Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Semua Bermula dari Redmond

Pemerintah tidak konsisten dalam menjatuhkan pilihan pada peranti lunak di kantor pemerintah. IGOS dikembangkan, Microsoft akan dibeli. Ada apa di balik perubahan itu?

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0945.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH jamuan makan istimewa berlangsung siang itu di Executive Briefing Center. Ini sebuah ruangan di kantor pusat Microsoft, perusahaan peranti lunak komputer kenamaan dunia, di Redmond, Washington, Amerika Serikat, 27 Mei 2005. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri menjadi tamu penting hari itu. Sang tuan rumah tentu saja adalah Bill Gates, pemilik Microsoft, lelaki 51 tahun yang sudah menjadi ikon terpenting kemajuan teknologi komputer dunia. Tiga puluh eksekutif top Microsoft ikut dalam jamuan itu.

Presiden Yudhoyono sempat memberikan ceramah. RI Satu itu mengajak Bill Gates bekerja sama mendirikan pusat riset teknologi di Indonesia. Setelah itu, SBY bertemu empat mata dengan Bill Gates. Tidak jelas apa materi yang dibicarakan. Pada akhir pertemuan, manusia terkaya di dunia itu sempat mengantar Presiden Yudhoyono menuju mobilnya—konon ini sesuatu yang jarang dilakukan Bill Gates.

”Gandeng tangan” itu sempat diberitakan bakal membawa Gates sebagai penasihat teknologi Presiden Yudhoyono. Tapi setelah pertemuan Redmond, kabar lanjutan tentang kerja sama dengan Microsoft tersebut langsung redup dari halaman media massa.

Satu setengah tahun kemudian tiba-tiba tersiar kabar Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, dan Presiden Microsoft Asia Tenggara, Chris Atkinson, pada 14 November 2006 menandatangani memorandum of understanding. Bisa diduga, inilah tindak lanjut dari pertemuan Yudhoyono dan Bill Gates di Redmond. Kontan saja nota kesepahaman itu diprotes keras sejumlah kalangan di dalam negeri karena dinilai memboroskan anggaran.

Dalam nota setebal sembilan halaman itu disebutkan, Indonesia bersedia membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 177.480 unit Microsoft Office. Harga resmi yang dipatok Microsoft untuk Windows sebesar US$ 274 dan Office US$ 179. Artinya, pemerintah harus membayar Rp 377,6 miliar. Jumlah ini sesungguhnya tidak sensasional. Tapi pemerintah sebenarnya punya pilihan untuk memakai software gratis alias open source seperti yang ditawarkan Linux.

Lagi pula, pilihan memakai Microsoft jelas bertentangan dengan Deklarasi 30 Juni 2004. Ketika itu lima menteri, termasuk Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu’arif, sepakat mendukung program ”Indonesia, Go Open Source” (IGOS), pemakaian peranti lunak legal berbasis open source di instansi-instansi pemerintah.

IGOS memang masih perlu terus dikembangkan, sementara Windows sudah siap pakai. Microsoft punya iming-iming lain dalam nota kesepahaman tersebut. Perusahaan itu memberikan bonus berupa hibah lisensi Windows dan Office untuk Pentium III dan sistem di bawahnya kepada pemerintah Indonesia. Tapi sejumlah praktisi lokal paham benar bahwa iming-iming begini adalah trik dagang yang sudah usang. Soalnya, komputer Pentium III dan sistem di bawahnya sudah waktunya masuk kotak alias pensiun.

Penunjukan langsung Microsoft juga dituduh melanggar Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa Bagi Pemerintah. Dalam peraturan itu, setiap instansi diwajibkan menggelar proses tender dalam pengadaan barang.

Soal proyek tanpa tender itulah yang kini diselidiki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Nota kesepahaman itu, kata Faisal Basri, anggota komisi itu, bisa merusak persaingan usaha antara sesama penyedia jasa peranti lunak.

Nota kesepahaman itu juga dinilai kurang elok karena bertentangan dengan semangat pemerintah menghemat anggaran. Selain lebih murah, jika proyek ini dikerjakan penyedia jasa peranti lunak lokal, kata Faisal Basri, bisa membuka lapangan kerja baru. Itu sebabnya, KPPU bertekad memanggil pemerintah untuk meminta klarifikasi atas kasus ini.

Para wakil rakyat di Senayan juga geregetan dengan nota kesepahaman itu. Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Perwakilan Rakyat berencana memanggil Menteri Sofyan Djalil pada awal Januari 2007.

Rencana itu sudah tepat. Teknologi informasi memang sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Dan akan banyak praktisi serta pengguna yang berpotensi terkena rugi jika MOU dengan Microsoft dijalankan. Suara keberatan terhadap MOU, misalnya, datang dari Onno W. Purbo, pakar teknologi informasi.

Pemerintah, kata Onno Purbo, seharusnya menggunakan teknologi alternatif open source seperti Open Office, yang bisa diperoleh dengan cuma-cuma. Sudah banyak juga anak Indonesia yang mengembangkannya. Pointer Linux merupakan salah satu buah karya para ahli Indonesia.

Mutu peranti lunak lokal pun sudah diakui dunia. Januari 2007 ini, menurut Onno, sejumlah ahli Indonesia akan menggelar Asia Source di Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar 150 delegasi dari negara-negara di Asia Pasifik akan hadir. ”Mereka ingin belajar open source dari Indonesia,” kata Onno. Lalu, mengapa pemerintah harus mengikatkan diri pada Microsoft dengan ongkos begitu tinggi? Seperti kata iklan: tanya kenapa?

u u u

Pemerintahan Megawati pernah berupaya menggunakan open source. Deklarasi 30 Juni 2004 tadi adalah pemancangan tekad mewujudkan IGOS. Bukan sebatas tekad, sejumlah langkah nyata sudah dilakukan. Panduan pengembangan sistem sudah diterbitkan. Pusat pelatihan direncanakan didirikan untuk memudahkan sosialisasi.

Di era SBY, niat untuk meneruskan program ini pernah terlihat jelas. Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, dalam surat edaran tertanggal 24 Oktober 2005 meminta para menteri dan pejabat negara menggunakan peranti lunak yang legal. Sofyan juga menganjurkan agar para pejabat itu menggunakan perangkat lunak lokal yang berbasis open source.

Keseriusan pemerintah mengembangkan si IGOS terlihat dari proyek yang dikembangkan oleh Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman. Bersama sejumlah badan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan sejumlah lembaga lain, Kusmayanto mengembangkan teknologi berbiaya hemat ini.

Aplikasinya juga sudah ada. Sejak 15 Januari 2006 kantor Menteri Riset sudah memakai IGOS. Aplikasi itu berupa surat elektronik, Internet, pengolah kata, dan pembuat materi presentasi. ”Institut Teknologi Bandung bahkan sudah mengembangkan aplikasi komputer pengolah dan penghasil peta,” kata Kusmayanto.

Walau baru dikembangkan, IGOS sudah digunakan untuk kegiatan ASEAN Science and Technology Week, awal Agustus 2005 lalu. Karena sudah siap pakai, Kusmayanto bahkan sudah menyusun rencana kegiatan empat tahun sampai tahun 2009.

Itu sebabnya, mantan Rektor ITB ini ikut barisan yang anti-MOU dengan Microsoft itu. Dia setuju pembajak peranti lunak perlu diberantas, tapi, ”Kita tidak harus bergantung pada satu perusahaan.” IGOS, tutur Kusmayanto, adalah peluang untuk menunjukkan kemampuan Indonesia memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

Jika kemudian program ini berjalan lamban, kata Kusmayanto, itu karena ego sektoral antardepartemen cukup kuat. Kusmayanto mengaku kesulitan mengkoordinasikan penggunaan program IGOS di komputer lembaga pemerintah.

Kepada Tempo, Sofyan membenarkan bahwa komitmen mengembangkan open source sudah dicanangkan sejak 2004. ”Tetapi saat saya cek berapa yang sudah jalan, ternyata tidak ada. Begitu MOU dibikin, sekarang semua ribut,” katanya. Walau setuju untuk terus mempromosikan penggunaan IGOS, Sofyan menukas, ”Promosi itu tidak bisa dalam satu malam.”

Mungkin Sofyan kurang lengkap meneliti. Sebab, Menteri Riset mengatakan semua komputer di BPPT, sekitar 300 komputer, sudah dioperasikan penuh dengan IGOS. Penghematan yang dilakukan luar biasa besar. Program ini bisa menghemat sampai 85 persen biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli peranti lunak Microsoft. Lembaga seperti Batan dan Bakosurtanal juga sudah memakai IGOS.

Adu angka dan adu argumen ini kelihatannya masih akan panjang. Sementara itu, Menteri Sofyan segera punya kesibukan baru, melayani panggilan KPPU, DPR, dan dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduannya atas Faisal Basri. ”Saya tidak melanggar apa pun, jadi tak ada masalah,” ujar Sofyan.

Dengan keyakinan itu Sofyan mengadukan Faisal Basri, anggota KPPU, kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Kamis pekan lalu. Faisal dituduh mencemarkan nama baik Sofyan. Dalam sebuah situs berita, menurut Sofyan, Faisal menuduh pemerintah telah menerima dana dari Microsoft. ”Dari mana asal-usul tuduhan itu? Murah benar harga kita,” ujar Sofyan kesal.

Faisal Basri memastikan pemerintah sangat dirugikan akibat nota kesepahaman dengan Microsoft. Perjanjian itu berjalan mulus, menurut Faisal, lantaran Bill Gates Foundation telah menjanjikan bantuan lebih dari Rp 10 miliar kepada pemerintah untuk mengembangkan riset e-government.

”Janji bantuan Bill Gates itu mempengaruhi pemerintah untuk membuat nota kesepahaman tersebut,” kata Faisal. Menurut ekonom itu, ditunjuknya salah seorang petinggi Microsoft sebagai penasihat presiden memperkuat alasan yang dikemukakannya. Bantuan Bill Gates Foundation memang bukan suap. Tapi, Faisal melanjutkan, ”Ini merupakan perselingkuhan, karena pemerintah sebelumnya bertekad mengembangkan peranti open source.”

Pada 28 Agustus lalu, Presiden Yudhoyono memang menerima seorang petinggi Microsoft di Istana Negara. Ini agaknya lanjutan pertemuan di Redmond. Menurut sumber, yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah perkembangan teknologi informasi di Indonesia.

Tony Chen, Presiden Direktur Microsoft Indonesia, menyangkal tuduhan bahwa MOU mulus karena janji bantuan dari Bill Gates Foundation itu. ”Tuduhan itu sama sekali tidak benar,” katanya. Bill Gates Foundation, katanya, berbeda manajemen perusahaan dengan Microsoft. Bantuan itu, kalaupun ada, tidak perlu dipersoalkan karena, menurut Chen, bantuan yang sama lazim diberikan yayasan tersebut kepada sejumlah negara berkembang. Biasanya bantuan diberikan untuk program kesehatan, seperti memberantas wabah penyakit, dan, ”Bukan untuk pengembangan teknologi informasi,” ujar Chen.

Faisal Basri menilai langkah Sofyan mengadukan dirinya justru akan mengurai masalah ini lebih jelas. ”Saya tidak menyebut suap, tapi saya bisa buktikan ini perselingkuhan. Hal ini malah membuat Sofyan malu,” Faisal menandaskan.

Urusan belum akan berakhir cepat. Tapi soal peranti lunak yang akan dipakai pemerintah, Sofyan Djalil mulai melirik jalan tengah. Nota kesepahaman dengan Microsoft itu, kata Sofyan, akan jalan terus, tapi setiap departemen boleh memakai peranti lunak apa saja asalkan halal dan bukan bajakan.

Sebuah langkah kompromi yang terdengar ”mendua”. Semestinya, pemerintah tegas berpihak pada pemakaian peranti lunak yang bebas diakses dengan sistem mana pun—dan bukan satu sistem milik perusahaan mana pun.

Wenseslaus Manggut, Bagja Hidayat, Adek Media Rosa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus