sipil terhadap militer. Dan apa yang dia lakukan dalam 10 bulan mencerminkan hal itu. "Saya sedang menyiapkan sejumlah orang sipil untuk menempati eselon satu Dephan," ujarnya kepada TEMPO.

Apakah ide-ide pertahanan saja yang membuat Menteri Negara Lingkungan Hidup (Maret-Mei 1998) Kabinet Pembangunan VII, kabinet terakhir Presiden Soeharto ini, berada pada lingkaran elite eksekutif? Tidak persis begitu. Kemampuan intelektualnya membuat Juwono luwes bekerja lintas sektoral. Pada zaman Presiden Habibie, ia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Reformasi (1998-1999). Lalu, jauh sebelum asuki kabinet, putra sebuah keluarga diplomat terpandang ini hidup di dunia yang selalu menggairahkan seluruh saraf intelektualnya: mengajar dan menulis.

Bertahun-tahun, seusai studi di luar negeri, Juwono menjadi dosen Jurusan Politik dan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Ia juga penulis kolom dan menjadi pembicara seminar yang mahir sebelum pindah ke jalur eksekutif. Dengan menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Persatuan Nasional, Juwono praktis telah bekerja di bawah tiga presiden. Jabatan terakhir ini pun mendatangkan sejumlah kritik—berikut pro dan kontra—terhadap ahli politik internasional itu. Mengapa?

Ia orang sipil pertama yang menjadi Menteri Pertahanan sejak Orde Baru. Selain itu, ia membawa sejumlah ide pembaruan ke departemen itu. Beberapa ide itu, antara lain, poin-poin dasar kesetaraan sipil-militer; sejumlah revisi perubahan Undang-Undang Keprajuritan dan Undang-Undang Pokok-Pokok Pertahanan, dengan memasukkan pengertian baru tentang keamanan nasional. Meski begitu, beberapa kalangan menganggap geraknya terlalu lamban. "Saya juga merasa begitu. Tapi pembaruan (TNI) harus dilakukan secara bertahap," kata Juwono. Sumber TEMPO di Dephan membisikkan, garis lunak yang dia pilih telah membuat sang Menteri cepat terpental dari kursinya.

Ini bukan pertama kali ia mendapat kritik keras. Semasa di Lemhanas, misalnya, Juwono dianggap terlalu memihak kepentingan militer. Cap itu kian melekat tatkala ia menyatakan—menjelang lengsernya Soeharto, Mei 1998—TNI masih diperlukan dalam figur pemimpin negara. Kontan saja muncul tudingan: Juwono ingin mempertahankan dominasi militer. Sebuah cap yang belum luntur sampai sekarang, paling tidak di mata sekelompok reformis garis keras di seputar Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak sepakat dengan model pembaruan TNI yang ia terapkan.

Bapak dua anak ini meninggalkan sejumlah pekerjaan yang belum selesai di Dephan kepada orang sipil lainnya: Mohamad Mahfud M.D., seorang ahli hukum tata negara. Ia sendiri kembali mengajar di UI sejak dua pekan lalu. Selain itu, Juwono menikmati sejumlah keleluasaan yang hanya mungkin dinikmati "orang biasa"—seperti saat ia menerima wartawan TEMPO Arif Adi Kuswardono, Jumat lalu. Percakapan dua jam lebih di kompleks pejabat negara Widya Chandra itu, yang akan dia tinggalkan akhir September ini, berlangsung santai, jauh dari ingar-bingar jadwal menteri ataupun aba-aba protokol.

Berikut ini petikannya.


Apakah Anda diberi tahu bahwa Anda akan dicopot?

Tidak. Tapi saya sudah merasakan hal itu kira-kira dua hari sebelum pengumuman perubahan kabinet.

Anda sempat bertemu Presiden sebelum pengumuman itu?

Sebenarnya saya mau ketemu untuk pamit. Tapi dikira nanti mau cari pekerjaan. Jadi, saya tulis surat saja.

Kecewakah Anda karena cuma jadi menteri selama 10 bulan?

Justru di situ kepuasannya: saya diberi kesempatan 10 bulan untuk meletakkan dasar-dasar perencanaan dan pengelolaan Dephan serta Mabes TNI. Kita bisa berdebat dan berbeda pendapat tentang kecepatannya, tapi kita sudah sepakat tentang sistemnya.

Soal sistem ini, apakah termasuk rencana menempatkan orang sipil di jabatan eselon satu Dephan?

Kalaupun ada orang parpol masuk, sebaiknya dia pejabat negara profesional, bukan sebagai orang parpol.

Mengapa?

Kalau sampai nanti uang partai diperoleh dari rekanan Dephan, saya khawatir (nama departemen) akan tercemar. Itu saja. Dan itu sudah pernah saya sampaikan ke Gus Dur.

Ada kabar Anda diberhentikan karena tekanan sekelompok garis keras di seputar Presiden yang menganggap gaya Anda terlalu lunak dalam pembaruan TNI.

Saya kira tidak. Kita memang berbeda pendapat tentang laju (pembaruan). Menurut saya, reformasi dalam perangkat hukum paling mudah. Cuma mengubah-ubah pasal. Tapi reformasi idiil di lapangan, meliputi kesejahteraan prajurit, peningkatan anggaran operasional, adalah hal paling sulit.

Sebagai Menhan, Anda juga tidak "radikal" mengganti pejabat departemen. Bukankah ini juga bagian dari reformasi departemen?

Mengganti orang (di level) atas cuma formalitas. Tapi yang penting kan di bawahnya. Kalau kita pegang kepala tapi tidak bisa mengubah kaki dan tangannya, percuma. Saya katakan pada teman-teman, kita berada di atas untuk turun ke bawah perlu waktu dua-tiga tahun. Kita sudah potong kepala, tapi tangan dan kakinya masih tetap yang lama.

"Membabat dari atas", tidakkah hal ini bisa menjadi shock therapy yang jitu?

Yang membuat shock therapy itu enak, tapi yang kena tentu tidak enak. Buat saya, yang terpenting dalam perubahan adalah ada kejelasan arah, tahap, dan rambu-rambu.

Apa saja tugas Anda sebagai Menteri Pertahanan?

Ada dua tugas penting yang diminta Gus Dur saat melantik saya, Oktober 1999. Pertama, membenahi manajemen pertahanan yang amburadul. Kedua, orientasi pertahanan dengan infrastruktur kelautan.

Bagaimana dengan soal depolitasi TNI?

Itu pesan Gus Dur tentang demokratisasi (di tubuh TNI). Dalam arti, dalam waktu 5-10 tahun, tataran kewenangan sipil secara berangsur akan lebih luas dalam Departemen Pertahanan.

Pada faktor apa saja perubahan ini diterapkan?

Terutama pada penyiapan perangkat baru Undang-Undang Pertahanan Keamanan yang diubah menjadi Undang-Undang Pertahanan. Unsur keamanan akan lebih diserahkan ke polisi, jaksa, dan pengadilan. Itu segera dibahas di DPR. Pelaksanaannya sendiri perlu persiapan dan pelaksanaan bertahap selama 5-10 tahun.

Betulkah Anda mendapat tekanan dari pejabat Dephan serta lingkungan kepresidenan dalam hal depolitisasi militer?

Saya kira istilah yang tepat adalah saya mendapat beberapa catatan, bukan perlawanan, tentang lingkup dan kecepatan perubahan depolitisasi.

Bisa dijabarkan lebih detail?

Lingkup di sini menyangkut bagaimana proses ini akan mempengaruhi status profesi perwira. Teman-teman di TNI khawatir menurunkan peran TNI akan menurunkan status sosial mereka sebagai perwira militer. Saya bantah. Reformasi justru akan menaikkan posisi perwira, karena menurunkan peranan akan mengurangi godaan. Dan itu membuat Anda akan lebih dihormati.

Seberapa banyak pihak militer yang menentang depolitisasi TNI?

Sekitar 15 persen. Sebagian besar mendukung strategi ini asal mereka diberi tahu rambu-rambunya, yakni ada proses bertahap dan ada kesejajaran antara anggaran reguler dan nonreguler, sehingga mereka tidak terancam kehilangan nafkah secara drastis. Realistisnya, siapa sih yang mau kehilangan lahan dan status?

Tolong beri contoh "proses bertahap" yang begitu sering Anda sebut.

Misalnya jabatan eselon satu Dephan yang dipegang pihak sipil. Rencananya, bulan Maret 2001 akan dimulai. Penataan administrasinya sejalan dengan restrukturisasi yang dilakukan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Benarkah kalangan terdekat Gus Dur menganggap model depolitisasi TNI Anda terlalu lamban?

Saya juga merasa demikian. Tapi menempatkan pejabat sipil di tubuh TNI tentu harus berdasarkan kemampuan parpol itu sendiri. Logikanya, kalau Anda minta orang pergi, harus disiapkan pengganti yang betul-betul mampu. Memang ada saja yang meminta agar (program sipil) segera diterapkan saja mulai 2001.

Siapa saja yang meminta?

Cukup banyak. Bahkan, Gubernur Lemhanas Pak Johny Lumintang minta, begitu Mabes TNI ditempatkan di bawah Dephan, agar segera disipilkan. Saya kira ini gagasan yang cukup maju. Kepada Pak Johny saya bilang, barangkali hal ini bisa untuk Anda, tapi bagaimana dengan mereka yang masih brigjen atau mayjen?

Jadi, Anda tidak setuju?

Saya tidak setuju. Saya katakan, kita perlu waktu tiga sampai empat tahun untuk menyiapkan penyesuaian ini. Kalau posisi mereka diganti (segera) oleh orang sipil, apa nanti tidak terjadi cakar-cakaran karena rebutan rezeki di Dephan? Soal lain, saya menjaga jangan sampai money politics masuk di Dephan karena perebutan jabatan oleh partai-partai. Hemat saya, sampai 2002 partai jangan dulu masuk Dephan.

Dan keyakinan ini membuat Anda ditentang. Misalnya, sebagian perwira tinggi mengakses langsung ke Istana (Presiden) karena menghindari Anda?

Buat saya, tidak jadi soal. Per UU (yang masih berlaku), Mabes TNI langsung di bawah presiden. Menhan hanya bertugas dalam perencanaan, pengelolaan, dan pembinaan TNI. Kesejajaran Mabes TNI dan Dephan membolehkan tentara menghadap langsung ke Gus Dur (tanpa melalui Menhan). Nantinya, sih, kita harapkan agar Mabes TNI di bawah Dephan.

Wah, Anda yakin para petinggi militer akan setuju dengan ide tersebut?

Kalau penataan (Mabes TNI di bawah Dephan) itu dipaksakan percepatannya dalam dua tahun, akan muncul tentangan karena mereka akan kalah pamor dalam hal status.

Siapa yang Anda maksud dengan "mereka"?

Perlawanan muncul terutama dari Angkatan Darat (AD) karena AD merasa paling senior dan paling penting. Mereka amat terpukul oleh ekspose tentang kesalahan dari beberapa kesatuan AD.

Apakah Anda pernah menegur para perwira yang melawan? Atau Anda memberitahukan hal-hal ini ke Gus Dur?

Saya tidak punya wewenang menegur. Semuanya saya serahkan ke beliau (Presiden).

Ada kesan, Anda sendiri kerap menunjukkan sikap melawan pada atasan?

Saya rasa ini semacam kelugasan kerja saja. Nah, saya memang tidak bersedia bila dipanggil (oleh Gus Dur) agar ikut pertemuan malam-malam (di Istana). Saya selalu bilang, "Gus, sebagai Menhan saya akan menemui Anda pada jam kerja. Kalau ada tugas yang membuat saya harus dipanggil, sebaiknya dalam jam kerja. Di luar itu, kita berteman saja."

Atau barangkali Anda memang enggan berkonsultasi dengan Presiden?

Saya memang termasuk yang jarang menemui Presiden. Paling sekali sebulan. Menurut saya, kelugasan kerja amat penting kita pelihara. Kalaupun ada kesalahan, kan Gus Dur tinggal memanggil saya saja.

Anda pernah mendengar komentar ini: " Sebagai Menhan, Juwono terlalu overconfident?"

Ya. Tapi saya sebetulnya tidak begitu. Memang, sewaktu Sidang Umum MPR kemarin, kabinet diberi kamar suite di Lagoon Tower Hotel Hilton. Saya tidak pernah memakai fasilitas itu. aya enggan terlihat sebagai orang yang setor muka—katakanlah, sehari sekali harus menghadap. Saya termasuk orang yang percaya pada prinsip. Saya terima (penggantian) ini.

Menurut beberapa kalangan, Anda sengaja menjaga jarak dengan lingkungan kepresidenan karena enggan terlibat faksi politik?

Saya tidak mau terlibat dalam berbagai faksi, baik antara orang partai dan pemerintah maupun sebaliknya. Saya tidak mau menjadi pengganggu hubungan pribadi. Dengan bersikap lugas, saya justru memelihara perkawanan dengan Gus Dur. Berkali-kali saya pernah diisukan menjadi orang Wiranto atau Pak Harto.

Wajar bila ada isu itu. Anda sendiri pernah menyatakan militer jauh lebih siap mengambil alih kepemimpinan nasional ketimbang sipil, menjelang kejatuhan Soeharto...

Ketika itu saya hanya melihat saat itu sipil kalah siap daripada militer. Pernyataan itu memang banyak dikecam. Tapi maksud saya mengatakan hal itu adalah mengingatkan pekerjaan-pekerjaan penting yang harus segera dilakukan oleh partai politik. Sayang, mereka malah lebih banyak meributkan masalah dana partai.

Soal lain. Sebagai Menhan, bagaimana Anda mencegah faksi-faksi militer yang mencari akses langsung ke Presiden?

Hal itu tidak bisa dihindarkan. Sekarang banyak tentara yang mencari cara (untuk mengakses jalur) ke Gus Dur. Ini terbukti dalam kasus Agus (Letjen Agus Wirahadikusumah, mantan Pangkostrad) dan (Mayjen) Saurip Kadi (mantan Aster Kasad). Mereka saling menggunakan. Tapi itu terserah Gus Dur sendiri untuk menerima masukan dari siapa pun. Gus Dur kan sering menerima informasi tidak resmi, dari luar TNI dan luar Dephan.

Seberapa jauh Anda mengenal Gus Dur?

Saya kenal lama, walau tidak akrab, sejak 1971. Tapi saya tidak pernah masuk Fordem (Forum Demokrasi, sebuah kelompok diskusi politik yang pernah dipimpin Abdurraman Wahid). Dia satu-satunya orang yang membela waktu saya dilarang mengajar oleh (mantan Menteri Pendidikan) Daoed Joesoef.

Jika memang kenalan lama, mengapa Anda justru menjaga jarak setelah jadi menterinya?

Kalau saya tinjau kembali sekarang, barangkali kesalahan saya adalah kurang menjalin komunikasi dengan Gus Dur.

Dan bukankah Presiden sendiri punya minat besar pada masalah ketentaraan, sesuatu yang tidak begitu Anda "manfaatkan"?

Saya sadari hal itu. Saya pernah mengatakan pada Gus Dur, saya mengerti bahwa dua-tiga tahun mendatang beliau masih harus ikut menangani (masalah mutasi tentara) sampai tingkat kodam, walau beberapa kalangan menilainya tidak pantas. Tapi, selama TNI menjadi salah satu kekuatan politik, saya bisa memahami mengapa Gus Dur sangat memperhatikan TNI.

Ada alasan khusus mengapa Gus Dur diharapkan tidak campur tangan lagi dalam urusan TNI dua-tiga tahun mendatang?

Selama perangkat institusi dan sistemnya belum terbangun, hubungan dan pengenalan pribadi sangat penting. Gus Dur amat berhak memilih sampai ke tingkat (panglima) kodam sekalipun. Mengapa harus sampai dua-tiga tahun? Mudah-mudahan dalam waktu itu pranata dan sistem (di TNI) sudah terbangun dengan baik sehingga beliau tidak perlu menanyakan lagi siapa panglima (dari setiap kodam).

Setujukah Anda jika Presiden menggunakan militer untuk mendukung kepemimpinan politiknya?

Saya kira saya tidak mungkin menghalangi Panglima TNI untuk bertemu dengan Gus Dur. Undang-undang tidak memberikan kewenangan itu kepada saya (sebagai Menteri Pertahanan).

Tentang pembenahan manajemen Dephan yang diminta Gus Dur, apa yang bisa Anda lakukan dalam kurun waktu 10 bulan?

Pertama, perencanaan dan pengelolaan pertahanan (defense planning and management). Anggaran bidang pertahanan kita lima-sepuluh tahun mendatang akan tetap rendah karena kondisi perekonomian yang masih terpuruk. Karena itu, kebutuhan AD, AL, AU harus dihitung dengan cermat, baik untuk pengeluaran alat utama sistem senjata maupun biaya personel.

Apa saja yang dihitung dalam biaya personel?

Ada tiga unsur penting: kesiapan operasional, pengembangan sumber daya manusia, dan kesejahteraan prajurit.

Lalu bagaimana Anda mendefinisikan kesejahteraan prajurit?

Ukuran layak untuk seorang petugas lapangan agar bisa melaksanakan tugas minimum sebagai prajurit. Bentuknya berupa makanan, uang lauk-pauk, dan gaji, sedikit cadangan kesehatan dan tabungan. Besarannya kita ukur dengan kesepadanan dengan profesi lain, yaitu petani, buruh, guru SD, dan paramedis. Ini sama dengan prajurit. Mereka itu orang kecil tapi memiliki profesi yang mutlak harus ada dalam masyarakat.

Bisa beri hitungan kasarnya?

Misalnya taruna. Kalau dihitung-hitung butuh Rp 23 juta per orang per tahun selama pendidikannya. Biaya gaji bintara Rp 9 juta per tahun, dan tamtama sekitar Rp 4 juta per tahun. Kita harus cermat melihat faktor usia dan kapan dia akan berhenti. Semua biaya harus diperhitungkan dengan terukur. Kesejahteraan prajurit adalah soal paling pelik dan telantar sejak 1950-an.

Di mana akar masalahnya?

Tidak ada perencanaan yang cermat tentang kesejahteraan prajurit yang sistematis dan berkelanjutan. Dari 500 ribu anggota TNI dan Polri, hanya 30 persen punya hunian yang layak. Sisanya tidak pernah hidup layak selama dinas dan setelah pensiun. Entah barak, asrama, atau mes.

Bagaimana Anda sampai pada kalkulasi itu?

Misalnya prajurit rendah yang tinggal di asrama. Setelah menikah, dia harus keluar dari barak dan menyewa rumah petak sekitar Rp 100 ribu per bulan. Padahal, pendapatannya minim. Kondisi ini akan mempengaruhi profesionalitasnya sebagai prajurit. Tuntutan hidup bisa membuatnya makin pragmatis (dalam memenuhi tuntutan hidup).

Apa pikiran Anda untuk menerobos tekanan kondisi ini?

Kebijakan saya, harus tetap ada unit usaha, baik melalui koperasi maupun yayasan TNI, selama unit-unit usaha ini mendukung kesejahteraan prajurit. Sumber-sumber nonbujeter harus dipertahankan selama anggaran TNI masih kurang dan kesejahteraan prajurit belum terpenuhi, terutama di kalangan tamtama dan bintara.

Begini. Investigasi TEMPO pernah menemukan betapa yayasan-yayasan TNI justru memperkaya para jenderal ketimbang menyejahterakan bintara dan tamtana. Jadi, apakah ide Anda ini tidak terlalu "naif"?

Saya cenderung melihatnya secara kasus per kasus. Banyak yayasan yang di masa lalu salah urus dan tidak berorientasi pada kepentingan prajurit, tapi banyak juga yang bagus. Saya hitung sekitar 45 persen yayasan TNI masih memberikan harapan pada prajurit, misalnya Yayasan Asuransi ABRI (Asabri). Mereka menyalurkan beasiswa, perumahan, dan tabungan hari tua. Ini hal-hal yang amat penting untuk membantu kehidupan para prajurit kecil.

Omong-omong, apa yang akan Anda lakukan setelah tidak menjadi Menteri Pertahanan?

Setelah ini? Saya akan kembali lagi ke kampus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus