Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bisnis warisan wali sanga

Upacara sekaten, peringatan hari lahir nabi muhammad (muludan), di yogyakarta dan solo. sekaten bermula dari tradisi dakwah para wali sanga empat abad silam. sekaten kini praktis sebagai hiburan.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALUNAN gending Kiai Sekati membawa berkah bisnis bagi orang Yogyakarta dan Solo di Jawa Tengah. Perangkat Kiai Sekati terdiri dari gamelan Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga, biasa ditabuh tiga kali setahun. Tapi paling meriah adalah pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad atau Muludan -- lazim disebut Sekaten, yang tahun ini jatuh pada 28 Oktober. Dan dalam khidmat tengah malam itu, para prajurit berseragam tradisional, mengarak tetabuhan dengan gong yang menggelegar, dari Sitihinggil ke halaman Masjid Agung Keraton Yogya. Hikayatnya bermula dari dakwah Islam para Wali Sanga, lebih dari empat abad silam. Sunan Ampel, salah seorang Wali, menganjurkan pada Sultan Demak I agar gamelan Kiai Sekar Delima dimainkan di halaman Masjid Demak. Maksudnya supaya banyak orang datang mendengarkan ceramah agama. Pengunjung yang tertarik lalu dituntun melafakan dua kalimah syahadat. Acara ini kemudian disebut Syahadatain. Itu pada tahun 1555. Lambat-laun orang menyebutnya: Sekaten. Dari tujuan ritual, kini Sekaten tumbuh menjadi arena pesta rakyat di Alun-Alun, yang menawarkan banyak ragam halwa perut, mata, dan telinga. Ada dangdut, ada jatilan -- sejenis kuda lumping, ada aneka penganan, sampai tong setan dan rumah hantu. Tak perlu merinding, apalagi buat muda-mudi, inilah waktunya senggol-senggolan atau colak-colek. Singkatnya, Sekaten memang menggiurkan -- terutama bagi pedagang kecil, seperti penjaja cangkingan dan pasar kaget di kaki-5. Juga penjual makanan mustajab: telur dan sirih. Telur bergincu merah konon berkhasiat memberi keteguhan hati dalam bekerja. Atau mau mengusir hama tanaman tanpa pestisida, pecut mandraguna barangnya. Panen, pokoknya. Sementara hiruk-pikuk kian meriah, barisan prajurit keraton melangkah pelan dan teratur mengiringi pengusung gunungan. Enam macam gunung nasi dan sayuran itu kemudian dibagikan sebagai sedekah Sultan kepada rakyat. Upacara ini disebut garebeg. Masyarakat berebut. "Juadah itu membawa berkah," ujar seorang tua yang ikut rebutan. Bagi kaum wanita separuh baya, gema gamelan Kiai Sekati adalah isyarat untuk segera mengunyah sirih, gambir, dan kapur. Mereka yakin, begitulah cara untuk awet muda -- meski si Mbok penjual sirih dari tahun ke tahun tambah tua ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus