Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Regenerasi, dengan blangkon

Lomba perancang mode indonesia 79, diselenggarakan oleh majalah femina & gadis. samuel j.d. wattimena, 18, anak sma kebayoran meraih hadiah nomor satu dalam lomba tersebut. diikuti 214 peserta. (ils)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BLANGKON Jawa dan caping desa Sunda menang dalam cahaya mewah Hotel Borobudur Inter-Continental Jalarta. Perancang mode terkenal Iwan Tirta dan Prayudi belum tersingkir, tapi tiba-tiba mereka ditimbrungi sejumlah anak muda. Antara lain seorang berumur 18 tahun dan murid SMA. Apa sebenarnya yang terjadi? Ketika majalah Femina dan Gadimengadakan lomba perancang mode Indonesia dengan final 28 September yang lalu, yang terjadi ialah semacam "regenerasi" Dan orang yang mengira bahwa pengaruh dunia mode kota besar cuma berhenti di Jakarta atau Bandung, kecele. Sejak Februari tahun ini, majalah tersebut mulai menerima ratusan peserta untuk lomba perancang mode. Mulai dari Aceh sampai Irian Jaya. Dalam segala umur. Mereka hanya diminta nengirimkan sketsa model baju berikut guntingan kain untuk tiap model minimum enam--dan sebuah tulisan yang berisi pendapatnya mengenai dunia mode. Tahap pertama, peserta disaring dan hanya 214 peserta yang dianggap memenuhi syarat. Akhirnya para juri memilih, 3 peserta. Dan untuk memilih finalis sebanyak 10 peserta, diminta bantuan juri dari luar Femina dan Gadis. Iwan Tirta dan Prayudi. Latar belakang pendidikan para peserta cukup beragam. Seorang sarjana senirupa, tiga mahasiswa, dua orang masih duduk di SMA, tiga orang pernah lalu pelajaran tentang mode di luar negeri dan seorang tamatan SMA yang kini jadi karyawan sebuah kantor. Dari mana mereka belajar? "Saya belajar mode dari majalah seperti News Week atau majalah asing lainnya yang kebetulan saya bisa pinjam," ujar Rudi Oentoro, 24 tahun, karyawan pabrik petasan di Malang. Rudi berhasil memenangkan nomor tiga. Dari keenam baju karya Rudi, nampak dia telah "meminjam" blangkon, tutup kepala Jawa yang banyak terl hat di desa sekitar Yogya-Sala itu. Cuma blangkon Rudi dibuat lebih tipis, dari kain shantung dan dengan diimbuhi bulu-bulu atau kain tulle. Tampaknya bergengsi juga, mungkin karena yang pakai peragawati, misalnya Okky yang memakai Mawar Sekar Ayu ciptaan Rudi yang berwarna putih. Ini pakaian malam resmi -- tentu saja menurut aturan Barat. Rudi mendapat ide tentang vest-nya dari kebaya Jakarta dengan bordiran di ujung bawah dan bahu. Model deux-pieee ini terbuat dari bahan georette. Rudi orang Jawa Timur ini selalu nemakai nama Jawa untul karyanya misalnya Sekar Kedaton, tetapi yang penting ialah bahwa dia mencoba memakai bahan yang ada di Indonesia. Pantsuit dari satinnya dikombinasikan dengan blus dari batik Sidoardjo--yang bisa dibawa melancong ke disko. Kehendak memadukan Indonesia dan Barat seperti ini--betapapun cuma di permukaan--juga nampak pada pemenang kedua, Chossy Latu, 21 tahun. Ia pernah kursus di London dan Paris untuk urusan mode. Karena di sana dia rupanya banyak kesempatan melihat opera atau ballet, karya-karyanya memang seronok kalau dipakai para artis. Tapi untuk wanita kantor atau rumah tangga . . . Di samping itu, pilihan Chossy akan bahan baju hanya bisa diraih mereka yang berkantong tebal. Karena selain bahan brokat kelas satu, dia juga seakan-akan menganjurkan pemakaian bahan-bahan seperti lamee atau beludru (yang halus). Chossy Latu mungkin tak terlalu orisinil, tapi banyak juga peserta yang masuk final yang cukup "asli". Misalnya Cynthia Sujanto, 23 tahun, mahasiswi Seni Rupa ITB. Ia mencoba mengawinkan baju gaya Aceh dengan selempangan selendang sebagai modifikasi sarung yang oleh kaum pria sering diselempangkan begitu saja dengan gaya miring. Nabi Pemakaian unsur-unsur Indonesia seperti ini bisa tambah sempurna kalau diterapkan dengan tepat. Seperti misalnya pada karya Andrini, 24 tahun, Arsitektur ITB, yang memadukan batik cinde dengan segala model. Andrini juga menampilkan pemakaian caping. Cinde yang diberi pailletjes, seronok sekali dikombinasikan dengan voile putih. Yang menjadi pertanyaan hanyalah, apakah cinde ini tidak luntur kalau dicuci? Sayang, juri tidak menjatahkan Andrini sebagai salah satu dari tiga pemenang. Peran warna juga mempengaruhi model. Misalnya Anne Rufaidah, 17 tahun SMAN Bandung, terlalu mencampuradukkan beberapa warna kontras berikut model, yang ramai bak lalu lintas jalan Asia Afrika, Bandung. Sehingga karyanya yang bernama Cinde Rinengga Dewata, berbentuk jumpsuits dengan embel-embel tutup bahu, mirip bajunya Superman Jawa. Beda dengan peserta termuda Samucl J.D. Wattimena. Ia baru 18 tahun, anak SMA Kebayoran, tapi ia meraih hadiah nomor satu. Sam menitik beratkan warna hitam dan putih untuk keenam kreasinya. Untuk model kebaya. Sam hanya memakai warna putih secara menyeluruh. Idenya diambil dari kebaya Jawa pada bagian leher, dengan penekanan khusus untuk lengan yang dibuat gaya jas. Juga penekanan bentuk pinggang, rok bawah panjang yang diberi pleats untuk meniru wiron, berhasil menghasilkan kreasi dengan kesan anggun. Gebrakan Sam yang lain ialah idenya tentang sekatenan--upacara tradisional Yogya untuk memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad. Surjan dipermak, dan keris diganti dengan pita bagaikan kipas melingkar. Dengan kipas pandan yang dicat emas, ikat pinggang dari kain kuning yang mirip ujung kemben, konde rambut diberi beberapa tusuk konde goyang, pakaian malam itu menjadi resmi. Dengan harga yang tidak mencekik leher. Sam juga menaikkan gengsi tudung, alias caping, alias topi yang biasa dipakai oleh wanita-wanita pemetik teh di Sunda. Modelnya cukup sederhana, dengan bagian atas seperti bentuk kutang. Samuel yang masih duduk di kelas III SMA, seminggu kemudian mendapat hadiah terbang ke Paris. Selain itu juga mendapat hadiah satu juta rupiah. Ketika ditanyakan untuk apa uang tersebut, Sam yang ramah itu menjawab "Buat ongkos hotel dan uang saku di Paris." Sam ingin sekali sekolah mode diluar negeri. Tetapi kalau keuangan tak memungkinkan, "saya masuk Psikologi saja," ujarnya. "Dia satu-satunya finalis yang serius menangani para penjahitnya," ujar Iwan Tirta. Iwan juga menekankan bahwa pada Sam yang muda itu sudah tampak bagaimana caranya dia memimpin sebuah kelompok (team) dalam kerja-sama yang baik. "Dan ini perlu dimiliki oleh seorang perancang," ujar Iwan lagi. Seorang perancang mode meman tidak perlu harus bisa menjahit Tapi paling sedikit ia harus bisa tahu sifat-sifat bahan baju, di samping harus mempunyai cita-rasa yang khas. Seperti halnya orang kursus memasak, yang telah selesai kursus belum tentu bisa menghasilkan kue enak. Akhirnya kembali ke bakat juga. Apakah bakat itu yang dicari? "Perlombaan ini akan kami adakan setiap tahun," kata Pia Alisjahbana, Ketua Panitya "dan langkah pertama kami yang pertama menampakkan hal yang lebih baik di masa mendatang." Sebab selain peserta yang begitu banyak, juga yang hadir dalam sore final itu cukup meluap. Biarpun harga karcis tidak murah, yaitu Rp 7.500 seorang. Keuntungan bersih dari lomba ini disumbangkan kepada Yayasan Sekar Mlatti, proyek sosial majalah Femina yang membiayai anak-anak yang sakit dan memerlukan biaya. Acara sesore itu paling tidak telah menghasilkan uang Rp 6 juta untuk Sekar Mlatti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus