Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendatangi Tengku Azmun Jaafar di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Siang itu, akhir Oktober silam, mereka membawa sepucuk surat penting. Mantan Bupati Pelalawan, Provinsi Riau, itu diminta menandatanganinya. Isinya: berita acara penyitaan 19 rekening atas nama Azmun dan keluarganya.
Azmun Jaafar terkesiap. Bapak lima anak berusia 51 tahun ini memandang tak percaya kepada tamunya. Darahnya naik. ”Kejam benar kalian. Sekalian saja istri saya kalian rampas,” pekiknya. Azmun menolak menandatangani berita acara penyitaan itu. ”Itu ada hak orang lain yang bukan uang saya,” katanya.
Itu untuk kedua kalinya para jaksa gagal merayu Azmun. Beberapa pekan sebelumnya, tim jaksa yang sama sudah menyambangi Azmun di penjara Cipinang. Kedatangan mereka berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung pada 3 Agustus lalu. Mahkamah memvonis Azmun 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta, plus wajib membayar uang pengganti Rp 12,3 miliar. Ia dinilai terbukti melakukan korupsi berkaitan dengan penerbitan izin pemanfaatan hutan. Nah, berdasar putusan kasasi Mahkamah itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi berencana menyita rekening Azmun.
Lantaran menemui jalan buntu ”menaklukkan” Azmun, tim jaksa pimpinan Mochamad Rum, pada Oktober lalu, meminta seorang petugas penjara Cipinang menjadi saksi penolakan Azmun. Berita acara penolakan pun dibuat. Adapun untuk dokumen berita acara penyitaan, di bawahnya ditulis ”terpidana H. Tengku Azmun Jaafar SH tidak bersedia menandatangani berita acara penyitaan”. Tak ada tanda tangan Azmun, yang ada hanya tanda tangan Mochamad Rum dan dua orang saksi. Kepada Tempo, Azmun mengatakan pihaknya telah melayangkan surat ke KPK meminta kelonggaran mengangsur ganti rugi itu. ”Tapi sampai saat ini tak ada jawaban,” ujarnya.
Sembilan belas rekening yang disodorkan jaksa KPK itu memang atas nama anak, istri, dan Azmun. Di situ, misalnya, tercatat empat rekening atas nama putri sulungnya, Tengku Ferra Wahyuni, dua atas nama putri keduanya, Fauziah, dan tujuh rekening atas nama istrinya, Dian Dahliar. Rekening itu tersebar di BNI, Bank Mandiri, dan BCA. Menurut Azmun, uang yang terdapat dalam rekening Ferra adalah tabungan yang dikumpulkan putrinya sejak kecil. Karena itu, ujarnya, seharusnya tak bisa disita. Penyitaan inilah yang membuat Ferra menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi dan Bank BNI.
Menurut Ferra, 23 tahun, empat rekening miliknya tidak ada hubungan dengan kejahatan yang dilakukan ayahnya. Selain itu, rekening tersebut tak tercantum dalam amar putusan. Menurut S.F. Marbun, pengacara Ferra, dengan tidak tercantumnya harta tersebut dalam amar putusan, berarti uang tersebut memang tak ada kaitan dengan tindak pidana yang dilakukan Tengku Azmun. ”Jadi apa dasar penyitaannya?” kata Marbun.
Dalam amar putusan Mahkamah Agung pada 3 Agustus itu memang tak tercantum rekening atas nama Ferra Wahyuni. Dalam amar tersebut hanya tercantum Mahkamah memerintahkan untuk menyita sejumlah uang tunai dari berbagai pihak yang diduga terkait tindak pidana Azmun. Total nilainya sekitar Rp 11 miliar. Amar putusan juga memerintahkan penyitaan terhadap tiga sertifikat tanah milik Azmun.
Tak hanya pada putusan Mahkamah, dalam amar putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pun tak pernah disebutkan daftar 19 rekening yang disodorkan KPK. Menurut Marbun, berdasar itulah, KPK telah melakukan kesalahan: menyita sesuatu yang bukan obyek sitaan. ”Konsekuensi yuridisnya, Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengembalikan rekening tersebut,” ujar Marbun. Penolakan ini toh sia-sia. Kendati Azmun menolak membubuhkan tanda tangannya, rekening itu pada akhir Oktober silam telah diblokir. Sejak itulah para pemilik rekening tak bisa lagi mengutak-atik duit mereka.
Kepada Tempo, Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Khaidir Ramli menegaskan bahwa penyitaan yang dilakukan KPK memang berdasar putusan Mahkamah. Mereka menyita setelah sebulan sejak putusan Mahkamah, Azmun tak juga membayar ganti rugi yang diperintahkan. Adapun penyitaan rekening milik Ferra, ujar Khaidir, karena terbukti di persidangan uang itu berkaitan dengan kejahatan sang ayah. ”Di pengadilan, Azmun mengaku telah membagi-bagikan uang itu, antara lain, kepada anak-anaknya.”
Khaidir juga menunjuk usia Ferra yang masih belia untuk bisa mendapat duit miliaran rupiah. ”Tidak masuk akal anak yang baru duduk di bangku SMA punya uang sebanyak itu,” ujarnya. Tapi soal ”tidak logis” ini dibantah Marbun. Menurut Marbun, kliennya yang baru lulus sarjana ekonomi dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta itu selama ini memiliki usaha di Jakarta. Hanya, bergerak di bidang apa, Marbun mengaku tidak tahu persis.
Kasus ”perlawanan” penyitaan itu kini sudah bergulir di meja hijau. Selain menggugat perdata KPK, Ferra menggugat Bank BNI Cabang Pekanbaru. BNI digugat karena pihak bank tidak pernah menyampaikan perihal adanya penyitaan itu. Tak adanya pemberitahuan ini, ujar Marbun, sempat membuat malu keluarga Ferra. ”Saat akan membayar di restoran, kartu debitnya ternyata tak bisa lagi digunakan,” ujar Marbun.
Ferra menggugat dua institusi itu membayar ganti rugi terhadap dirinya Rp 1,35 miliar. Ia memerinci mengalami kerugian material Rp 350 juta dan kerugian imaterial Rp 1 miliar dalam kasus ini. Sidang pertama perkara ini sudah digelar pada Selasa, 24 November lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Tapi, karena pihak Bank BNI tak datang, sidangnya ditunda,” ujar Ferra kepada Tempo.
KPK sendiri tak gentar menghadapi perlawanan keluarga Azmun. Menurut Khaidir, penyitaan terhadap harta benda terpidana dan keluarganya tidak harus yang tercantum dalam amar putusan. Daftar harta benda yang dicantumkan dalam tuntutan dan amar putusan sifatnya hanya untuk kepentingan pembuktian. ”Jika pembuktian dianggap cukup, tidak semua harus dicantumkan,” ujarnya. Menurut dia, semua harta benda yang terkait dengan tindak pidana korupsi bisa disita.
Tempo telah menelusuri kediaman Azmun di Pelalawan dan Pekanbaru. Sejumlah warga yang tinggal di dekat rumah Azmun menyatakan tak pernah mendengar keluarga Azmun memiliki bisnis yang bisa menghasilkan miliaran rupiah. Selain di Pelalawan, Azmun memiliki rumah di kawasan elite Mutiara Sari, Bukit Raya, Pekanbaru. ”Mereka jarang bergaul dengan warga,” ujar Abdullah, tetangga Azmun di Mutiara Sari. ”Ferra juga jarang terlihat di Pekanbaru.” Menurut Safbri, petugas satuan pamong praja yang menjaga rumah Azmun, sejak lulus SMA di Pekanbaru, Ferra lebih banyak tinggal di Jakarta.
Pengamat hukum pidana yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indrianto Seno Adji, mengatakan bahwa harta yang bisa disita mestinya adalah harta yang hanya tercantum dalam amar putusan. ”Ini demi kepastian hukum,” katanya. Jika ada pihak yang merasa dirugikan lantaran hartanya yang tak tercantum dalam amar putusan itu ikut disita, ia memang bisa menggugat.
Menurut Indrianto, dalam kasus rekening Ferra itu, tugas hakim meminta KPK membuktikan harta itu terkait dengan kasus korupsi Azmun atau tidak. ”Jadi, majelis tidak akan melihat harta itu masuk amar putusan atau tidak,” ujarnya.
Ramidi dan Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo