Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Tolak Dana Aspirasi
Pemerintah tak bersedia menampung usul program pembangunan daerah pemilihan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Achir Chaniago menilai usul itu bertentangan dengan Nawacita alias sembilan program prioritas Presiden Joko Widodo.
"Program pembangunan itu diambil dari visi-misi Presiden. Kalau pakai dana aspirasi, bisa bertabrakan," katanya Selasa pekan lalu. Maka pemerintah akan menyampaikan penolakan secara resmi kepada parlemen.
Dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Program Usulan Pembangunan Daerah Pemilihan yang disetujui parlemen pada Selasa pekan lalu, setiap anggota Dewan berhak memperoleh alokasi dana senilai Rp 20 miliar untuk membangun daerah pemilihan masing-masing. Maka total dana yang dibutuhkan dalam lima tahun mencapai Rp 11,2 triliun.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menilai program itu sulit diintegrasikan dalam Rancangan Anggaran 2016 karena tidak ada ruang fiskal untuk menampung usul baru. Namun, menurut Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit, usul sudah masuk Nota Keuangan Rancangan APBN 2016. Jika pemerintah mau membahas, Dewan tak akan banyak mempersoalkan anggaran yang diajukan pemerintah. "Sekarang tergantung pemerintah," ujarnya.
Senayan Terbelah
TIGA fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul dana aspirasi, tapi kalah suara.
Menolak
Menerima
Dewan Ancam Komisi Pemilihan Umum
Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat mengancam memutuskan menunda pemilihan kepala daerah serentak jika Komisi Pemilihan Umum tak bisa menjelaskan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan 2014. Lembaga auditor negara ini menemukan adanya anggaran sebesar Rp 334 miliar yang tidak tepat penggunaannya oleh KPU.
Anggota Komisi Pemerintahan dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, mengatakan temuan BPK menunjukkan bahwa KPU tidak memiliki kecakapan mengelola anggaran. "Maka menjadi pertanyaan apakah KPU dinilai layak atau tidak menjadi penyelenggara pilkada serentak," katanya dalam rapat dengan KPU, Senin pekan lalu.
Temuan dalam audit ini antara lain kerugian negara Rp 13,755 miliar, indikasi kerugian negara Rp 20,539 miliar, pemborosan Rp 93 miliar, kelebihan pungut pajak Rp 1 miliar, dan kesalahan administrasi Rp 185 miliar. Komisioner KPU Sigit Pamungkas mengatakan indikasi kesalahan itu muncul karena sebagian laporan keuangan belum menyertakan kuitansi pembayaran.
Dahlan Terseret Mobil Listrik
Kejaksaan Agung kembali membidik mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan 16 unit mobil listrik. Jaksa menilai Dahlan menyebabkan negara rugi hingga Rp 32 miliar.
Ada tiga hal yang menyudutkan Dahlan, yaitu penyalahgunaan wewenang, penunjukan langsung, dan pengerjaan yang tak sesuai dengan kontrak tapi tetap dibayar. "Keterangan saksi-saksi yang kami periksa mengarah ke Dahlan," ucap Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin, Senin pekan lalu.
Dahlan juga dituduh memerintahkan mantan Pejabat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Kementerian BUMN Agus Suherman mencari dana promosi di tiga BUMN untuk proyek ini. Agus telah menjadi tersangka kasus ini. Kejaksaan juga menetapkan Dasep Ahmadi dari PT Sarimas Ahmadi Pratama, selaku pelaksana proyek yang ditunjuk langsung, sebagai tersangka.
Kuasa hukum Dahlan, Yusril Ihza Mahendra, menganggap kasus pengadaan mobil tak bisa disebut korupsi. "Menurut saya, ini lebih ke arah perdata antara BUMN dan perusahaan mobilnya," katanya.
Kewenangan KPK Terancam Dipreteli
Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke Program Legislasi Nasional prioritas tahun ini. Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Senin pekan lalu.
Ketua Badan Legislasi DPR Sareh Wiyono mengatakan ada lima hal yang disoroti, yakni kewenangan penyadapan agar tidak melanggar hak asasi manusia, sinergi penuntutan dengan kejaksaan, pembentukan badan pengawas, aturan tentang pelaksana tugas bila pimpinan berhalangan, dan penguatan aturan kolektif kolegial.
Namun pimpinan KPK berkukuh menolak revisi. "Itu akibatnya akan melemahkan KPK," ujar pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki. Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, mengatakan keputusan DPR tersebut bertolak belakang dengan yang selama ini digaungkan bahwa revisi untuk memperkuat KPK. Apalagi Presiden Joko Widodo telah tegas menyatakan menolak revisi yang berujung pada pelemahan KPK itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo