Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT dakwaan itu tebalnya 45 halaman. Di dalamnya, atas nama keadilan, pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan merangkaikan bukti dan kesimpulan tentang berbagai tindakan Haji Muhammad Soeharto yang didakwakan sebagai tindak pidana korupsi. Sebagai ketua 7 yayasan, Soeharto dituding telah, secara melawan hukum, ”melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara”.
Kerugian negara itu terjadi, menurut pihak jaksa penuntut umum Muchtar Arifin dan kawan-kawan, karena terdakwa memerintahkan penyaluran dana yayasan-yayasan tersebut ke sejumlah kegiatan yang ”di luar tujuan sosial yayasan, setidak-tidaknya bertentangan dengan kepatutan dan kelayakan dari tujuan yayasan tersebut”. Akibatnya, Yayasan Beasiswa Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong-Royong Kemanusiaan Siti Hartinah Soeharto, dan Yayasan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat menderita kerugian senilai Rp 1.379.309.500.184,90 dan US$ 419.636.910,64. Kerugian ketujuh lembaga sosial itu dianggap merugikan keuangan negara atau setidak-tidaknya perekonomian negara karena Soeharto memanfaatkan kedudukannya sebagai presiden dalam mengumpulkan dana bagi yayasan-yayasan itu dalam waktu singkat.
Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Trikora, misalnya, yang didirikan pada 1963 hanya dengan modal awal Rp 25 ribu dan ditujukan untuk memberi beasiswa bagi anak yatim para prajurit yang gugur di medan tugas, segera memiliki dana puluhan miliar rupiah tak lama setelah Soeharto menjadi presiden. Yayasan Dharmais, yang dengan modal Rp 10 juta pada 1975 dikatakan didirikan untuk menyantuni para gelandangan, simsalabim, tabungannya membengkak menjadi triliunan. Hal ini terjadi karena melalui sejumlah keputusan presiden, berbagai badan usaha milik negara diperintahkan untuk menyalurkan sebagian dari keuntungannya ke yayasan-yayasan tersebut. Bahkan, khusus untuk Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, uangnya berasal dari potongan gaji pegawai negeri. Sedangkan untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), modalnya sebesar lebih dari Rp 4,5 triliun umumnya berasal dari pajak pendapatan tambahan (2 persen) yang dikenakan pada mereka yang berpenghasilan di atas Rp 100 juta setahun, dan diatur melalui Keppres No. 90 Tahun 1995. Selain itu, Soeharto juga menggunakan kedudukannya sebagai presiden dengan memberi petunjuk kepada Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN agar mengalihkan dana proyek Takesra/Kukesra tahun anggaran 1997/1998 sebesar Rp 300 miliar ke kas YDSM. Selain itu, Soeharto juga mengeluarkan Keppres No. 3 Tahun 1996, yang memerintahkan pengaliran dana reboisasi senilai Rp 100 miliar ke kocek yang sama.
Keppres ini, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia, dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Namun, yang lebih memprihatinkan, sebagian dana ini ternyata tidak digunakan sesuai dengan tujuan yayasan, melainkan disalurkan untuk kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan milik anak-anak Soeharto dan kroninya, Mohamad (Bob) Hasan, yang kemudian tak dapat dikembalikan.
Semua manipulasi dana ini oleh tim penuntut disajikan seakurat mungkin agar tidak ada lagi celah yang bisa dimanfaatkan pembela untuk eksepsi bahwa dakwaan kabur atau error in persona. Dakwaan yang diturunkan dari laporan berita acara pidana setebal 3.000 halaman itu membuktikan penyakit manipulasi ini menimpa ketujuh yayasan tersebut. Toh, bila kita cermati, ada sejumlah ketidakjelasan. Pertama, tentang kurun waktu. Dakwaan difokuskan antara 1985 dan 1999. Mengapa mulai tahun 1985? Apakah karena penyalahgunaan yayasan baru terjadi setelah 1985? Mungkin saja, karena dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, presiden kedua RI itu menunjukkan bahwa sampai Juli 1985, semua yayasan membiayai kegiatan sosialnya semata-mata dengan hasil deposito tabungan dan tidak dengan menanamkan modalnya di kegiatan bisnis.
Kedua, mengapa Soeharto tidak diajukan dalam kapasitasnya sebagai mantan presiden? Penuntut memisahkan antara ketua yayasan dan presiden, sehingga kesalahan Soeharto tampak lebih difokuskan pada penyalahgunaan dalam pemakaian dana yayasan dan bukan dalam pengumpulannya. Padahal, kuat dugaan sang patriarch itu menyalahgunakan kedudukannya sebagai presiden dengan membuat perangkat-perangkat hukum untuk mengalirkan dana publik ke berbagai yayasan yang—menurut para pengkritiknya—memanfaatkan kedok tujuan sosial untuk menutupi kegiatan penggalangan dana politik.
Masuk akal karenanya jika publik bertanya-tanya soal status Soeharto dalam surat dakwaan ini. ”Orang bisa berprasangka ini by design,” kata Mulya Lubis. Sebab, kalau status Soeharto di pengadilan sebagai mantan presiden, bukan tidak mungkin itu akan menyeret mantan staf-stafnya—yang melengkapi keppres-keppres bermasalah itu dengan berbagai keputusan menteri ataupun petunjuk pelaksanaannya—yang hingga kini masih aman-aman saja itu.
Jika Soeharto didudukkan sebagai mantan presiden, pihak kejaksaan tampaknya khawatir dakwaannya akan menjadi mangsa empuk sodokan Juan Felix Tampubolon dan kawan-kawan, yang kini menjadi pembela Soeharto. Soalnya, kegiatan korupsi tak mungkin dilakukan Presiden Soeharto sendirian. Walhasil, artinya kesalahan tidak bisa ditanggung Soeharto semata wayang, dan ujung-ujungnya terbuka kemungkinan hukuman bagi pensiunan jenderal ini bisa sangat ringan—bahkan bebas. Atau, bila harus mengembalikan ”harta rampokannya”, ia tidak akan memikulnya sendirian.
Kalaupun diputus bersalah, berapa banyak harta yang dapat dikembalikan Soeharto kepada negara? Banyak orang pesimistis. ”Bila ingin bicara obyektif, tidak pernah ada kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, apalagi dalam skala masif, yang bisa dilacak dan diraih kembali setelah berselang sekian lama,” tutur Mulya Lubis. Buktinya, Corazon Aquino, yang ketika naik tampuk pimpinan langsung mengadakan legal action, tidak bisa memperoleh banyak dari peninggalan Marcos. Apalagi Soeharto, yang proses hukumnya baru dijalankan serius setelah turun dua tahun. ”Kalau memang harta yang dikejar, ya, lebih tepat memakai hukum perdata,” saran Prof. Andi Hamzah, pakar hukum dari Trisakti.
Tapi Marzuki, sang jaksa agung, tetap optimistis dengan pendekatan metode pidana ini. ”Jika kasus ini diselesaikan, kasus-kasus lain otomatis akan terselesaikan juga,” kata lelaki penggemar jazz ini.
Persoalannya, apakah kasus ini dapat diselesaikan?
Seno Joko Suyono, Andari Karina Anom, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo