SEORANG wartawan yang membantu sebuah grup penerbitan di Jakarta
yang berkantor di Medan Baru mendapat info ada judi
besar-besaran di kompleks penampungan Cina RRC eks Aceh di
Kampung Lalang, dalam jumlah omzet ratusan jura. Info itu
diterimanya jam 11.00 Senin 24 September. Tapi karena masih ada
kerja yang harus diburu dikirim ke Jakarta, baru jam 14.00,
dengan selop jepit dan pakaian agak kumuh, dia ke Kampung Lalang
mengendarai motor Yamaha biru. Tustel dimasukkan ke dalam
baunya.
Memasuki kompleks tanpa dicurigai (karena berpakaian kumuh itu),
Julius Rivai, sang wartawan berhasil mendapati sebuah rumah
melalui beberapa lorong yang di dalamnya sedang berkecamuk
orang-orang Cina main judi. Tak ayal, ia memotret. Tapi dalam
sekejap lehernya dipiting oleh salah seorang samseng yang
bernama Hongli. Terjadi tarik-menarik kamera.
"Siapa kau?" tanya Hongli.
"Saya wartawan," jawab sang wartawan.
Hongli memaksa minta kartu wartawan, tapi ditolak. Kemudian
beberapa oknum ABRI dan Polri yang sejak tadi berjaga-jaga ada
yang menganjurkan: "Sudah, kalau saudara wartawan tunjukkan saja
kartu saudara." Tapi wartawan itu tak mau menunjukkan kartu
identitasnya.
Sejumlah anak muda dan samseng-samseng lainnya mengepwng,
disaksikan oknum-oknum ABRI dan Polri itu, sambil ketawa-ketawa.
Di tangan para samseng dan beberapa preman pribumi tampak
beberapa pisau dan parang, tapi dibungkus kertas koran. Tak
lama kemudian muncul A Guan, katanya "Saudara jangan ganggu kami
cari makan. Kalau saudara mau minta uang, ya, damai-damai saja."
Boss Kami
Wartawan itu lalu dibawa ke sebuah kedai kopi. Kameranya sudah
disita A Guan, sang samseng yang badannya kayak raksasa itu.
"Saudara jangan melawan. Jika saudara tidak mau memberikan film
itu nyawa saudara tergantung pada lonceng ini," ancam A Guan
yang mendekati sebuah lonceng di kedai kopi itu. "Kalau
lonceng ini saya pukul sekali, saudara akan mati kami bunuh,"
kata A Guan.
Sang wartawan akhirnya mengalah karena merasa nyawanya kini
terancam. Film itu kemudian diserahkan pada A Guan. Tetapi
kameranya, Canon FT, masih ditahan.
Sekitar 1 jam, muncul 2 wartawan lain. Seorang dikenal sebagai
pembantu penerbitan sebuah majalah Jakarta, namanya EP. Mereka
menuju ke arah belakang kedai kopi setelah ngomong-ngomong
dengan seorang oknum ABRI yang mengawal kompleks perjudian
tersebut.
"Dia wartawan dan kawan saya," kata EP pada oknum tersebut. Tak
lama setelah EP dan kawannya keluar dari kompleks (mungkin
setelah terima amplop), perlakuan terhadap wartawan yang disekap
mulai lunak. Lalu dia minta dibebaskan. "Tunggu, apa kata boss
kami," kata Hongli. Yang disebut-sebut boss rupanya bandar judi
yang bernama A Hai, pengusaha taxi di Jalan Bogor.
Hongli dan A Guan berunding dengan si boss di belakang kedai
kopi. Lalu muncul Hongli sambil membawa kamera. "Sudahlah, kita
damai-damai saja. Janganlah ganggu kami cari makan dan jangan
coba-coba membuat laporan mengenai judi di sini. Nanti kami
bunuh saudara," kata Hongli. "Itu kawan yang 2 orang tadi kita
sudah kasih uang dan damai-damai. Kita juga mau kasih uang Rp
10.000 kepada sauN dara dan terimalah ini," kata A Guan sambil
menyodorkan lembaran Rp 10.000.
Wartawan itu menampik dan hanya minta kameranya diserahkan.
Pertengkaran terjadi lagi. "Jadi saudara tidak mau menerima uang
ini? Tidak mau damai-damai? " paksa Hongli. Sang wartawan
mengatakan, damai boleh saja, tapi tak perlu memberikan uang.
"Yang penting lepaskan saya, urusan selesai. Film kalau saudara
mau, ambil saja. Dan tustel kembalikan kepada saya," kata
wartawan.
Angker
Nampaknya Hongli dan A Guan lunak setelah berunding lagi dengan
si boss. Pada jam 19.00 malam barulah si wartawan dibebaskan.
"Aku betul-betul kehilangan semangat, " katanya setelah bebas.
Ia singgah di mesjid dekat Markas Kodam 11 Bukit Barisan Jalan
Binjai itu dan sembahyang magrib.
Setelah kejadian itu, 27 September lalu sang wartawan melapor
kepada polisi Medan dengan tembusan ke Kadapol II dan PWI Cabang
Medan. Dia memang tidak bisa mendiamkan perlakuan terhadap
dirinya, karena setelah bebas sudah 2 kali mengalami intimidasi.
Sebelum ke kompleks tersebut wartawan itu telah menjumpai Letkol
Jakob Rawi dari Dirsus Kantor Gubernur Sumatera Utara, yang jadi
ketua tim penampungan Cina-cina eks RRC di kompleks tersebut
merangkap Ketua Bakom-PKB setempat. Tentang judi itu dilaporkan
pula. "Saya tidak tahu ada judi di sana. Tetapi nanti saya suruh
cek ke Seksi I Kodim Medan Kota," kata Jakob. Dan ketika sang
wartawan hendak pergi, Jakob berpesan lagi: "Tulislah baik-baik,
jangan sampai orang salah sangka terhadap kompleks tersebut
bahwa tempat itu begitu angker."
Sebelum wartawan itu menuliskan pengalamannya, ia mengalami
pengalaman lain yang nyaris meminta nyawanya. Dan besoknya
memang ada penggerebekan di kompleks perjudian itu. Konon ada 11
pemain judi yang ditangkap, tapi kemudian dilepaskan lagi.
Kini kompleks tersebut sudah sunyi dari kegiatan judi. Tapi
mendadak muncul di Brahrang, dekat Kotamadya Binjai.
Penggeraknya juga disebut nama Liem A Ba dan Liem Seng, yang
berumah di Jalan Mesjid Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini