Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah hendak membatasi pengunjung kawasan wisata komodo di Nusa Tenggara Timur.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadi dalih pengembangan wisata premium.
Masyarakat setempat terancam menjadi korban penggusuran.
DAYA dukung dan daya tampung lingkungan seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan suatu kawasan. Namun, di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, kedua hal itu hanya menjadi dalih alias alasan yang dicari-cari sebagai pembenaran atas pengembangan kawasan wisata premium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru-baru ini merilis rencana pembatasan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata komodo. Pemerintah akan menyaring pengunjung melalui aplikasi digital dengan dalih mengurangi tekanan terhadap populasi kadal raksasa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun lalu status komodo dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) berubah dari “rentan” menjadi “terancam punah”. Populasi hewan purba ini menyusut antara lain akibat tekanan turisme dan pemanasan global. Akibat terlalu sering “bergaul” dengan manusia, komodo juga ditengarai makin kehilangan insting liarnya.
Di area Taman Nasional Komodo seluas 173.300 hektare, ada lima pulau utama yang dihuni satwa langka ini. Pulau Komodo, pulau paling besar, dihuni 1.727 ekor komodo. Lalu Pulau Rinca dihuni 1.049 ekor. Yang lain adalah pulau-pulau kecil dengan populasi komodo di bawah 100 ekor. Pembatasan jumlah turis sudah diterapkan di Pulau Padar, yakni maksimal 300 orang per hari.
Studi daya dukung lingkungan terbaru mencatat bahwa kunjungan ke Pulau Komodo kerap melebihi daya tampung ekosistemnya. Menurut riset itu, maksimal kunjungan ke pulau ini setahun sebanyak 219 ribu orang. Faktanya, pada 2019, jumlah turis mencapai 221 ribu.
Sepintas kebijakan membatasi jumlah wisatawan terkesan sejalan dengan tujuan konservasi: mengurangi tekanan manusia pada keanekaragaman hayati tanpa mematikan potensi ekonomi. Masalahnya, di balik pembatasan pengunjung itu justru mencuat rencana pengembangan kawasan wisata premium alias tempat pelesiran khusus dengan tarif selangit.
Masalah lain, pengembangan wisata premium diikuti rencana relokasi penduduk lokal, lagi-lagi dengan dalih untuk menjaga daya dukung lingkungan. Padahal penduduk setempat sudah turun-temurun hidup berdampingan dengan komodo tanpa mengancam kelestariannya.
Demi pembangunan berkelanjutan, pemerintah justru harus melibatkan masyarakat setempat. Soal ini, pemerintah Presiden Joko Widodo perlu belajar dari kesalahan pemerintah era Orde Baru. Kala itu pemerintah kerap menyerahkan urusan pengelolaan lingkungan kepada investor, tanpa mereken peran penting masyarakat. Terbukti, dalam berburu untung, investor kerap mengabaikan kelestarian lingkungan, bahkan melanggar hak asasi manusia. Ujungnya, di banyak tempat, terjadi kerusakan yang tak bisa dipulihkan.
Kini bukan zamannya lagi mengelola ekosistem dengan menghilangkan peran masyarakat. Demi kepentingan konservasi, penataan wisata komodo haruslah memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Dalam segitiga pembangunan berkelanjutan itu, masyarakat di area dan sekitar lokasi Taman Nasional Komodo harus menjadi penerima manfaat utama, bukan malah menjadi korban pengembangan kawasan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo