Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekali Kuliah, Dua Negeri Dilewati

Kuliah di program double degree atau gelar kembar, yang sebagian mata kuliahnya diambil di luar negeri, memungkinkan mahasiswa mendapat pendidikan internasional. Biayanya lebih miring.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di depan gedung empat lantai berdinding kaca kehijauan itu tak seperti lazimnya kampus. Tidak ada mahasiswa nongkrong atau mondar-mandir. Kehidupan ala mahasiswa baru tampak setelah kita masuk ke gedung.

Para mahasiswa itu tampaknya lebih kerasan nongkrong di lorong-lorong lega di depan ruang kelas, yang lantainya selalu mengkilap, dengan sofa empuk dan berhawa adem oleh penyejuk udara. Penampilan sejumlah mahasiswa, dengan celana pendek dan sandal Crocs, membuat suasana lebih mirip kampus di luar negeri.

Bukan hanya penampilan fisiknya yang terasa "asing". Ruang kuliah pun, bila dibuka, akan memperdengarkan cas-cis-cus bahasa asing. Di dalam, para dosen memberikan kuliah dalam bahasa Inggris. Saat wartawan foto Tempo ikut masuk ke ruang kuliah, bahasa Indonesia hanya terdengar saat satu atau dua mahasiswa nyeletuk meledek teman-temannya agar ikut terfoto.

Begitulah gaya kuliah program internasional di Universitas Bina Nusantara-mereka menyebutnya Binus International. Program ini menawarkan kelas berbahasa Inggris, dengan sebagian mata kuliah ditempuh di luar negeri, dan ijazahnya dari dalam dan luar negeri sekaligus.

Munculnya kampus double degree ini bermula saat krisis ekonomi menghajar Indonesia pada 1998. Nilai dolar Amerika Serikat kala itu melompat tinggi. "Meski begitu, kalangan ekonomi atas tetap berminat mengirim anaknya kuliah di luar negeri," kata Minaldi Loeis, Dekan Program Internasional Binus. Program double degree ini diwujudkan untuk mengatasi risiko naiknya dolar. "Tetap bisa ke luar negeri, tapi risiko kurs dikurangi."

Selain berharap anaknya mendapat ilmu di luar negeri, orang tua ingin anaknya menambah kemandirian. Maklum, mahasiswa dari kalangan mampu ini dari kecil terbiasa dengan pembantu. Di negeri orang, mereka harus melakukan segala sesuatu sendiri. "Kita mesti mandiri," kata Bayu Dhanubroto, mahasiswa Binus yang saat ini sedang kuliah di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia. "Jadi, kalau di Jakarta, selain belajar sama main, yang lain enggak usah terlalu dipikirin. Kalau di sini, semuanya, dari masak, nyuci, harus sendiri."

Binus membuka program bergelar kembar atau double degree itu pada 2001, bersamaan dengan program serupa di beberapa fakultas Universitas Indonesia. Di Universitas Indonesia, hampir setiap jurusan memiliki program serupa. Yang juga banyak menjalankan program gelar kembar adalah Universitas Pelita Harapan (UPH), yang berkampus di Karawaci, Tangerang, pinggiran Jakarta.

Belakangan program serupa diikuti sejumlah kampus, meski untuk jurusan tertentu. Program di jurusan kedokteran, misalnya, dibuka Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Sumatera Utara.

Pemerintah rupanya senang dengan program itu. "Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional) sangat mendukung perguruan tinggi kita go international," kata Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Dikti Achmad Jazidie.

Kementerian memberi kampus-kampus di Indonesia izin membuka program itu asalkan perguruan tinggi mitranya bukan kampus asal-asalan. "Setidaknya sudah terakreditasi di negaranya," ujar Achmad Jazidie.

Sebagian besar program itu menjadikan kampus-kampus di Australia sebagai rekanan. Negeri berbudaya Barat yang menggunakan lingua franca dunia, yakni bahasa Inggris, dan terletak bersebelahan dengan Indonesia ini rupanya dianggap ideal.

Tapi tidak hanya Australia yang menjadi sasaran. Jurusan Desain Grafis Binus menjadikan Northumbria University di Inggris sebagai rekanan. Bahkan beberapa negara yang tidak berbahasa Inggris juga menjadi partner.

Jurusan Teknik Sipil UPH mengirimkan mahasiswanya melanjutkan kuliah di kelas internasional di Hanzehogeschool (Universitas Hanze) di Groningen, Belanda. Binus mengirim mahasiswa bidang ekonomi ke Cologne Business School di Jerman. Bahkan Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid mengirim mahasiswanya ke Prancis.

Bagi mahasiswa, program ini memang membuat biaya kuliah sedikit lebih miring meski puluhan kali lipat mahalnya bila dibandingkan dengan program reguler. Biaya per semester program internasional Universitas Indonesia rata-rata Rp 20-an juta, hampir sama dengan uang kuliah di Binus International-yang mematok biaya per-SKS Rp 1 juta. Itu baru periode kuliah di Indonesia.

Dari delapan semester kuliah, mahasiswa program internasional Ilmu Komputer UI mesti menempuh tiga semester di University of Queensland, yang setiap semester uang kuliahnya Aus$ 13 ribu (Rp 117 juta, karena nilai dolar Negeri Kanguru sedang melejit).

Mahal? Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri mulai semester awal. Rizki Kusuma, yang diwisuda di University of Queensland pada Juli tahun lalu dan di Universitas Indonesia sebulan kemudian, sempat menghitung penghematan kasar yang dilakukan dengan double degree jurusan ilmu komputer. "Perhitungan kasarnya hemat minimal Aus$ 50 ribu (Rp 452 juta)," katanya. Itu belum dihitung biaya hidupnya, Aus$ 1.200-1.400 (Rp 10-12 juta) per bulan, di Brisbane.

Selain faktor biaya, ada lagi yang menarik dari program ini. Orang tua yang waswas anaknya masih labil saat lulus sekolah menengah atas bisa bersiap dulu. Ini yang dialami Dianne Sunu, mahasiswa Binus yang sedang menyelesaikan program double degree di Koln, Jerman.

Dianne sejak awal ingin kuliah di luar negeri, tapi orang tuanya tidak mengizinkannya tanpa alasan jelas. "Saat itu aku ngambek banget sama ortu aku, kenapa aku enggak dibolehin kuliah di luar," ujarnya. Ia menduga orang tuanya cemas jiwanya yang labil membuatnya terperangkap dalam pergaulan bebas jika langsung ke luar negeri.

Sejak awal Dianne sudah mematok bakal mengambil mata kuliah di luar negeri dalam program double degree di Binus. Di kampus ini, seperti di UPH, mahasiswa memang boleh memilih apakah akan mengambil semua mata kuliah di kampus dekat Senayan itu atau mengambil sebagian mata kuliah di kampus rekanan. "Awalnya 20-30 persen, tapi sekarang 40 persen," kata Minaldi menyebut rasio mahasiswa Binus International-kampus dengan sekitar 400 mahasiswa-yang mengambil mata kuliah di luar negeri.

Karena mahasiswa boleh memilih, terkadang angka peserta yang ke luar negeri naik-turun. Pengaruh faktor luar pun menjadi kuat. "Misalnya naiknya dolar Australia beberapa tahun lalu," kata Elya Wibowo, dosen UPH yang saat program internasional dimulai sedang menjadi Ketua Jurusan Desain Interior.

Pada 2008, misalnya. Awalnya ada 12 mahasiswa menyatakan akan ikut program di Australia, tapi kemudian surut menjadi lima. Saat benar-benar berangkat pada semester kelima, ujar Elya, "Hanya satu yang berangkat."

Hal seperti itu tidak terjadi di Fakultas Ilmu Komputer UI. Di sini setiap mahasiswa kelas internasional wajib mengambil beberapa mata kuliah di luar negeri. Jika tidak lulus di Queensland, si mahasiswa tidak lulus juga di UI.

Baru sekali kejadian ada mahasiswa yang mendapat kekecualian tidak selesai di Queensland karena hanya kuliah satu semester dan mengambil sisa kuliah lain di kampus UI di Depok. "Tapi ini karena alasan kesehatan," kata Hisar Maruli Manurung, Koordinator Jurusan Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

Perbedaan lain adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Para mahasiswa UI atau Binus yang mengambil double degree bisa memastikan bakal menjalani kuliah sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Tapi tidak semua program di UPH demikian. Di kampus ini ada yang penuh berbahasa Inggris, ada pula yang tidak.

Di Jurusan Desain Interior UPH, misalnya, peminat program internasional memang akan belajar sepenuhnya dengan bahasa Inggris. Tapi, di Jurusan Teknik Sipil, sangat sedikit yang ikut program internasional. "Kalau membuka kelas bahasa Inggris, mahasiswanya kurang dari sepuluh," kata Jack Widjajakusuma, Ketua Jurusan Teknik Sipil UPH. Mereka tetap bisa meneruskan kuliah ke kampus Hanze di Groningen meski tidak menjalani kuliah dalam bahasa Inggris. "Asal TOEFL-nya di atas 550."

Bagi Hanze dan universitas lain yang menerima mahasiswa dari kampus-kampus Indonesia, masalah utama memang kepercayaan. Saat program akan dimulai, kampus-kampus itu akan mengadakan sejumlah program penyetaraan. Kurikulum akan dibandingkan, soal ujian akan dilihat. Jika mereka sudah percaya, apa pun bahasa pengantarnya agaknya bisa dipercaya. l

Tim Liputan Khusus Perguruan Tinggi
Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Nur Khoiri, Sapto Pradityo Editor: Bina Bektiati, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono Penulis: Nieke Indrietta, Nur Khoiri, Okta Wiguna, Reza Maulana, Sapto Pradityo Penyumbang Bahan: Anwar Siswadi (Bandung), Rurit (Yogyakarta), Nur Khoiri Foto: Dwi Narwoko Desain: ehwan kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus