(Catatan Sardono W. Kusumo tentang kehidupan suku Dayak Kenyah di Apo Kayan, di batas Kalimantan Timur dan Utara, sembilan tahun lalu. Seperti orang modern tergantung listrik dan telepon, orang-orang itu begitu bergantung pada hutan -- sebelum hutan itu terbakar.) SUATU malam seorang pemeras tebu masih bekerja. Makin larut justru suara alat pemeras itu makin berirama. Konon, suara berirama itu makin lama makin membentuk maknanya, di telinga si pemeras tebu suara itu menjadi saran: carilah daerah baru yang lebih subur. Itulah yang akan diceritakan orang Dayak Kenyah bila ditanya asal-usul mereka. Mereka datang dari suatu daerah di Serawak, dan berkumpul di Apo Kayan karena perintah suara itu, beratus tahun lalu. Dan "suara" itu pulalah ternyata yang kemudian membentuk hidup orang Kenyah: dalam jangka waktu tertentu mereka berpindah dari kawasan hutan yang satu ke kawasan lain. Alam rupanya telah mengatur semuanya dengan harmonis. Kebudayaan pindah ini memang sebuah keniscayaan. Watak tanah Kalimantan sendiri tak memungkinkan adanya perladangan tetap. Kemudian jenis pohon yang tumbuh di hutan Kalimantan bukanlah dari jenis yang kayunya tahan lama sebagai bahan bangunan. Kira-kira dalam waktu lima tahun, rumah-rumah lamin orang Dayak memang harus dirobohkan karena keropos. Lalu sebuah eksodus keluarga besar atau rumpun suku Kenyah pun terjadi. Tentu, perpindahan itu tak didukung dengan sarana memadai. Tak ada peta hasil pemotretan satelit, misalnya. Hingga ke arah mana mereka harus berjalan untuk menemukan areal tanah baru yang subur, semata dibimbing oleh intuisi. Tapi hutan gelap yang tanahnya jarang disentuh sinar matahari punya rambu-rambunya sendiri yang sangat dikenali oleh orang Dayak. Dari jejak di lumpur atau dahan yang patah bisa diketahui berapa orang dan kapan melewati daerah itu. Mereka pun dikarunia cara melihat dan merasakan apakah sebidang tanah sudah cukup lama ditinggalkan hingga cukup subur dibuka sebagai ladang kembali. Atau masih harus menunggu satu-dua tahun lagi. Melihat itu, tentunya mereka telah mengembangkan teknologi bertani tersendiri. Pantangan-pantangan dan tabu bukan takhyul tanpa makna selalu ada kaitannya dengan menjaga kelestarian hutan, misalnya. Rumah lamin yang gelap tanpa jalan angin-angin yang cukup, siapa tahu, merupakan cara orang Dayak memperoleh ketahanan tubuh yang dibutuhkan untuk hidup di hutan. Di rumah itu orang dilatih hidup tanpa sinar matahari. Dan kala itu, kata orangorang tua Kenyah, hidup teratur rapi. Bila gelap mulai merayap, ketika itulah orang-orang dan anak-anak berkumpul di sekitar api unggun, untuk mendengarkan ngendau (artinya, cerita). Seorang pawang cerita segera datang membawa tikar. Tikar bagi orang Dayak mirip kamar bagi orang kota. Itulah milik pribadi yang dibawa ke mana-mana, dan di tikar itulah ia memperoleh hak pribadi untuk tidurdan sebagainya. Maka, semua orang punya tikarnya sendiri-sendiri. Pawang berkisah lewat tembang-tembang, tentang pahlawan-pahlawan mereka, tentang cerita-cerita yang lain. Tak jarang menyangkut nama-nama orang yang masih hidup, bahkan orang yang waktu itu ikut berbaring mendengarkan ngendau-nya. Maka, sering terdengar gelak tawa. Tak jarang pendengar memberikan komentar langsung. Dan jawaban dari pawang langsung pula. Ngendau pun jadi hangat. Bisa berlangsung empat jam. Bahkan bila si pawang pintar memasukkan humor, ngendau bisa berlangsung hingga pagi. Tapi, sebelum api mengamuk di hutan Kalimantan Timur, adat ini sudah agak berubah. Di akhir 1970-an pawang sudah jarang diundang. Orang-orang, terutama anak-anak muda Kenyah, tak lagi tertarik cerita pawang. Ketika sekolah dasar mulai berdiri di Apo Kayan, pelan-pelan tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu tergeser. Dari kelas-kelas itulah lalu terdengar cerita lain. Tentang orang kota yang melapisi lantai rumahnya dengan plastik yang mengeriting rambutnya tentang radio yang memperdengarkan musik tentang TV yang ada gambar bicaranya. Lalu suatu kebudayaan baru masuk di benak anak-anak itu. Dan ketika pak guru terpaksa berdagang kelontong kecil-kecilan karena gaji terlambat, jelaslah perubahan itu. Seorang pemuda berjalan empat kilometer hanya untuk membeli sandal jepit. Seorang gadis mendatangi rumah pak guru meski harus menempuh perjalanan tiga jam, di tangannya seekor ayam. Bila kemudian ia berjalan pulang, ayam itu telah berubah menjadi sebatang sabun mandi dan sebotol sampo. Singkat cerita, gambaran kota, yang baik dibawa oleh pak guru maupun dari mereka yang pernah ke kota, meluas jadi impian setiap pemuda. Satu-dua kemudian ada yang nekat mencari kerja ke kota-kota di Serawak -- karena lebih dekat daripada ke kota-kota Indonesia. Bila mereka pulang, semakin ramailah informasi tentang kota. Semakin kuatlah dorongan untuk meninggalkan rumah lamin. Dan tampaknya, suatu ketika, urbanisasi memang tak terelakkan lagi. Ketika itulah saya berada di Apo Kayan. Maka, malam-malam tak ada lagi pawang. Sekitar rumah lamin sepi. Hanya ada dua-tiga api unggun, dikelilingi satu keluarga. Siang hari lebih banyak tamnpak orang-orang tua daripada anak muda. Mereka, orang-orang tua yang tak lagi kencang ototnya itu, yang kemudian tampak di ladang-ladang. Seorang nenek buta, dibimbing cucunya dari tangga rumah lamin, turun menuju gantungan jala. Lalu si embah itu dengan meraba-raba mengikat simpul-simpul jala yang putus. Tenaga kerja jadi langka. Bukan cuma itu yang berubah. Di antara gadis-gadis Dayak berkulit putih itu, yang lebih mendekati tipe gadis Cina, pun sudah jarang terlihat rambut panjang tergerai. Kebanyakan mereka kini berambut keriting. Itulah propaganda yang antara lain datang dari toko pak guru. Tidak otomatis perubahan ini buruk. Mereka yang kembali dari kota, misalnya seperti Guru Ibou, teman sejawat Kepala Suku Ngang Bilung, lalu mengajar anak-anak kampung baca-tulis. Dan karena ia anak asli, cara mengajarnya pun lebih bisa dipahami. Atau lihat, misalnya, Daud, kemenakan Ngang Bilung yang kini jadi Camat. Kecamatannya terhitung maju, karena Daud bukan camat di belakang meja, dan memang ia tahu persis denyut napas di daerahnya. Ia selalu tampil santai, informal, hingga kepemimpinannya gampang diterima. Anjurannya untuk berladang dengan lebih baik, menurutkan cara yang benar, tak ditentang seperti bila, umpamanya, yang menganjurkan penyuluh pertanian dari kantor kabupaten. Toh, napas tradisi, adat yang muncul dari nyala api di tengkorak-tengkorak yang digantungkan sepanjang teritis lamin masih hidup. Tak semua pemuda yang pergi ke kota lalu bisa lepas dari bau kotoran babi dan lumpur. Kekeluargaan yang hidup di lamin tak lalu pecah begitu saja. Maka, Taman Surang, yang sudah sekolah ke kota dan masuk Kristen, harus mau diangkat menjadi pemimpin, mendampingi Ngang Bilung. Sebab, dialah anak kepala adat besar rumpun Umak Taw. Inilah cerita dia: "Ketika Bapak sakit, semua warga suku meminta saya menggantikannya. Saya sebenarnya bersedia. Tapi seorang kepala adat harus membawa jimat. Tak mungkin seorang kepala adat tak memiliki kekuatan itu. Dan saya, sebagai orang Kristen, menolak jimat-jimat itu. Kami, saya dan tetua suku, pun berselisih. Maka, saya kembali ke Long Nawang, untuk bekerja. "Ajaib, bapak saya tak mati-mati. Jadi, kepercayaan di suku kami benar, agaknya. Yakni pemilik jimat tak bisa mati bila pegangannya itu belum diwariskan. Tubuh Bapak semakin rusak, jiwanya menderita. "Akhirnya, Ibu mendatangi saya. Ia minta, kalau benar saya seorang Kristen, saya harus mengasihi Bapak. Saya tak tega melihat Ibu. Saya pun menyanggupi diangkat sebagai kepala adat. Selesai saya dinobatkan, Bapak meninggal dengan tenang. Sebagai kepala adat, saya mengerjakan hal-hal yang rutin, dan semuanya berjalan seperti biasa. Sampai suatu hari, satu keluarga mendatangi saya, minta obat karena anaknya sakit. Entah, tiba-tiba saja saya memberi perintah agar mereka mencari empedu beruang madu, mencampurnya dengan telur, dan memberikannya kepada si sakit. Anak itu segera sembuh. Saya sendiri terheran-heran." Kepemimpinan ketua adat, di samping ketua suku, berjalan baik. Adakah Taman Surang kemudian terus menjadi dukun sakti dan menyimpan jimat-jimat? Ternyata tidak. Ketika anaknya sendiri sakit dan ia sendiri tak bisa mengobatinya, ia kembali ke Long Nawang dan berdoa di gereja. Ia pulang dan anaknya sembuh sudah. Karena itu, suatu malam ia buang jimatnya berupa permata merah delima dengan memendamnya di pinggir sungai. Entah dari mana datangnya, suatu hari seorang Cina mendatangi Taman, ingin membeli permata merah delima dengan harga beberapa juta rupiah. Taman tak menanggapinya. Tapi rupanya ia terganggu juga dengan tawaran itu, dan suatu malam ia menengok kuburan jimatnya. Tiba-tiba ia serasa melihat jimat itu terapung di sungai. Lalu bagaikan gila ia gali kembali jimatnya, ternyata masih ada. Kembali, jimat itu berada di pinggangnya. Namun, kembali anaknya sakit. Dan tak sembuh dengan obat-obat Taman sendiri. Maka, ia bulatkan hatinya, suatu malam kembali jimatnya dibuangnya. Kali ini untuk selamanya. Dilemparkannya jimat itu ke deras sungai. Singkat cerita, anaknya sembuh kembali. Yang aneh, si Cina datan lagi, menaikkan tawarannya. Taman tak menanggapi sama sekali, ia pun tak mencoba mencari jimatnya lagi. Ngang Bilung, Guru Ibou, Camat Daud, dan Taman Surang memang sudah membuang "jimat" mereka. Mereka tak lagi mencari empedu beruang madu, tapi memanggil dokter bila ada yang sakit, tapi bila itu mungkin. Jarak yang jauh dan transportasi sungai yang sulit merupakan hambatan yang sangat merepotkan. Merekalah tokoh-tokoh yang diharapkan membawa suku Dayak Kenyah berpindah dari kebudayaan pindah ladang ke kebudayaan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Merekalah kambing-kambing jantan pemimpin kelompok yang dipercaya oleh anggota kelompok untuk memilih padang rumput baru. Yakni padang yang bagaimanapun bukan lagi hanya "milik" mereka. Akan tetapi ada negara yang mengatur. Bagaimana agar mereka tak melanggar aturan, tapi juga tak kehilangan hak begitu saja, adalah tugas Ngang Bilung dan kawan-kawannya itu. Tanpa mereka suku Kenyah akan menjadi rapuh, karena budaya baru belum mereka kenal betul segi-seginya. Mereka akan dimakan oleh rasa terasing, frustrasi, dan "aturan permainan" yang tak mereka ketahui untung-ruginya. Kemungkinan lain, orang-orang Kenyah akan menjadi tak punya daya karena begitu tergantung perlindungan pemerintah. Atau mereka cari sendirinya raib pelan-pelan karena banyak hal: penyakit, misalnya. Dan kemudian makin kepepet dengan adanya hutan lindung, areal permukiman baru, daerah transmigransi, areal penebangan hutan, dan sebagainya. Singkat kata harga diri mereka terancam, sebuah awal untuk lenyapnya kepribadian, dan kemudian suku Dayak Kenyah hanya akan tinggal sebagai sejarah. Dan itu memang terjadi. Maksud baik pemerintah, dengan membangun areal permukiman kembali bagi suku-suku yang berpindah-pindah lengkap dengan fasilitasnya, membuat mereka sebagian lalu menggantungkan diri pada bantuan. Di sinilah Ngang Bilung dan teman-temannya punya tugas. Misalnya ia lalu mengatakan bahwa tak mungkin semuanya mendapatkan permukiman baru. Lebih baik justru membantu pemerintah dengan berupaya menghidupi diri sendiri. Tapi cita-cita besar itu kini menghadapi batu ujian yang bukan main. Api yang menghanguskan lebih dari 3,5 juta hektar hutan (sekitar seperenam dari luas Kalimantan Timur seluruhnya). Dan banyak orang menduga, api itu akibat dari suku-suku yang masih berpindah-pindah membuka hutan untuk ladang baru. Tuduhan yang banyak juga dibantah orang: mana mungkin, mereka yang tahu benar bergantung pada hutan merusakkan hidup mereka sendiri? Benar. Tegakah Ngang Bilung, dengan sebab apa pun, melempar api yang mengakihatkan pohon cengkihnya semua hangus beserta harapannya guna membebaskan anak-anak Kenyah dari kemiskinan? Impian yang dicitacitakan oleh semua warga sukunya? Surat Ngang Bilung menyuarakan keputusasaan yang dalam. Bila di hari-hari kemarin ia hanya harus berjuang melawan ketakberdayaan sukunya, kini ia harus memikul beban yang secara fisik dan mental lebih berat. Ia tak cuma melihat nasib sukunya yang dilindas bencana. Ia menyaksikan hancurnya sebuah ekosistem dan apakah itu bukan suatu kiamat? Kini mereka bagaikan berada di tengah belanga besar yang ditaruh di atas api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini