Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA gawat Ambalat, yang di Indonesia berkibar hangat, untuk masyarakat Malaysia ternyata tak asyik-asyik amat. Bagi mereka, perebutan wilayah di Laut Sulawesi itu urusan pemerintah, bukan rakyat. Zaitun, pemilik rumah makan di Kuala Lumpur, malahan tak tahu sedang terjadi sengketa wilayah antara negaranya dan Indonesia. Begitu pula Chaidir. Penduduk Kuala Lumpur berusia 50 tahun itu mengaku hanya sekali mendengar berita soal Ambalat. "Ah, saya tak tahulah," katanya pekan lalu di sebuah kedai.
Bagi masyarakat Malaysia dari Semenanjung hingga Malaysia Timur?Sabah dan Sarawak?kasus Ambalat bukan hal yang harus disikapi serius. Meski begitu, mereka ingin sengketa perebutan wilayah itu tak sampai mencetuskan permusuhan, apalagi sampai harus mengangkat senjata. Mereka percaya, Indonesia dan Malaysia masih negara serumpun dan bersaudara.
Media massa di Malaysia juga idem dito. Sepanjang pekan lalu, berita sengketa atas perairan Laut Sulawesi hanya sesekali menghiasi halaman koran. Penanganan masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) dan soal ancaman tsunami di Malaysia justru lebih banyak dikupas. Harian The Star, misalnya, mengangkat kasus razia TKI ilegal di Malaysia sebagai laporan utamanya. Kasus Ambalat hanya diselipkan di halaman dalam.
New Straits Times dan Harian Ekspres melakukan hal yang sama. Koran Utusan Malaysia, yang selama ini dikenal getol memuat konflik Indonesia-Malaysia, malah tidak memuat berita perihal Ambalat sama sekali. Menurut praktisi hukum Md. Radzi bin Mustafa, minimnya pemberitaan itu bukan karena pers sengaja menutup-nutupi, melainkan lebih karena mengikuti instruksi pemerintah agar tidak emosional menanggapi sikap rakyat dan pemerintah Indonesia.
Pers diimbau lebih memberi perhatian pada masalah TKI. "Ini isu mendasar karena mengancam stabilitas ekonomi dan sosial Malaysia," kata Radzi kepada Tempo, pekan lalu. Pendapat itu disetujui Awang Hasmadi, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Tapi sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Malaysia berpendapat lain. Mereka justru mengecam sikap negeri sendiri.
Di dalam kelompok LSM ini terdapatlah Suara Rakyat Malaysia (Suaram), Labour Resources Centre (LRC), Persatuan Sahabat Selangor (PSS), dan Angkatan Muda. "Memberi izin kepada Shell mengebor di tempat yang masih sengketa itu adalah lancang," kata Direktur PSS, Suguna Pakpahan, dengan nada tinggi.
Suguna menengarai Malaysia sengaja mengklaim Ambalat lebih dulu dengan cara memberi konsesi eksplorasi di wila-yah itu untuk mengulang sukses merebut Sipadan dan Ligitan. Kuala Lumpur merasa yakin mereka akan sukses mencaplok wilayah di Laut Sulawesi itu melalui langkah diplomasi. "Malaysia seharusnya membereskan lebih dulu tuntutan negara lain terhadap kawasan yang disengketakan itu," Suguna menambahkan.
Koordinator Suaram, Aru Chelan, punya sikap berbeda. Menurut dia, Indonesia dan Malaysia sengaja mencuatkan kasus Ambalat untuk menyelamatkan masalah dalam negeri masing-masing. Pemerintah Indonesia saat ini sedang dilanda demonstrasi memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak, sedangkan Malaysia meledakkan masalah TKI sebagai jalan melingkar tawar-menawar atas Ambalat. "Janganlah membodohi rakyat dengan mengangkat isu-isu ini," kata Aru Chelan.
Koordinator LRC, Khairul Anuar, melihat hal yang sama. Menurut dia, langkah Perdana Menteri Abdullah Badawi mengangkat masalah TKI adalah untuk menekan Indonesia. Dengan kata lain, Khairul ingin mengatakan bahwa Indonesia diberi pilihan: TKI aman atau serahkan Ambalat. Jalan pikiran ini terdengar naif.
Eduardus K. Dewanto dan Taufiqurahman H. Salengke (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo