Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari dalam hidup Robert Tantular, 20 November setahun lalu. Bank Indonesia memanggil pemilik Bank Century yang sedang kolaps itu pada petang hari. Dari bank sentral, ia yang ditemani Direktur Utama Hermanus Hasan Muslim dan wakilnya, Hamidi, diminta menuju Departemen Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta. ”Sampai sana kami hanya disuruh nunggu,” ujar Robert pekan lalu.
Century baru saja kalah kliring sepekan sebelumnya. Fasilitas pinjaman jangka pendek dari bank sentral tak bisa menolong. Penarikan dana oleh nasabah secara terus-menerus telah menguras kocek bank itu. Usaha Robert menggandeng investor baru buat menambah modal juga tak kunjung berhasil. Rabu malam itu, di Departemen Keuangan, nasib Century ditentukan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Robert dan dua anggota direksi Century diminta menunggu di sebuah ruang besar di lantai dua yang, menurut Robert, tanpa kursi dan tanpa meja, diketahui sebagai Ruang Mezanine. Di ruang lain di lantai tiga, rapat Komite Stabilitas dihadiri Gubernur Bank Indonesia Boediono (kini wakil presiden), Siti Fadjrijah (Deputi Gubernur Senior BI), Raden Pardede (Sekretaris KSSK), Rudjito (Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan), Muliaman D. Hadad (anggota LPS), dan Marsillam Simandjuntak (Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi). Menurut Raden, ada sekitar 30 peserta.
Robert ternyata harus begadang di ruang besar itu semalaman, dari Rabu, pukul 21.00, sampai pukul 07.00 esok harinya. ”Kami tahu mereka meeting, tapi kami tak tahu apa-apa,” ujarnya. Kamis pagi, Wakil Direktur Pengawasan Bank Indonesia Heru Kristiana baru memberi tahu: Century diambil alih oleh LPS.
Sebagai Direktur Century Mega Investama, salah satu pemegang saham Bank Century, Robert, diberi dua pilihan: ikut menyetor modal bank hasil rekapitalisasi atau tidak. Jika ikut, ia harus menyediakan seperlima kebutuhan dana. Ia menyatakan ikut dan diberi waktu 35 hari buat menyediakan duit. ”Lalu saya pulang,” ujar Robert, yang telah divonis empat tahun penjara dalam kasus penggelapan duit nasabah.
Setahun lebih setelah malam panjang itu, kehadiran Robert menjadi kontroversi. Sejumlah anggota Panitia Khusus Hak Angket Kasus Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat mengklaim punya bukti rekaman percakapan Sri Mulyani dengan Robert. Bambang Soesatyo, anggota panitia dari Partai Golkar, menyebutkan, pembicaraan keduanya berlangsung sangat singkat.
Menurut Bambang, Sri Mulyani pada rekaman itu mengatakan: ”Kita akan rapat tertutup dulu, ya, Robert.” Lalu, menurut dia, Robert menjawab: ”Ya sudah, oke. Tidak apa-apa rapat tertutup. Yang penting kan kesimpulan mengakhiri pasal keadaan krisis.” Anggota panitia menuduh, Robert ikut mempengaruhi rapat yang akhirnya memutuskan Century diselamatkan. Belakangan, Lembaga Penjamin menyuntikkan dana hingga Rp 6,7 triliun untuk keperluan ini.
Keterangan Bambang disangkal Raden Pardede. Ia mengatakan, yang disebutkan anggota Dewan itu rekaman pembicaraan antara Sri, dirinya, dan Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo. Ketiganya berbincang beberapa detik, sebelum rapat pindah dari ruang besar yang diikuti 30-an orang ke ruang kecil yang hanya dihadiri Sri, Boediono, dan Raden.
Mengutip rekaman, Raden menyatakan, Sri Mulyani ketika itu berujar: ”Oh ya... Robert, Robert. Sudah, rapat tertutup kita sekarang. Sudah-sudah Robert, Den.” Raden mengingat, perkataan Sri itu menjawab Agus yang masih membahas cacat Robert Tantular. Raden mengaku tidak berkomentar apa pun ketika itu.
Raden menambahkan, menjelang akhir rekaman rapat yang berdurasi empat jam itu, terdengar suara lelaki yang berbicara dengan Sri Mulyani. Sang lelaki memberi saran teknis hukum atas pengambilan keputusan penyelamatan Century. Menurut dia, itu suara Marsillam Simandjuntak. ”Kami punya video yang juga merekam rapat,” ujar Raden. Ia memastikan, Sri tak bertemu dengan Robert Tantular malam itu. Ia pun menyatakan telah menyerahkan transkrip rekaman ke Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada Tempo, Marsillam Simandjuntak membenarkan perihal suaranya dalam rekaman itu. Sabtu pekan lalu, beberapa orang dekat Boediono menyatakan akan memutar video kepada wartawan.
Kontroversi rekaman itu muncul sehari setelah Sri Mulyani membuka ”perseteruan lama”-nya dengan Aburizal Bakrie, pengusaha, mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang kini memimpin Partai Golkar. Kepada koran The Asian Wallstreet Journal, ia mengatakan, Aburizal tidak senang kepadanya. ”Saya tidak berharap orang-orang di Golkar bersikap adil pada saya,” ujarnya.
Menurut Sri, perselisihannya dengan Aburizal berawal tahun lalu, ketika ia menolak permintaan koleganya di kabinet untuk menunda pembukaan kembali perdagangan saham beberapa perusahaan keluarga Bakrie. Ketika itu, harga saham PT Bumi Resources, perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie, terjerembap ke level terendah. Hal yang sama terjadi pada saham lima perusahaan lain di bawah Grup Bakrie.
Bursa Efek Indonesia pun menutup perdagangan saham-saham keluarga Bakrie. Pembukaan kembali perdagangan akan semakin membuat harga saham perusahaan-perusahaan itu semakin jatuh (lihat ”Panas Digoyang Gempa Bumi”, Tempo, 17 November 2008).
Tahun lalu, Sri juga mencegah ke luar negeri sejumlah eksekutif perusahaan tambang batu bara, termasuk Bumi, yang diduga menunggak pembayaran royalti tambang ke pemerintah. Namun Lalu Mara Satriawangsa, juru bicara Aburizal, mengatakan sikap Partai Golkar dalam pengusutan kisruh Century di Dewan Perwakilan Rakyat tidak berkaitan dengan persoalan pribadi bosnya. ”Jangan bawa ke persoalan pribadi,” ujarnya.
Kisruh Century rupanya membuka perseteruan yang selama ini selalu ditutup-tutupi. Baik Sri maupun Aburizal, ketika keduanya berada di kabinet, mengatakan tidak memiliki masalah. Apalagi Aburizal juga selalu menyatakan telah meninggalkan bisnisnya sejak bergabung menjadi anggota Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004.
Seorang anggota panitia khusus menyatakan Sri setidaknya memiliki empat persoalan dengan Aburizal. Dua hal berkaitan dengan perdagangan saham dan royalti perusahaan keluarga Bakrie. Yang lainnya, karena Sri menentang penggunaan anggaran negara buat menyelesaikan dampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Walhasil, keluarga Bakrie harus merogoh kas mereka hingga Rp 4 triliun.
Politikus itu juga menyebutkan Aburizal tidak senang dengan sikap Sri dalam divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. Menteri Keuangan dianggap menghalang-halangi upaya PT Multi Daerah Bersaing—perusahaan patungan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, dan PT Multicapital milik Grup Bakrie—membeli 31 persen saham Newmont. Sri justru memilih PT Aneka Tambang, perusahaan negara yang belakangan mundur karena tak kuat menyetor modal.
Hingga akhir pekan lalu, Aburizal belum bersedia diwawancarai. Tempo telah mengirim surat permohonan wawancara melalui surat tapi belum ditanggapi. Ditemui di sebuah pesta pernikahan di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Sabtu pagi, ia yang mengenakan setelan jas warna gelap hanya tersenyum. Lalu Mara menyatakan bosnya tidak akan melakukan wawancara karena ”tidak merasa memiliki masalah pribadi dengan Sri Mulyani”.
Adapun Tryana Sjam’un, Direktur Utama Bakrie Capital Indonesia dan Komisaris Utama Multi Daerah Bersaing, membantah Bakrie marah kepada Sri gara-gara divestasi saham Newmont. ”Tidak benar itu,” ujarnya. Ia menyatakan, dalam divestasi saham Newmont, pemerintah Nusa Tenggara Barat yang aktif bernegosiasi.
Dengan riwayat perseteruan itu, tak mengherankan, para pendukung Sri Mulyani menganggap kelompok Aburizal berada di balik serangan politik dari Senayan dalam kisruh Century ini.
Penyelamatan Century pertama kali dipersoalkan sejumlah politikus Beringin, dua hari sebelum Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, akhir Agustus lalu. Mereka menyatakan Sri akan dicecar pertanyaan yang berkaitan dengan penyelamatan bank hasil merger sejumlah bank kecil itu.
Para politikus Golkar itu antara lain Harry Azhar Aziz, Natsir Mansyur, Ade Komaruddin, dan Melchias Marcus Mekeng. Mereka menganggap pengucuran dana itu tindakan ilegal. Natsir Mansyur, misalnya, mempertanyakan alasan dampak sistemik yang dijadikan dasar penyelamatan. Pernyataan para politikus Golkar ini lantas dikutip media massa.
Ledakan kasus ini kian hebat setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla, rival Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono pada pemilihan presiden, Juli lalu, menyatakan tidak pernah setuju dengan penyelamatan Century. Ia juga mengaku tidak pernah diajak berembuk oleh Sri dan Boediono.
Sri Mulyani mengaku heran dengan sikap Dewan yang baru mempersoalkan penyelamatan Century pada rapat kerja, Agustus 2009. Padahal, pada rapat Februari 2009, atau tiga bulan lebih setelah penyelamatan, tak ada pertanyaan sama sekali dari Dewan.
Dihubungi Sabtu pekan lalu, Harry Azhar menyebutkan pernyataan para politikus Golkar yang kemudian muncul di surat kabar dua hari sebelum rapat kerja itu bukan skenario yang dimainkan kubu Aburizal. Apalagi, kata dia, waktu itu Aburizal belum menjadi Ketua Umum Golkar. “Kami hanya mencium ketidakberesan,” ujarnya.
Kubu Sri Mulyani memang memasang mata awas kepada Aburizal. Sang pengusaha memiliki kedekatan dengan Yudhoyono. Ia bahkan termasuk dalam daftar terakhir calon wakil presiden, sebelum akhirnya Yudhoyono memilih Boediono. Cikeas juga ”merestui” Aburizal ketika bertarung dengan Surya Paloh, yang didukung Jusuf Kalla, dalam pemilihan Ketua Umum Golkar di Pekanbaru, Riau, Oktober lalu.
Sebelum pembentukan panitia khusus, menurut sejumlah politikus Beringin, Yudhoyono meminta Sri Mulyani menemui Aburizal. Tujuannya, meredam dukungan Beringin terhadap pembentukan panitia untuk hak angket itu. Sri kabarnya datang ke rumah Aburizal di Menteng, Jakarta Pusat. ”Saya dengar, Sri Mulyani sampai mencium tangan Pak Aburizal,” kata Harry Azhar.
Setelah pertemuan itu, Golkar sedikit melunak. Pemilik kursi terbanyak kedua di Dewan Perwakilan Rakyat ini pun mengajukan calon yang sangat diterima oleh Cikeas: Idrus Marham. Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini memiliki hubungan yang baik dengan Yudhoyono. ”Ia dipasang biar kasus Century tak berkembang menjadi bola liar yang menjatuhkan Presiden,” kata seorang politikus senior Beringin.
Tapi soal adanya perintah Presiden kepada Sri Mulyani agar menemui Aburizal itu ditepis juru bicara Presiden, Julian Pasha. “Tidak ada,” katanya, “itu pasti rumor. Presiden tidak mungkin melakukan hal-hal macam itu.”
Kini, perseteruan Aburizal dan Sri Mulyani akan semakin terbuka. Pekan lalu, walau secara ”kebetulan” Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo membuka dugaan penggelapan pajak oleh tiga perusahaan tambang batu bara milik kelompok Bakrie (lihat ”Gebrakan Pajak di Akhir Tahun”). ”Kami sudah memeriksa penggelapan pajak itu jauh sebelum ribut-ribut sekarang,” kata Tjiptardjo.
Sri Mulyani, setelah pernyataannya di Wall Street Journal, memilih tutup mulut. Ditemui Tempo pada acara Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jumat petang pekan lalu, ia berujar pendek, ”Saya tidak mau berkomentar.”
Budi Setyarso, Padjar Iswara, Okta Wiguna, Sunudyantoro, Agus Suprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo