Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sejarah sebuah koloni tertutup

Perkembangan kompleks penampungan cina rrc di medan yang terusir dari aceh tahun 1966. terdapat 6 kompleks yang dihuni 5.000 jiwa tanpa status kependudukan yang jelas. (kt)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK terusir dari Aceh (1966), warga Cina RRC ini memang kurang diperhatikan. Orang baru ramai membicarakannya bila terjadi keributan di tempat penampungan yang terserak di enam tempat di Kotamadya Medan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, Sumatera Utara. Misalnya 1966 lalu, penampungan di Jalan Meranti Medan, dikepung pasukan ABRI bersenjata lengkap ketika dua orang petugas Kodim Medan (Mayor Dt Anwar Bey dan Kapten Ramli dikeroyok warga RRC itu. Di penampungan Kampung Lalang Sunggal, beberapa waktu lalu juga jadi perhatian ketika 3 petugas Kejaksaan Negeri Medan diikat oleh mereka dan baru lepas setelah diturunkan sejumlah satuan polisi. Terakhir ini mereka dibicarakan lagi ketika seorang wartawan disekap karena memotret perjudian di tempat itu. Status mereka sampai sekarang belum jelas. Usman Bibon sendiri selaku Kepala Desa Lalang tak tahu bagaimana status 54 KK (sekitar 270 jiwa) Cina eks Aceh yang mendiami kompleks seluas kurang lebih 2 Ha di kawasan desanya. "Kami hanya boleh mengutip Ipeda dan pajak rumah tangga. Yang lain urusan tim," ujar Usman Bibon, bekas stat Pendam II/Bukit Barisan, asal Aceh. Malah urusan surat-menyurat yang biasanya dilola Kepala Desa, untuk kompleks itu semua diurus oleh tim. Huang-Hua Cin Ci Pin, 50 tahun, alias Si Pekak ditunjuk sebagai ketua kompleks. Dialah yang mengelola semua urusan administrasi atau apa saja yang menyangkut warga kompleks. Rumahnya mirip kantor Kepala Desa: ada map-map tersusun rapi. Si Pekak yang kerjanya sehari-hari tukang gigi itu cukup sibuk dengan urusan warganya. Di pintu masuk kompleks, Si Pekak memajang papan pengumuman "Orang di luar dilarang masuk kompleks dari jam 24. 00 sampai jam 05.00 wib. " Orang-orang Cina di sana selalu melotot curiga terhadap orang yang dianggapnya asing. Ada dua kedai kopi dilengkapi dua meja bilyar, sebuah pabrik tepung tapioka dan beberapa industri kerajinan tangan yang semuanya tak punya izin. "Selain home industri itu mereka bekerja juga memburuh ke Medan," ujar Usman Bibon. Ada yang menjaga toko, jadi buruh bengkel, dan sebagainya. "Umumnya kehidupan mereka sulit," tambah Bibon. Sejak kompleks itu berdiri di Desa Lalang (1970), tak satu pun warga RRC di sana yang membayar pajak bangsa asing. Apalagi Bibon sendiri tak pernah tahu status kewarganegaraan mereka. Itu gambaran di Kampung Lalang, salah satu dari enam kompleks penampungan Cina RRC eks Aceh tersebut. Kisah orang-orang usiran ini memang menarik. Kisah ini dimulai 1966 ketika sedang maraknya aksi pengganyangan G-30-S/PKI, yang rupanya membuat Cina-Cina di Aceh merasa tak aman lalu lari ke Medan secara bergelombang mulai Agustus 1966 sampai Pebruari 1967. Jumlahnya 2130 KK atau 10.921 jiwa, mereka menyerah di Kodim. Mereka ditempatkan di bangsal-bangsal tembakau di Kuala Begumit Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat di Tandem Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang dan di Kelenteng Cina Jalan Meranti. Untuk menangani mereka, Pepelrada Sumatera Utara (semacam Laksusda ketika itu) membentuk tim yang disebut Team Pemberangkatan Warga RRC tingkat I Sumatera Utara. Tim inilah yang memproses warga terusir itu kembali ke tanah leluhurnya: RRC. Pemerintah RRC sempat mengirim kapal "Huang Hua" ke Belawan, 3 Oktober 1966, mengangkut 1005 jiwa. Selanjutnya 20 Nopemher 1966 (1076 jiwa) 29 Januari 1967 (1070 jiwa) dan 6 Mei 1967 (1100 jiwa). Tapi setelah empat kali mondar-mandir ke Belawan dari RRC, entah apa sebabnya"Huang Hua" tak muncul lagi. Sementara itu ada yang tak sabar menunggu munculnya "Huang Hua", pulang lewat Macao dengan ongkos sendiri, diurus oleh "Husin Travel Service" Medan. Tapi jumlahnya hanya 4 KK(18 jiwa). Sisanya, 6652 jiwa lagi, menetap di barak-barak penampungan. Bantuan pernah sekali diberikan: « kg beras perjiwa oleh Dinas Sosial dan obat-obatan dari PMI. Selebihnya mencari biaya hidup sendiri, misalnya membuka usaha industri rumah tangga, seperti sapu, keset kaki, roti. Atau menghabiskan sisa uang dari Aceh, atau mendapat bantuan dari orang-orang Cina lain di Medan. Tahun 1970, atas persetujuan Muspida Sumatera Utara, mereka dipindahkanke kompleks-kompleks dengan biaya sendiri. Gubernur hanya membantu transportasi. Dari mana biaya mereka? "Mereka banyak yang menjual rumah yang ditinggalkannya dulu di Aceh," ujar M. Yazir, Sekretaris Tim. Ada enam pemukiman di Desa Lalang, Kecamatan Medan Sunggal sebanyak 270 jiwa (54 KK), Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli 2175 jiwa (390 KK), di Desa Sungai Agul, Kecamatan Medan Barat 205 jiwa (32 KK), di Desa Mulyo Rejo Kecamatan Sunggal. Deli Serdang 1.093 jiwa (193 KK), di Puwodadi Kecamatan Sunggal 961 jiwa (187 KK) dan di Desa Perdamaian Kecamatan Stabat Langkat 710 jiwa 128 KK). Menurut Yazir, tanah di sana ada yang mereka beli dan ada yang disewa dari penduduk. Mereka juga berdagang seperti biasa. Di Tanjung Mulia ada pabrik tepung tapioka, 4 bengkel mobil, 1 hilang mie telor, 4 pabrik es bombon 1 pabrik cabe botol, pabrik tas, pabrik kerupuk. Orang Yang Terusir Diakui Yazir, banyak di antara usaha itu yang tidak punya izin tapi ia membantah tuduhan bahwa timnya melindungi usaha gelap itu. "Kami sering menyarankan agar mereka mematuhi peraturan pemerintah," katanya. Tapi ia tidak m mbantah bahwa sampai sekarang warga di sana tak pernah membayar pajak bangsa asing. "Mereka minta statusnya diperjelas dulu, baru mau membayar pajak," kata Yazir. Tim sendiri bermaksud menyelesaikan status mereka tapi sampai sekarang masih di tangan Menteri Dalam Negeri. Gubernur Sumatera Utara dalam suratnya 31 Mei 1979 telah memerintahkan agar dilaksanakan penyelesaian administrasi mereka. Meskipun sejak itu mereka disensus, tapi sampai sekarang KTP belum bisa diberikan, karena status mereka "masih belum ada ketentuan dari Menteri Dalam Negeri," kata Yazir pula. Sementara status mereka masih tak jelas, kegiatan hidup sehari-hari penghuni kompleks ini diurus oleh tim tadi Kompleks di Desa Lalang, sekarang sudah lebih menggembung menjadi semacam perkampungan Cina yang besar. Di sekelilingnya sudah berdiri rumah-rumah warga Cina Medan. Menurut Usman Bibon, Cina-Cina Medan itu korban penggusuran proyek Petisah dan kebakaran di Sukaramai. Mereka berjumlah lebih kurang 100KK (600 jiwa). Bahwa mereka penuh curiga memandang orang asing, Usman Bibon, Kepala Desa, punya penjelasan. "Maklumlah orang yang terusir dan mengalami nasih morat-marit, jadi mereka murah marah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus