SEJAK terusir dari Aceh (1966), warga Cina RRC ini memang kurang
diperhatikan. Orang baru ramai membicarakannya bila terjadi
keributan di tempat penampungan yang terserak di enam tempat di
Kotamadya Medan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, Sumatera
Utara.
Misalnya 1966 lalu, penampungan di Jalan Meranti Medan, dikepung
pasukan ABRI bersenjata lengkap ketika dua orang petugas Kodim
Medan (Mayor Dt Anwar Bey dan Kapten Ramli dikeroyok warga RRC
itu.
Di penampungan Kampung Lalang Sunggal, beberapa waktu lalu juga
jadi perhatian ketika 3 petugas Kejaksaan Negeri Medan diikat
oleh mereka dan baru lepas setelah diturunkan sejumlah satuan
polisi.
Terakhir ini mereka dibicarakan lagi ketika seorang wartawan
disekap karena memotret perjudian di tempat itu.
Status mereka sampai sekarang belum jelas. Usman Bibon sendiri
selaku Kepala Desa Lalang tak tahu bagaimana status 54 KK
(sekitar 270 jiwa) Cina eks Aceh yang mendiami kompleks seluas
kurang lebih 2 Ha di kawasan desanya.
"Kami hanya boleh mengutip Ipeda dan pajak rumah tangga. Yang
lain urusan tim," ujar Usman Bibon, bekas stat Pendam II/Bukit
Barisan, asal Aceh. Malah urusan surat-menyurat yang biasanya
dilola Kepala Desa, untuk kompleks itu semua diurus oleh tim.
Huang-Hua
Cin Ci Pin, 50 tahun, alias Si Pekak ditunjuk sebagai ketua
kompleks. Dialah yang mengelola semua urusan administrasi atau
apa saja yang menyangkut warga kompleks. Rumahnya mirip kantor
Kepala Desa: ada map-map tersusun rapi. Si Pekak yang kerjanya
sehari-hari tukang gigi itu cukup sibuk dengan urusan warganya.
Di pintu masuk kompleks, Si Pekak memajang papan pengumuman
"Orang di luar dilarang masuk kompleks dari jam 24. 00 sampai
jam 05.00 wib. " Orang-orang Cina di sana selalu melotot curiga
terhadap orang yang dianggapnya asing.
Ada dua kedai kopi dilengkapi dua meja bilyar, sebuah pabrik
tepung tapioka dan beberapa industri kerajinan tangan yang
semuanya tak punya izin. "Selain home industri itu mereka
bekerja juga memburuh ke Medan," ujar Usman Bibon. Ada yang
menjaga toko, jadi buruh bengkel, dan sebagainya. "Umumnya
kehidupan mereka sulit," tambah Bibon.
Sejak kompleks itu berdiri di Desa Lalang (1970), tak satu pun
warga RRC di sana yang membayar pajak bangsa asing. Apalagi
Bibon sendiri tak pernah tahu status kewarganegaraan mereka. Itu
gambaran di Kampung Lalang, salah satu dari enam kompleks
penampungan Cina RRC eks Aceh tersebut.
Kisah orang-orang usiran ini memang menarik. Kisah ini dimulai
1966 ketika sedang maraknya aksi pengganyangan G-30-S/PKI, yang
rupanya membuat Cina-Cina di Aceh merasa tak aman lalu lari ke
Medan secara bergelombang mulai Agustus 1966 sampai Pebruari
1967. Jumlahnya 2130 KK atau 10.921 jiwa, mereka menyerah di
Kodim.
Mereka ditempatkan di bangsal-bangsal tembakau di Kuala Begumit
Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat di Tandem Kecamatan Hamparan
Perak Kabupaten Deli Serdang dan di Kelenteng Cina Jalan
Meranti.
Untuk menangani mereka, Pepelrada Sumatera Utara (semacam
Laksusda ketika itu) membentuk tim yang disebut Team
Pemberangkatan Warga RRC tingkat I Sumatera Utara. Tim inilah
yang memproses warga terusir itu kembali ke tanah leluhurnya:
RRC.
Pemerintah RRC sempat mengirim kapal "Huang Hua" ke Belawan, 3
Oktober 1966, mengangkut 1005 jiwa. Selanjutnya 20 Nopemher 1966
(1076 jiwa) 29 Januari 1967 (1070 jiwa) dan 6 Mei 1967 (1100
jiwa). Tapi setelah empat kali mondar-mandir ke Belawan dari
RRC, entah apa sebabnya"Huang Hua" tak muncul lagi.
Sementara itu ada yang tak sabar menunggu munculnya "Huang Hua",
pulang lewat Macao dengan ongkos sendiri, diurus oleh "Husin
Travel Service" Medan. Tapi jumlahnya hanya 4 KK(18 jiwa).
Sisanya, 6652 jiwa lagi, menetap di barak-barak penampungan.
Bantuan pernah sekali diberikan: « kg beras perjiwa oleh Dinas
Sosial dan obat-obatan dari PMI. Selebihnya mencari biaya hidup
sendiri, misalnya membuka usaha industri rumah tangga, seperti
sapu, keset kaki, roti. Atau menghabiskan sisa uang dari Aceh,
atau mendapat bantuan dari orang-orang Cina lain di Medan.
Tahun 1970, atas persetujuan Muspida Sumatera Utara, mereka
dipindahkanke kompleks-kompleks dengan biaya sendiri. Gubernur
hanya membantu transportasi. Dari mana biaya mereka? "Mereka
banyak yang menjual rumah yang ditinggalkannya dulu di Aceh,"
ujar M. Yazir, Sekretaris Tim.
Ada enam pemukiman di Desa Lalang, Kecamatan Medan Sunggal
sebanyak 270 jiwa (54 KK), Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli
2175 jiwa (390 KK), di Desa Sungai Agul, Kecamatan Medan Barat
205 jiwa (32 KK), di Desa Mulyo Rejo Kecamatan Sunggal. Deli
Serdang 1.093 jiwa (193 KK), di Puwodadi Kecamatan Sunggal 961
jiwa (187 KK) dan di Desa Perdamaian Kecamatan Stabat Langkat
710 jiwa 128 KK).
Menurut Yazir, tanah di sana ada yang mereka beli dan ada yang
disewa dari penduduk. Mereka juga berdagang seperti biasa. Di
Tanjung Mulia ada pabrik tepung tapioka, 4 bengkel mobil, 1
hilang mie telor, 4 pabrik es bombon 1 pabrik cabe botol, pabrik
tas, pabrik kerupuk.
Orang Yang Terusir
Diakui Yazir, banyak di antara usaha itu yang tidak punya izin
tapi ia membantah tuduhan bahwa timnya melindungi usaha gelap
itu. "Kami sering menyarankan agar mereka mematuhi peraturan
pemerintah," katanya. Tapi ia tidak m mbantah bahwa sampai
sekarang warga di sana tak pernah membayar pajak bangsa asing.
"Mereka minta statusnya diperjelas dulu, baru mau membayar
pajak," kata Yazir.
Tim sendiri bermaksud menyelesaikan status mereka tapi sampai
sekarang masih di tangan Menteri Dalam Negeri. Gubernur Sumatera
Utara dalam suratnya 31 Mei 1979 telah memerintahkan agar
dilaksanakan penyelesaian administrasi mereka.
Meskipun sejak itu mereka disensus, tapi sampai sekarang KTP
belum bisa diberikan, karena status mereka "masih belum ada
ketentuan dari Menteri Dalam Negeri," kata Yazir pula.
Sementara status mereka masih tak jelas, kegiatan hidup
sehari-hari penghuni kompleks ini diurus oleh tim tadi Kompleks
di Desa Lalang, sekarang sudah lebih menggembung menjadi semacam
perkampungan Cina yang besar. Di sekelilingnya sudah berdiri
rumah-rumah warga Cina Medan.
Menurut Usman Bibon, Cina-Cina Medan itu korban penggusuran
proyek Petisah dan kebakaran di Sukaramai. Mereka berjumlah
lebih kurang 100KK (600 jiwa).
Bahwa mereka penuh curiga memandang orang asing, Usman Bibon,
Kepala Desa, punya penjelasan. "Maklumlah orang yang terusir dan
mengalami nasih morat-marit, jadi mereka murah marah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini