Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Drama Besar Tanpa Aktor Utama

Sidang kasus tuduhan korupsi mantan presiden Soeharto akhirnya digelar tanpa kehadirannya. Lambang penegakan hukum atau komoditi politik belaka?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA, 31 Agustus 2000, akan dikenang sebagai salah satu hari bersejarah bagi republik ini. Dalam usia 55 tahun, negeri ini mengadili mantan presidennya— satu dari hanya dua presiden yang menguasai hampir seluruh usianya. Sejarah tragis. Hari-hari ini, 30 tahun setelah Sukarno meninggal dalam status tahanan rumah, mantan presiden Soeharto mulai diadili—untuk urusan korupsi.

Kendati tragis, pengadilanlah—dan semestinya hanya pengadilan—yang membuat negeri ini mampu melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri, dengan salah satu anaknya yang pernah sangat berkuasa.

Namun, apa yang berlangsung pekan lalu lebih mirip perhelatan pesta spektakuler. Karena alasan keamanan dan kelonggaran ruang, sidang pengadilan dialihkan dari Jakarta Pusat—tempat yang semestinya—ke Gedung Pertemuan Departemen Pertanian di Jakarta Selatan. Dekorasi interiornya dipoles mirip panggung teater besar.

”Pesta” di luar gedung tak kurang meriahnya. Ribuan manusia terlihat menyemut, berharap menyaksikan peristiwa besar. Kamera televisi menyiarkannya secara langsung ke setiap bilik rumah, di sini dan ke mancanegara. Puluhan aparat keamanan tampak berjajar di depan pagar kompleks, memeriksa siapa saja yang masuk ruang. Panggung besar, penonton melimpah. Namun, teater ini tak menghadirkan aktor utamanya: Soeharto.

Pengunjung sidang, katanya, akan diseleksi dengan ketat, tapi itu tidak sepenuhnya dilakukan. Beberapa warga dan wartawan yang tidak mengantongi kartu pengenal khusus, sebagai syarat mengikuti sidang, juga bisa masuk aula tempat sidang digelar. Bisa jadi ”penyelenggara” sudah tahu lebih dini bahwa terdakwa akan absen. Sebelumnya memang sudah beredar kabar bahwa Soeharto akan beralasan sakit dan ternyata benar.

Meski terbilang lancar, itu bukan berarti tidak ada gangguan sama sekali. Malam menjelang sidang berlangsung, sebuah petasan berukuran besar meledak tepat di bawah sebuah metromini. Kendaraan yang hancur tersebut diparkir sekitar 500 meter dari kompleks sidang itu. ”Tidak tertutup kemungkinan peledakan itu terkait dengan persidangan Pak Harto,” kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Rusdihardjo.

Upaya secara suntuk mempengaruhi jalannya persidangan juga terlihat dari banyaknya unjuk rasa, meski berskala kecil, yang digelar oleh kelompok pendukung Soeharto. Salah satu demonstran bahkan mengakui terus terang dirinya dibayar. ”Katanya, kalau ikut demo, diberi makan siang dan uang Rp 20 ribu,” kata Uji, salah satu peserta unjuk rasa pro-Soeharto di depan kompleks tersebut, kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO.

Di sisi lain, absennya Soeharto membuat persidangan menjadi tidak menarik dan percuma. Soal lama, tentang kondisi kesehatan terdakwa, kembali disinggung. Perdebatan antara jaksa penuntut umum Muchtar Arifin dan tim pembela yang dipimpin Juan Felix Tampubolon hanya sebentar dan hanya berkutat soal surat keterangan dokter yang menyatakan terdakwa sakit. Karena jaksa penuntut umum tidak bisa menghadirkan terdakwa, Lalu Mariyun, ketua majelis hakim, memutuskan untuk melanjutkan sidang pada 14 September. Sedangkan agenda sidang selanjutnya adalah mendengarkan kesaksian dokter pribadi dan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang ditunjuk kejaksaan.

Kabar soal Soeharto sakit bukanlah hal baru. Sejak terkena stroke pada 20 Juli 1999, kondisi kesehatan Soeharto menurun dratis. Hasil pemeriksaan tim doker pribadi dan dari Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo, Maret silam, menyimpulkan Soeharto menderita berbagai penyakit—trauma pasca-stroke, sakit jantung, dan kencing manis. Bahkan, disebut juga tentang daya ingatnya yang tajam berkurang.

Akibatnya, pengusutan kasus tersebut menjadi tersendat-sendat. Setelah pemeriksaan pertama, 9 Desember 1998, tercatat hanya dua kali pihak kejaksaan secara langsung menginterogasinya. Itu pun dengan cara tim pemeriksa yang bertandang ke Cendana. Pada pemeriksaan 3 dan 10 April lalu, Soeharto hanya mampu menjawab dua pertanyaan karena tensi darahnya naik. Jawaban yang diberikan juga memakai kalimat yang sederhana.

Kondisi kesehatan adalah titik krusial bisa-tidaknya Soeharto diadili. Selama ini, faktor sakit ini belum tuntas diperdebatkan antara kejaksaan dan pihak pengacara. Pihak kejaksaan sering ”kalah” oleh argumentasi pihak pembela Soeharto. Keputusan menginterogasi terdakwa di rumahnya di Jalan Cendana—semestinya di Gedung Kejaksaan—adalah salah satu buktinya.

Keterangan lebih dari 130 orang saksi—termasuk anak-anak Soeharto dan para pejabat semasa Orde Baru—yang telah dihimpun kejaksaan selama hampir dua tahun tampaknya akan mubazir. Dokumen setebal 3.500 halaman yang disusun oleh kejaksaan untuk mengungkap tindak korupsi mantan ”raja” Indonesia itu juga tidak akan berarti banyak. ”Percuma saja,” kata pakar hukum Prof. Andi Hamzah, ”Selama ia sakit, pengadilan tidak akan jalan.”

Pengamat hukum sekaligus pengacara, Todung Mulya Lubis, punya komentar serupa. ”Selama alasan sakit diterima oleh majelis hakim, yang bersangkutan tidak akan bisa diadili,” ujarnya. Dan kondisi sakit itu pula yang akan membentengi Soeharto dari sentuhan tangan hukum. Tidak aneh jika absennya Soeharto di pengadilan tidak mengejutkan banyak pihak, termasuk Jaksa Agung Marzuki Darusman sendiri. ”Saya memang sudah memperhitungkan kemungkinan ini,” katanya.

Lantas, mengapa kejaksaan nekat membawa kasus tersebut ke pengadilan jika tahu akan percuma? ”Bisa jadi Jaksa Agung mencoba cuci tangan dan melempar bebannya itu ke pengadilan,” ujar Andi Hamzah. Jika Soeharto tidak bisa diadili, yang disalahkan adalah pihak pengadilan.

Melihat catatan perjalanan pengusutan kasus Soeharto, pendapat Andi Hamzah tersebut tidaklah berlebihan. Selama ini, aksi demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa sering memang tertuju pada kinerja Kejaksaan Agung. Bahkan, peningkatan status hukum Soeharto sepertinya hanya sekadar meredam gejolak tersebut. Saat unjuk rasa mahasiswa marak Maret silam, kejaksaan menaikkan status Soeharto menjadi tersangka. Dan saat tahanan kota dan rumah diputuskan Marzuki Darusman pun, itu didahului oleh gelombang unjuk rasa mahasiswa.

Tidak hanya itu. ”Peradilan Soeharto itu sepertinya hanya sebagai komoditi politik belaka. Kalau ada persoalan politik, kasus tersebut dimunculkan,” kata Zoelvan Lindan, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Bisa jadi. Rencana Marzuki memindahkan Soeharto dari Cendana, tanpa argumentasi yang kuat, awal Juni silam, juga disebut-sebut untuk mengalihkan perhatian publik terhadap kasus Buloggate dan Bruneigate—dua skandal yang bisa menurunkan kredibilitas Presiden Abdurrahman Wahid.

Tudingan bahwa peradilan Soeharto hanya sebagai konsumsi politik juga terlihat dari fokus tuduhan Kejaksaan Agung. Surat dakwaan 45 halaman itu hanya mengupas penggunaan keuangan tujuh yayasan yang dipimpin oleh Soeharto. ”Masyarakat memang banyak yang sinis dan skeptis,” kata Todung.

Padahal, peluang menyeretnya cukup banyak. ”Seharusnya Soeharto digugat sebagai mantan presiden, bukan sebagai pribadi, karena penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di pemerintahan Soeharto tidak melulu soal KKN, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Todung Mulya Lubis. Salah satu peluang tersebut, kata Todung, adalah ”pengakuan Soeharto kala menyebut bahwa penembakan misterius adalah atas perintahnya, yang sudah melanggar hak asasi manusia.”

Lantas, mengapa dakwaan tidak terfokus pada Soeharto sebagai mantan presiden? Todung melihat ada alasan politis. ”Akan banyak kaitannya dengan berbagai pihak yang kini masih berperan, baik di pemerintahan maupun di lembaga MPR/DPR,” ujarnya.

Sebagian pejabat pemerintahan serta pucuk pimpinan lembaga tinggi negara yang kini berkuasa adalah mantan petinggi Orde Baru. Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita, misalnya, bahkan menteri—alias pembantu—Soeharto. Begitu juga Marzuki Darusman sendiri, sang Jaksa Agung, yang pernah menjadi petinggi Golkar, mesin politik Orde Baru.

Terlalu politis? Tudingan tidak sedap itu dibantah Marzuki Darusman. ”Ini murni proses hukum,” katanya. Keputusan membawa berkas kasus Soeharto ke pengadilan, menurut Marzuki, tidak ada hubungannya dengan kondisi politik yang ada. Sebab, tahap-tahap proses hukum yang dilakukan pihaknya sudah sesuai dengan aturan yang ada.

Melihat peluang memidanakan Soeharto hampir tidak mungkin, Andi Hamzah mengusulkan agar pemerintah menggugat secara perdata. ”Hartanya bisa disita tanpa terkait dengan kondisi kesehatan tergugat,” ujarnya. Usulan itu sebenarnya sejalan dengan niat Presiden Abdurrahman Wahid. Berkali-kali Presiden menegaskan akan mengampuni Soeharto jika ia mengembalikan hartanya.

Namun, cara itu juga bukan hal mudah. Selama ini, persoalan pelik yang dihadapi Kejaksaan Agung justru melacak keberadaan harta itu. Usaha melacak simpanan Soeharto di luar negeri yang disebut-sebut sampai US$ 45 miliar tidak menemukan hasil. Andi M. Ghalib dan Muladi, saat menjabat Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman, bahkan pernah bertolak ke Swiss dan Austria untuk mengecek kebenaran berita tranfer US$ 9 miliar milik Soeharto ke negara tersebut. Hasilnya nihil.

Namun, terlepas dari banyaknya suara miring dan pesimistis, membawa Soeharto ke pengadilan patut diberi catatan tersendiri. ”Langkah tersebut bisa menunjukkan bahwa tidak ada orang yang tidak tersentuh hukum,” kata Todung Mulya Lubis. Keputusan tersebut juga akan ikut mengangkat kredibilitas pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam penegakan hukum—salah satu agenda reformasi terpenting. Terlebih jika itu dilakukan lebih serius.

Sungguh ini merupakan peristiwa yang sangat bersejarah. Pengadilan itu tak hanya sesuai dengan tuntutan orang banyak terhadap rasa keadilan. Pengadilan itu juga akan menjadi wujud pencarian jiwa yang paling mendalam—kendati menyakitkan—untuk membantu negeri ini keluar dari krisisnya. Untuk menghindari tragedi sejenis di masa depan.

Johan Budi S.P., Hendriko L. Wiremmer, Karina A. Anom, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus