Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Melesetnya Politik di Satu Masjid

Buku tentang sejarah sosial dan politik radikalisme Islam di Eropa. Bermula dari perebutan pengaruh di kalangan muslim di Jerman antara elemen Nazi, CIA, dan Ikhwanul Muslimin.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah Masjid di Munich
Penulis: Ian Johnson
Penerjemah: Priyatna Hasanuddin
Penerbit: Literati
Tanggal terbit: Maret 2011
Tebal: xiii + 451

Gerhard von Mende, pria bertinggi badan 1,7 meter, biasa tampil klimis. Tapi dia bukan orang yang secara fisik menarik. Giginya bengkok, wajahnya bulat dan tembam, mata kanannya tak bisa bergerak, dan mata kirinya kadang-kadang memandang terlalu jauh. Yang menjadikannya figur tak terlupakan adalah sepak terjangnya. Sejak 1930-an, untuk kepentingan Nazi, dia berperan besar memanfaatkan kaum minoritas muslim eks Uni Soviet untuk membendung negara itu. Yang tak dia bayangkan: seusai Perang Dunia II, dia harus bersaing dengan kekuatan lain untuk memperebutkan perhatian kaum minoritas itu. Dan tujuan-tujuan politik dari berbagai kekuatan itu justru berbalik menjadi pemicu lahirnya radikalisme.

Melalui riset mendalam dan reportase menawan, Ian Johnson menarasikan temuan-temuannya itu dalam Sebuah Masjid di Munich: Konspirasi Nazi, CIA, dan Ikhwanul Muslimin. Buku ini mula-mula terbit tahun lalu (judul aslinya A Mosque in Munich: Nazis, The CIA, and the Rise of the Muslim Brotherhood in the West). Edisi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan Literati pada Maret lalu.

Subjudulnya memang bisa menggiring ke pemahaman bahwa Nazi, CIA (badan intelijen Amerika Serikat), dan Ikhwanul Muslimin punya keterkaitan. Johnson, yang pernah menjadi koresponden The Wall Street Journal, sengaja menghindar untuk mengatakan demikian. Dia hanya memaparkan bagaimana satu organisasi muslim menjadi ajang campur tangan banyak pihak, masing-masing untuk tujuan yang berbeda.

Fakta yang didapat memang rumit, berlapis-lapis. Tapi, dengan penulisan bagai novel thriller, Johnson menunjukkan koneksi antara komunitas muslim Jerman dan Nazi bermula dari upaya Jerman menaklukkan Rusia pada Perang Dunia II. Di kesatuan militer Jerman, kala itu, bergabung orang-orang keturunan Turki yang pernah menjadi warga Azerbaijan, Uzbekistan, Tatar, dan lain-lain. Mereka bukan pemuja Hitler, melainkan pembenci Rusia.

Von Mende-lah yang menyarankan perekrutan orang-orang itu. Sebagai ahli hal-ihwal Turki, Von Mende percaya kaum minoritas itulah yang bisa menjadi tantangan bagi penguasa Rusia, hanya jika ada bantuan dari luar. Ketika Perang Dunia II pecah, Von Mende memimpin salah satu bagian di Ostministerium, kementerian yang mengurusi wilayah pendudukan di Timur. Peran inilah yang terus menyeretnya menjadi ”wirausaha intelijen”, bekerja untuk pemerintah Jerman Barat dan terus membina orang-orang yang sudah berhubungan dengannya sejak perang.

Perubahan konstelasi kekuatan pascaperang membuat usaha Von Mende tak mudah. Selain Jerman Barat, ada kepentingan yang juga ingin berperan aktif menggelorakan propaganda antikomunisme untuk membendung Uni Soviet, yakni Amerika Serikat. Melalui CIA, negara ini berusaha memanfaatkan komunitas muslim yang sama, beririsan dengan kepentingan yang dijalankan Von Mende. Dibantu orang-orang keturunan Turki itulah CIA mendirikan dan mengoperasikan radio propaganda, Radio Liberty.

Di tengah pergulatan, didirikanlah masjid di Munich. Ini ide pihak Jerman. Von Mende menginginkan orang kepercayaannya sebagai pengelola. Tapi CIA mencalonkan seseorang dari lingkungan Ikhwanul Muslimin, pergerakan dari Mesir yang menjadikan Islam sebagai kekuatan politik dan alat perjuangan untuk tujuan politik. Johnson menulis (halaman 254): ”Orang-orang Jerman dan Amerika punya cita-cita yang sama: menguasai masjid, mengendalikan umat muslim setempat, dan kemudian memanfaatkan mereka untuk melawan komunisme.”

Yang terjadi kemudian di luar bayangan dan perhitungan mereka. Masjid yang menjadi pusat Islam di Munich akhirnya dibiayai Muammar Qadhafi, penguasa Libya. Dan sejak itu, menurut Johnson, masjid ini berperan menyebarkan versi Islam dari Ikhwanul Muslimin di Barat dan titik sentral jihad.

Setebal 400-an halaman, memang terasa Johnson bekerja keras memampatkan bahan-bahan yang dikumpulkannya. Begitu banyak tokoh, dari yang memang menonjol sampai yang samar-samar, bisa menyebabkan pembaca lupa siapa si Anu atau siapa si Fulan, dan mungkin saja jadi tersesat. Untunglah ada daftar tokoh di dalamnya yang bisa dirujuk setiap saat.

Sebuah masjid di Munich menjadi tempat persemaian dan tumbuhnya radikalisme barangkali mula-mula tampak sebagai sesuatu yang mustahil. Tapi Johnson, yang pernah memenangi Pulitzer, berhasil menunjukkan bahwa kesan itu terburu-buru dan keliru. Dia juga sekaligus membeberkan, sekalipun secara tak langsung, betapa bisa berbahayanya usaha memainkan agama untuk tujuan-tujuan politik.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus