Dua pandangan bertemu: sepasang mata biru dan sepasang mata sayu berbola hitam. Kata-kata sapaan meluncur dari bibir mungil pemilik mata biru. Sedangkan si pemilik mata hitam terlihat merem-melek menikmati angin. Sesekali tangan panjangnya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut lebat.
Pertemuan ini terjadi pada suatu hari di bulan Agustus 2003 di Camp Leakey, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Di sana, Ruby Fox Creek Nelson, 12 tahun, gadis cilik asal Amerika Serikat, menuntaskan penantian panjangnya selama empat tahun: menyambangi langsung orang utan (Pongo pygmaeus) di habitatnya.
Ruby tak sekadar bertandang dan mengelus si pongo. Ia merogoh kocek dan menyumbangkan dana yang mendekati US$ 7.000 (sekitar Rp 59,5 juta) buat orang utan lewat pusat rehabilitasi orang utan di Tanjung Puting. Setiap sen uang sumbangan itu dia kumpulkan sendiri. Jerih payah Ruby ini membuat Dr. Biruté Mary Galdikas, Direktur Eksekutif Orangutan Foundation International (OFI), yang mengelola pusat rehabilitasi, amat kagum. "Kami terbiasa menerima donasi, tapi sumbangan seorang Ruby amat istimewa," ujarnya.
Ruby kecil tinggal di sebuah pertanian milik orang tuanya seluas 12-16 hektare di Maine. Sedari kecil Ruby diperkenalkan untuk bisa hidup berdampingan dengan alam. Pada ulang tahunnya yang ke-4, Molly Nelson, ibu Ruby, menawarinya masuk sekolah formal. "Aku menolak karena aku menyukai kebebasan dan menghabiskan banyak waktu dengan anjingku, Blue," kata Ruby. Ia kemudian memilih bersekolah bersama ibunya di rumah (home schooling). "Aku mendapat pendidikan dari berbagai pengalaman dengan bermacam orang di berbagai tempat," ujarnya kepada TEMPO.
Ketika umur Ruby mengancik 7 tahun, Molly menawarkan sesuatu yang tak pernah bisa dilupakan putrinya. "Aku akan membawamu dalam 6 minggu perjalanan ke tempat yang engkau pilih sendiri pada saat usiamu 12 tahun," ujar Molly ketika itu. Tapi hadiah ini tak gratis. Ruby harus berusaha sendiri untuk mendapatkan uang buat perjalanan, plus sumbangan yang akan diberikan di negara yang dia pilih untuk dikunjungi. "Aku juga harus belajar segala sesuatu tentang negara yang dipilih itu sebelum kami berangkat. Termasuk sejarah, geologi, budaya, kehidupan alam, dan pengetahuan dasar tentang bahasa setempat," tutur Ruby.
Mula-mula gadis kecil ini melirik Tasmania. Dia tertarik pada anjing Tasmania, platipus, serta wombat di sana. Suatu hari, saat dia belajar tentang evolusi, Ruby menemukan nama Dr. Louis Leakey—peneliti yang mempelajari kera-kera besar di dunia. Membaca hasil penelitian Leakey, Ruby menjadi amat tertarik pada monyet cerdas yang kerap disebut sebagai kerabat dekat manusia: simpanse. Dia mulai getol menyambangi perpustakaan dan situs Internet buat mencari tahu tempat-tempat simpanse di alam bebas.
Uganda sempat masuk ke dalam daftar negeri yang akan dia kunjungi, tapi batal karena negara itu sedang diamuk perang sipil. Gagal ke Uganda, Ruby makin giat mencari tahu kerabat kera besar. "Ketika aku membaca perilaku orang utan dan kawanannya, aku jatuh cinta," ujar Ruby. Segera saja nona kecil itu mewujudkan niatnya dengan mengirimkan surat elektronik ke berbagai lembaga yang punya kaitan dengan konservasi orang utan. "Pada mulanya amat mengecewakan karena mereka tak menganggap serius keinginan anak seusiaku," katanya. Toh, ia tak berkecil hati.
Senyampang penggalian informasi itu dilakukan, si nona memutar otak buat menggalang dana. "Soalnya, amat sulit buat anak seusiaku mencari pekerjaan di sini," katanya. Tapi Ruby maju terus. Di awal musim panas empat tahun lalu, ia membongkar tabungannya. Uangnya digunakan untuk membeli 100 pot, bibit bunga petunia, media tanam, dan pupuk. Ruby memutuskan untuk mengumpulkan dana lewat menanam bunga petunia yang bisa dipanen dan dijual pada akhir musim semi atau awal musim panas berikutnya. "Kata Ibu, petunia paling diminati pada musim panas," dia memberikan alasan.
Ketika kembang petunia di pot-pot itu berbunga, kesibukan Ruby bertambah. Gadis cilik itu kerap mengetuk pintu rumah penduduk di kotanya seraya menawarkan pot berbunga petunia yang sedang mekar. Untuk lebih memikat calon pembeli, Ruby berkisah tentang proyeknya membantu orang utan. "Tiap sen uang Anda amat berharga bagi hidup orang utan," dia berkampanye. Rupanya penjualan diiringi kampanye ini menarik simpati banyak pembeli. Satu per satu pot petunia berpindah tangan. Uang pun mengalir ke kantong Ruby. "Kadang-kadang mereka memberikan sumbangan lebih karena tertarik membantu orang utan," kenangnya.
Sukses dengan petunia, Ruby melirik tanaman labu. Soalnya, tumbuhan merambat ini mudah dirawat, waktu tanamnya singkat—hanya tiga bulan—dan gampang dijual. Selepas panen, labu-labu ini dia jual sendiri. "Karena orang tuaku juga menjual labu di pasar ini, aku menjual labuku lebih murah," kata Ruby sembari tertawa.
Untuk menambah sangu bagi si pongo, Ruby ikut membantu memanen tomat dan blueberry, bekerja di rumah kaca selama musim semi, bahkan menyetirkan traktor di pertanian tetangganya ketika musim panen tiba. "Dengan begitu, aku mendapat lebih banyak dana untuk orang utan." Tak cuma dana yang digalang Ruby. Informasi tentang orang utan dia sebarkan lewat aneka poster dan buklet. Buat yang ingin ikut menyumbang, disediakan kotak amal.
Penggalangan dana dan kampanye kepedulian selama empat tahun dia jalankan sembari mendalami riset tentang orang utan. Alhasil, Ruby pun makin paham tentang orang utan, terutama habitat dan perilaku mereka. Lewat Internet, akhirnya dia menemukan lokasi yang akan dikunjunginya: Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Di tempat inilah Galdikas telah mendedikasikan 32 tahun umurnya untuk konservasi orang utan. Gayung bersambut. Galdikas menerima keinginan baik Ruby dengan tangan terbuka.
Maka selama tiga minggu—Agustus-September lalu—Ruby menjadi relawan bagi orang utan di Tanjung Puting. Di sini ia melakukan berbagai kegiatan, termasuk melakukan reboisasi di lahan taman nasional yang terjarah, membangun naungan di lokasi pelatihan orang utan, serta mengunjungi sekolah dasar dan berkampanye buat menggugah kesadaran para siswa tentang konservasi. Ada satu pengalaman yang tak terlupakan oleh Ruby, yakni saat dia bertatapan langsung dengan bayi orang utan serta ikut memandikannya.
Seusai berkangen-kangenan dengan orang utan, Ruby menghabiskan tiga pekan lagi bersama ibunya untuk berkeliling Kalimantan. Perjalanan ini membawanya hingga ke Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Di sinilah Ruby menjumpai anak penyu yang sekarat dan kemudian mati. "Aku menguburkannya di laut," ujar Ruby. Pengalamannya di Sangalaki itu mendorongnya berkampanye untuk menyelamatkan anak penyu. Program itu disusunnya bersama Clara Summers, 11 tahun, rekan seperjalanannya ke Sangalaki. Dengan penuh semangat, kedua anak bule ini mengirimkan materi kampanye mereka ke sejumlah pejabat pemerintah.
Antusiasme Ruby menarik perhatian Titayanto Pieter, Manajer Kemitraan Konservasi The Nature Conservancy, yang sempat bertemu dengan Ruby di Balikpapan. Menurut Titayanto, amat banyak anak yang punya perhatian pada binatang, tapi cuma sebatas ketertarikan "melihat dan memelihara". Anak-anak seumur Ruby di Indonesia, menurut Titayanto, lebih senang mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan ketimbang keluar-masuk hutan. Lebih dari itu, "Amat jarang anak-anak yang mengupayakan sendiri dana bagi kegiatan konservasi," ujarnya.
Cinta Ruby untuk si pongo layak dicontoh anak-anak Indonesia.
Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini