BLANGKON Jawa dan caping desa Sunda menang dalam cahaya mewah
Hotel Borobudur Inter-Continental Jalarta. Perancang mode
terkenal Iwan Tirta dan Prayudi belum tersingkir, tapi tiba-tiba
mereka ditimbrungi sejumlah anak muda. Antara lain seorang
berumur 18 tahun dan murid SMA.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Ketika majalah Femina dan Gadimengadakan lomba perancang mode
Indonesia dengan final 28 September yang lalu, yang terjadi
ialah semacam "regenerasi" Dan orang yang mengira bahwa pengaruh
dunia mode kota besar cuma berhenti di Jakarta atau Bandung,
kecele.
Sejak Februari tahun ini, majalah tersebut mulai menerima
ratusan peserta untuk lomba perancang mode. Mulai dari Aceh
sampai Irian Jaya. Dalam segala umur. Mereka hanya diminta
nengirimkan sketsa model baju berikut guntingan kain untuk tiap
model minimum enam--dan sebuah tulisan yang berisi pendapatnya
mengenai dunia mode.
Tahap pertama, peserta disaring dan hanya 214 peserta yang
dianggap memenuhi syarat. Akhirnya para juri memilih, 3 peserta.
Dan untuk memilih finalis sebanyak 10 peserta, diminta bantuan
juri dari luar Femina dan Gadis. Iwan Tirta dan Prayudi.
Latar belakang pendidikan para peserta cukup beragam. Seorang
sarjana senirupa, tiga mahasiswa, dua orang masih duduk di SMA,
tiga orang pernah lalu pelajaran tentang mode di luar negeri
dan seorang tamatan SMA yang kini jadi karyawan sebuah kantor.
Dari mana mereka belajar? "Saya belajar mode dari majalah
seperti News Week atau majalah asing lainnya yang kebetulan saya
bisa pinjam," ujar Rudi Oentoro, 24 tahun, karyawan pabrik
petasan di Malang. Rudi berhasil memenangkan nomor tiga.
Dari keenam baju karya Rudi, nampak dia telah "meminjam"
blangkon, tutup kepala Jawa yang banyak terl hat di desa
sekitar Yogya-Sala itu. Cuma blangkon Rudi dibuat lebih tipis,
dari kain shantung dan dengan diimbuhi bulu-bulu atau kain
tulle. Tampaknya bergengsi juga, mungkin karena yang pakai
peragawati, misalnya Okky yang memakai Mawar Sekar Ayu ciptaan
Rudi yang berwarna putih.
Ini pakaian malam resmi -- tentu saja menurut aturan Barat. Rudi
mendapat ide tentang vest-nya dari kebaya Jakarta dengan
bordiran di ujung bawah dan bahu. Model deux-pieee ini terbuat
dari bahan georette.
Rudi orang Jawa Timur ini selalu nemakai nama Jawa untul
karyanya misalnya Sekar Kedaton, tetapi yang penting ialah
bahwa dia mencoba memakai bahan yang ada di Indonesia. Pantsuit
dari satinnya dikombinasikan dengan blus dari batik
Sidoardjo--yang bisa dibawa melancong ke disko.
Kehendak memadukan Indonesia dan Barat seperti ini--betapapun
cuma di permukaan--juga nampak pada pemenang kedua, Chossy Latu,
21 tahun. Ia pernah kursus di London dan Paris untuk urusan
mode. Karena di sana dia rupanya banyak kesempatan melihat opera
atau ballet, karya-karyanya memang seronok kalau dipakai para
artis. Tapi untuk wanita kantor atau rumah tangga . . .
Di samping itu, pilihan Chossy akan bahan baju hanya bisa diraih
mereka yang berkantong tebal. Karena selain bahan brokat kelas
satu, dia juga seakan-akan menganjurkan pemakaian bahan-bahan
seperti lamee atau beludru (yang halus).
Chossy Latu mungkin tak terlalu orisinil, tapi banyak juga
peserta yang masuk final yang cukup "asli". Misalnya Cynthia
Sujanto, 23 tahun, mahasiswi Seni Rupa ITB. Ia mencoba
mengawinkan baju gaya Aceh dengan selempangan selendang sebagai
modifikasi sarung yang oleh kaum pria sering diselempangkan
begitu saja dengan gaya miring.
Nabi
Pemakaian unsur-unsur Indonesia seperti ini bisa tambah sempurna
kalau diterapkan dengan tepat. Seperti misalnya pada karya
Andrini, 24 tahun, Arsitektur ITB, yang memadukan batik cinde
dengan segala model. Andrini juga menampilkan pemakaian caping.
Cinde yang diberi pailletjes, seronok sekali dikombinasikan
dengan voile putih. Yang menjadi pertanyaan hanyalah, apakah
cinde ini tidak luntur kalau dicuci? Sayang, juri tidak
menjatahkan Andrini sebagai salah satu dari tiga pemenang.
Peran warna juga mempengaruhi model. Misalnya Anne Rufaidah, 17
tahun SMAN Bandung, terlalu mencampuradukkan beberapa warna
kontras berikut model, yang ramai bak lalu lintas jalan Asia
Afrika, Bandung. Sehingga karyanya yang bernama Cinde Rinengga
Dewata, berbentuk jumpsuits dengan embel-embel tutup bahu, mirip
bajunya Superman Jawa.
Beda dengan peserta termuda Samucl J.D. Wattimena. Ia baru 18
tahun, anak SMA Kebayoran, tapi ia meraih hadiah nomor satu. Sam
menitik beratkan warna hitam dan putih untuk keenam kreasinya.
Untuk model kebaya. Sam hanya memakai warna putih secara
menyeluruh. Idenya diambil dari kebaya Jawa pada bagian leher,
dengan penekanan khusus untuk lengan yang dibuat gaya jas. Juga
penekanan bentuk pinggang, rok bawah panjang yang diberi pleats
untuk meniru wiron, berhasil menghasilkan kreasi dengan kesan
anggun.
Gebrakan Sam yang lain ialah idenya tentang sekatenan--upacara
tradisional Yogya untuk memperingati hari ulang tahun Nabi
Muhammad. Surjan dipermak, dan keris diganti dengan pita
bagaikan kipas melingkar. Dengan kipas pandan yang dicat emas,
ikat pinggang dari kain kuning yang mirip ujung kemben, konde
rambut diberi beberapa tusuk konde goyang, pakaian malam itu
menjadi resmi. Dengan harga yang tidak mencekik leher. Sam juga
menaikkan gengsi tudung, alias caping, alias topi yang biasa
dipakai oleh wanita-wanita pemetik teh di Sunda. Modelnya cukup
sederhana, dengan bagian atas seperti bentuk kutang.
Samuel yang masih duduk di kelas III SMA, seminggu kemudian
mendapat hadiah terbang ke Paris. Selain itu juga mendapat
hadiah satu juta rupiah. Ketika ditanyakan untuk apa uang
tersebut, Sam yang ramah itu menjawab "Buat ongkos hotel dan
uang saku di Paris."
Sam ingin sekali sekolah mode diluar negeri. Tetapi kalau
keuangan tak memungkinkan, "saya masuk Psikologi saja,"
ujarnya.
"Dia satu-satunya finalis yang serius menangani para
penjahitnya," ujar Iwan Tirta. Iwan juga menekankan bahwa pada
Sam yang muda itu sudah tampak bagaimana caranya dia memimpin
sebuah kelompok (team) dalam kerja-sama yang baik. "Dan ini
perlu dimiliki oleh seorang perancang," ujar Iwan lagi.
Seorang perancang mode meman tidak perlu harus bisa menjahit
Tapi paling sedikit ia harus bisa tahu sifat-sifat bahan baju,
di samping harus mempunyai cita-rasa yang khas. Seperti halnya
orang kursus memasak, yang telah selesai kursus belum tentu bisa
menghasilkan kue enak. Akhirnya kembali ke bakat juga.
Apakah bakat itu yang dicari? "Perlombaan ini akan kami adakan
setiap tahun," kata Pia Alisjahbana, Ketua Panitya "dan langkah
pertama kami yang pertama menampakkan hal yang lebih baik di
masa mendatang." Sebab selain peserta yang begitu banyak, juga
yang hadir dalam sore final itu cukup meluap. Biarpun harga
karcis tidak murah, yaitu Rp 7.500 seorang.
Keuntungan bersih dari lomba ini disumbangkan kepada Yayasan
Sekar Mlatti, proyek sosial majalah Femina yang membiayai
anak-anak yang sakit dan memerlukan biaya. Acara sesore itu
paling tidak telah menghasilkan uang Rp 6 juta untuk Sekar
Mlatti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini