Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harga Rumah Sederhana Naik

HARGA rumah sederhana tahun ini bakal naik rata-rata 16,67 persen. Kenaikan harga bahan bangunan dan biaya perizinan menjadi faktor penyebabnya. Rencananya, surat keputusan tentang kenaikan harga itu bakal segera diteken Menteri Negara Perumahan Rakyat, M. Yusuf Asy'ari.

Dengan kenaikan ini, harga rumah sederhana bagi masyarakat golongan I (berpenghasilan Rp 1,7 juta-2,5 juta per bulan) akan naik dari Rp 42 juta menjadi maksimum Rp 49 juta. Subsidi yang digelontorkan pemerintah untuk kelompok ini sebesar Rp 7,5 juta.

Untuk masyarakat golongan II (berpenghasilan Rp 1 juta-1,7 juta per bulan), pemerintah menyediakan subsidi Rp 10 juta dengan harga baru rumah sederhana Rp 38 juta. Sedangkan bagi masyarakat golongan III (berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan), disediakan rumah sederhana seharga Rp 28 juta dengan subsidi Rp 12,5 juta.

Pusri Bangun Pabrik di Iran

PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang akan mulai melakukan ekspansi ke luar negeri. Dalam waktu dekat, sebuah pabrik pupuk berkapasitas 3.500 ton urea per hari akan dibangun di Iran, negara konsumen urea terbesar kedua di dunia setelah Rusia.

Selain itu, Iran dijadikan pilihan lantaran ketersediaan bahan baku gasnya yang melimpah dan murah. Di sana, Pusri memperoleh gas seharga US$ 1 per million metric British thermal unit (mmbtu), jauh di bawah harga di Indonesia yang mencapai US$ 2,3 per mmbtu. Ini jelas menguntungkan karena pada tahun ini diperkirakan harganya akan meroket hingga US$ 3 per mmbtu.

Direktur Utama PT Pusri, Dadang Heru Kodri, mengatakan pembangunan pabrik ini bekerja sama dengan pemerintah Iran. Dalam dua bulan ke depan, kemungkinan perjanjian kerja sama sudah bisa diteken.

Sebagian Beras Impor Tanpa Tender

PEMERINTAH memutuskan pengadaan beras impor sebanyak 500 ribu ton tak semuanya melalui tender. Separuh dari kebutuhan beras itu akan langsung diimpor melalui mekanisme perdagangan antarpemerintah. Jika semuanya dilelang, pemerintah khawatir akan terjadi keterlambatan pasokan. Padahal, persediaan beras milik pemerintah untuk warga miskin sudah menipis dan harus disiapkan cadangan baru. "Ini masalah waktu," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Negara produsen beras, Vietnam, merupakan salah satu negara yang telah meneken perjanjian kerja sama dengan Indonesia. Dalam perjanjian yang berakhir pada 2007 itu, negara itu menyanggupi akan memasok 500 ribu ton beras per tahun ke Indonesia. Meski begitu, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Diah Maulida, selain dengan Vietnam, pemerintah akan mencari alternatif pasokan lain, seperti dari Thailand, India, atau negara sekitarnya.

Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo mengatakan, melalui mekanisme perdagangan antarpemerintah, harga pembelian beras impor akan jauh lebih murah. Beras impor dari Vietnam hanya dijual sekitar US$ 280 per ton, yang berarti lebih murah US$ 20 per ton dari beras hasil tender. Kekurangannya baru akan diimpor lewat tender terbuka setelah Januari 2007.

Target Pajak Tak Tercapai

Pemerintah kemungkinan besar akan gagal mencapai target penerimaan pajak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2006. Sampai 22 Desember lalu, Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan baru berhasil mengumpulkan Rp 345,4 triliun, atau 92 persen dari target sebesar Rp 371,7 triliun.

"Dipastikan target tidak tercapai, meskipun minggu ini masih akan ada pemasukan," kata Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution, pekan lalu. Hingga akhir tahun, katanya, setoran pajak paling banter hanya 97,5 persen.

Menurut Darmin, penyebab utama tidak tercapainya target pajak adalah penurunan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) impor secara absolut, begitu juga pertumbuhannya, terutama pada kuartal ketiga 2006. Penurunan juga terjadi pada setoran pajak penghasilan (PPh) impor dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor, khususnya di sektor otomotif.

Di luar pajak impor, penurunan PPn dan PPh terparah terjadi di sektor komponen barang, seperti industri logam, industri besi dan baja, serta industri bahan-bahan kimia. Pengaruh yang lain, meskipun kecil, kata Darmin, adalah penerimaan pajak yang mestinya dibayarkan pemerintah. Tahun ini, jumlahnya turun drastis dari Rp 6,3 triliun (2005) menjadi Rp 1,8 triliun (2006). Ini merupakan pajak yang timbul atas revaluasi aset PLN yang tidak bisa membayar PPh. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus