Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLU sewindu untuk membawa perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai ke pengadilan. Jika dibandingkan dengan belasan kasus pelanggaran HAM berat lain di masa lalu, yang kini nasibnya tanpa kejelasan, waktu yang diperlukan untuk penanganan kasus Paniai ini tergolong lebih cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo juga berulang kali menyebut penanganan kasus Paniai ini sebagai bukti komitmennya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. Dalam peringatan Hari HAM Internasional, 10 Desember 2021, misalnya, Jokowi mengklaim telah memerintahkan Jaksa Agung memproses pelanggaran HAM berat Paniai 2014. "Berangkat dari berkas penyidikan Komnas (Komisi Nasional) HAM, kejaksaan tetap melakukan penyidikan untuk terwujudnya prinsip keadilan dan kepastian hukum," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, pengusutan kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014 ini sejak awal tak semoncer janji Jokowi sebelumnya. Penyelidikan yang dimulai sejak Februari 2015 oleh Komnas HAM itu sempat tersendat. Hasil penyelidikan tim Komnas HAM juga tak mulus begitu saja tatkala disetorkan ke Kejaksaan Agung.
Selain itu, kemarin, dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum dalam sidang perdana di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar masih menyisakan tanda tanya besar bagi pegiat HAM. Mampukah persidangan menguak adanya pelanggaran HAM secara terstruktur dan sistematis dalam penembakan brutal oleh personel TNI yang merenggut nyawa warga sipil tersebut?
"Kami berharap proses sidang ini berjalan fair dan akuntabel," kata anggota Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, Rabu, 21 September 2022. "Kami berharap majelis hakim peka terhadap kesaksian-kesaksian yang ada."
Terdakwa Mayor (Purnawirawan) Isak Sattu hadir dalam sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, 21 September 2022. Dok. Puspen Hukum Kejagung
Pertanyaan tersebut pantas mengemuka ketika penyidikan Kejaksaan Agung hanya menyeret seorang terdakwa, yakni Mayor (Purnawirawan) Isak Sattu. Gara-gara ini pula keluarga korban menyatakan menolak proses pengadilan pelanggaran HAM berat Paniai. "Kami keluarga korban menyatakan bahwa tidak ada yang menyelesaikan kasus HAM berat Paniai di Pengadilan Makassar," kata keluarga korban dalam pernyataan sikap yang disampaikan pada 14 September lalu. "Hanya ada pengadilan sandiwara atau pencitraan atau pengadilan mencari nama baik di mata dunia internasional."
Pernyataan sikap itu diikuti Yosep Degei, Yosep Youw, Obet Gobai, dan Herman Yeimo. Mereka adalah orang tua dari empat korban tewas dalam tragedi Paniai, yakni secara berturut-turut Simeon Degei, Pius Youw, Alpius Oktopla Gobai, dan Yulius Yeimo. Pernyataan sikap tersebut juga disampaikan Yeremias Kayame, korban yang mengalami luka tembak pada bagian punggung tangan kiri.
Awal Tragedi di Jalan Enarotali-Madi
TRAGEDI Paniai terjadi pada Senin, 8 Desember 2014. Namun rangkaian kasus ini sebenarnya dimulai sehari sebelumnya.
Ahad malam, 7 Desember 2014, sejumlah pemuda warga Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, menegur seorang anggota TNI yang mengendarai sepeda motor tanpa menyalakan lampu di Jalan Enarotali-Madi Kilometer 4. Cekcok sempat terjadi di antara mereka.
Tak lama berselang, rombongan anggota TNI datang mengendarai Daihatsu Taft. Membawa senjata api, personel TNI tersebut ditengarai menganiaya para pemuda yang sebelumnya terlibat cekcok dengan seorang anggota TNI. Beberapa pemuda mengalami luka pukulan di bagian kepala dan sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai untuk mendapat pengobatan.
Akibat peristiwa pada Ahad malam itu, sekelompok orang memblokade Jalan Enarotali-Madi Km 4 pada Senin pagi, 8 Desember 2014. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas penganiayaan yang dilakukan personel TNI. Sejumlah petugas dari Kepolisian Resor Paniai dan Kepolisian Sektor Paniai Timur diklaim telah mendatangi lokasi untuk bernegosiasi dengan para pengunjuk rasa. Namun upaya tersebut gagal, terutama karena personel TNI yang juga berada di lokasi justru memanaskan suasana dengan melontarkan kalimat ancaman dan tembakan peringatan.
Pagi menjelang siang itu, di tengah situasi yang memanas, unjuk rasa meluas dan memuncak di Lapangan Karel Gobay, Paniai, sekitar 6 kilometer dari lokasi blokade warga. Saat itulah personel TNI, anggota Komando Rayon Militer (Koramil) 1705-02/Enarotali, ditengarai memberondong massa dengan tembakan peluru tajam. Beberapa anggota juga melakukan pengejaran serta penikaman menggunakan sangkur.
Jasad Alpius Youw ditemukan di pinggir Lapangan Karel Gobay dengan luka tembak pada punggung belakang sebelah kiri. Jenazah Alpius Gobai ditemukan di dekatnya dengan luka tembak pada perut kiri. Yulius Yeimo, yang juga tertembak di perut kiri, meninggal ketika dilarikan ke RSUD Paniai. Adapun Simeon Degei tewas dengan luka tusuk di dada kanannya.
Dalam laporan Komnas HAM, sedikitnya 21 orang terluka akibat tembakan peluru tajam dan tusukan dalam peristiwa tersebut. Namun berkas dakwaan jaksa hanya mencatat 10 orang luka akibat tembakan dan tusukan.
Peristiwa Paniai menarik perhatian Joko Widodo, yang ketika itu belum genap tiga bulan menjadi Presiden RI. Tiga pekan setelah kejadian, Sabtu, 27 Desember 2014, Jokowi datang ke Jayapura, Papua. Di hadapan relawannya, Jokowi menyatakan telah membentuk tim investigasi. "Tim kecil ini diharapkan bisa mendapatkan data valid dan mencari tahu akar masalahnya seperti apa," kata Jokowi saat itu.
Jalan Terjal Sejak Penyelidikan Kasus Paniai
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo tak mempan. Dalam perjalanannya, penyelidikan Komnas HAM yang secara resmi dimulai pada Februari 2015 menemui jalan terjal. Komnas HAM belakangan memperpanjang masa penyelidikan pada 2019.
Kala itu, Komnas HAM mengakui pengusutan kasus ini berjalan lambat meski sudah menyatakan adanya cukup bukti dugaan pelanggaran HAM berat dalam tragedi Paniai pada 7-8 Desember 2014. Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, mengungkapkan timnya mengalami kesulitan untuk menemui para prajurit yang bertugas saat insiden Paniai. Ia beberapa kali meminta agar personel tersebut dihadirkan untuk dimintai keterangan. Alih-alih mengirim prajuritnya, Markas Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih justru mengutus perwira bagian hukum.
Belakangan, Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI memberi lampu hijau bagi tim ad hoc kasus Paniai untuk meminta keterangan personelnya. Frits beberapa kali hadir dalam pemeriksaan prajurit TNI dan Polri di Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura. "Personel yang datang berpangkat perwira pertama sampai menengah," ujar Frits.
Pada Februari 2020, sidang paripurna Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Tim bentukan Komnas HAM menemukan adanya kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan warga Paniai meninggal dan terluka.
"Peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi," kata Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai, M. Choirul Anam, ketika itu.
Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, diduga sebagai pelaku yang semestinya bertanggung jawab. Tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian, tapi bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. "Karena itu, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait dengan perbantuan TNI-Polri," kata Choirul.
Rampung di Komnas HAM tak berarti kasus ini bisa segera dibawa ke pengadilan. Sedikitnya dua kali berkas penyelidikan Komnas HAM dikembalikan Kejaksaan Agung—seperti halnya berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat lain yang sudah lama antre lebih dulu.
Belakangan, pada Juni lalu, Kejaksaan Agung akhirnya melimpahkan berkas perkara kasus Paniai ke Pengadilan Negeri Makassar. Berkas ini merupakan hasil penyidikan kejaksaan. Rekomendasi Komnas HAM untuk menuntut pertanggungjawaban dari rantai komando di atas Koramil 1705-02/Enarotali tak terlihat dalam penyidikan tersebut.
Jaksa hanya menyeret seorang tersangka, yaitu Isak Sattu, purnawirawan TNI berpangkat mayor yang pada saat kejadian bertugas sebagai perwira penghubung Komando Distrik Militer 1705/Paniai. Isak didakwa karena tak melakukan tanggung jawabnya sebagai perwira tertinggi ketika insiden itu terjadi.
Kemarin, 21 September, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut melihat sidang pembacaan dakwaan terhadap Isak Sattu yang digelar di Ruangan Prof. Bagir Manan, Pengadilan Negeri Makassar. Menurut Usman, bagian terpenting dari kasus ini adalah substansi perkara bahwa apakah benar peristiwa Paniai terjadi akibat perbuatan terdakwa.
Usman menyatakan menghormati proses hukum yang telah dan sedang berlangsung. Namun ia juga mengingatkan banyaknya keraguan tentang apakah benar Isak Sattu adalah pelaku sebenarnya dalam tragedi Paniai.
"Dalam sidang, diduga banyak yang hilang kronologinya, terutama siapa yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak (korban). Harus dibuktikan dulu. Itu menurut saya," kata Usman. "Ada penganiayaan di tanggal 7 itu dan ada penembakan di tanggal 8. Hari pertama itu kan mengakibatkan luka fatal, tapi tidak menyebabkan kematian. Tapi siapa pelakunya, itu tidak ada."
Usman berharap persidangan dapat mengisi celah kosong dalam dakwaan tersebut lewat pembuktian. "Tentu kami harus menerima kenyataan bahwa sidang ini akhirnya digelar. Kami ingin melihat negara sungguh-sungguh atau sebaliknya," ujarnya.
Pengalaman Suram Pengadilan HAM
DI mata para pegiat HAM, kasus Paniai ini semestinya menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk membuktikan janjinya dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Persidangan kasus Paniai merupakan sidang pengadilan HAM berat pertama yang digelar, bukan hanya pada masa Presiden Joko Widodo, tapi juga pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam dua dekade terakhir, hanya ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang dibawa ke pengadilan. Pertama, pada 2001, sidang digelar atas perkara pelanggaran HAM Berat Timor Timur 1999. Beberapa tahun berikutnya, pada 2003-2004, pengadilan HAM menyidangkan dua kasus pelanggaran HAM berat, yakni peristiwa Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.
Dalam tiga perkara itu, setiap pelaku yang didakwa pada kenyataannya divonis bebas, baik sejak tingkat pertama, lewat kasasi, maupun dalam upaya hukum peninjauan kembali. Putusan pengadilan inilah yang membuat keluarga korban pelanggaran HAM memilih tidak mau tahu lagi dalam proses yustisia, mundur dari persidangan, yang mereka nilai bakal jauh dari kata keadilan.
Pada 2003, misalnya, lima perwira Polri dan TNI Angkatan Darat yang menjadi terdakwa dalam perkara pelanggaran HAM berat di Timor Timur divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat. Kelima perwira itu adalah Kolonel Herman Sedyono, mantan Bupati Covalima, Suai; Kolonel Liliek Kushardiyanto, mantan pelaksana harian Komandan Kodim Suai; Ajun Komisaris Besar Subiyaktoro, bekas Kepala Polres Suai; Mayor Achmad Samsudin, mantan Kepala Staf Kodim Suai; serta Mayor Sugito, mantan Komandan Koramil 1635 Suai.
Kala itu, hakim berpendapat para terdakwa tidak mengetahui peristiwa rencana penyerangan Gereja Ave-Maria pada 6 September 1999, yang menewaskan 26 orang. Hakim menyebutkan keberadaan para terdakwa di lokasi kerusuhan semata untuk mencegah dan melakukan pengamanan agar bentrokan tidak meluas.
Sidang kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 13 Mei 2003. Dok. TEMPO/Bismo Agung
Dalam perkara pelanggaran HAM berat kasus Tanjung Priok 1984, para terdakwa juga akhirnya bebas. Semula, dalam sidang tingkat pertama pada 2003-2004, Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta menyatakan 12 terdakwa bersalah. Majelis hakim juga menginstruksikan kepada negara supaya memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban ataupun keluarga korban.
Namun belakangan, pada 2006, Mahkamah Agung dalam sidang kasasi membebaskan 12 terdakwa tersebut. Dalam kasus ini, pengadilan bahkan sejak awal membebaskan terdakwa Mayor Jenderal (Purnawirawan) Pranowo, mantan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya.
Hal yang sama terjadi pada pengadilan HAM berat peristiwa Abepura yang digelar pada 2004. Majelis hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar memvonis bebas dua terdakwa perkara tersebut, yakni Komisaris Besar Daud Sihombing dan Brigadir Jenderal Johny Wainal Usman. Majelis hakim menyatakan tewasnya Joni Karunggu dan Ori Ndronggi, dua dari 99 warga sipil yang ditangkap dalam peristiwa pada 7 Desember 2000 tersebut, hanya ekses dari penyisiran polisi dalam menangani penyerangan Markas Kepolisian Sektor Abepura serta pembakaran Kantor Otonomi Provinsi Papua.
Pengalaman buruk pada jalannya pengadilan HAM berat tersebut membuat Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014—gabungan organisasi masyarakat sipil di Jakarta, Makassar, dan Papua—menaruh perhatian serius pada penyelesaian tragedi Paniai. Koalisi berharap pengadilan HAM dapat menjamin terpenuhinya keadilan dan hak lainnya secara utuh bagi para korban serta publik secara umum.
"Jangan sampai kehadiran pengadilan HAM Paniai justru berpotensi menghadirkan fictive trial (peradilan rekayasa) dan menjadi preseden atau bahkan legitimasi sebagai ajang pencucian dosa bagi terduga pelaku pelanggar HAM yang terus melanggengkan praktik impunitas di Indonesia," ujar Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani.
Soal banyaknya kalangan yang ragu akan keseriusan pengadilan HAM kasus Paniai, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan, Agung Ketut Sumedana, menjawab singkat. "Kita lihat perkembangan di sidang," ujar Agung, kemarin.
DEWI NURITA | AGOENG | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo